SEMANGAT dan animo yang disertai sebuah keikhlasan merupakan modal yang sangat penting dalam menuntut ilmu. Namun ada modal lain yang juga tidak kalah pentingnya, yaitu bekal atau biaya yang dibutuhkan selama proses menuntut ilmu. Terlebih di negeri perantauan.
Setidaknya itulah yang dialami para mahasiswa asal Indonesia dan para penuntut ilmu di universitas Islam tertua al Azhar asy Syarif.
Maklum, tidak semua mahasiswa Indonesia yang kuliah di Mesir berkecukupan secara ekonomi. Bahkan banyak dari mereka justru sangat kekurangan.
âAku hanya dikirimi uang untuk bayar rumah dan makan saja. Untuk biaya yang lain aku harus cari sendiri,â demikian disampaikan Jamaluddin (20) mahasiswa al Azhar jurusan Fakultas Ushuluddin asal Jawa Barat.
Beban berat para mahasiswa dari keluarga pas-pasan yang datang ke Mesir sebagaimana Jamaluddin adalah biaya hidup dan asrama. Karenanya, para mahasiswa tak mampu yang datang di negeri ini, pertama kali adalah berusaha mencari informasi tempat tinggal (asrama). Ada mahasiswa yang sejak tiba di Mesir langsung mencari info tentang sakan (asrama) gratis yang disediakan oleh lembaga-lembaga sosial.
Hanya saja, untuk hal ini tidak bisa diperoleh dengan mudah. Untuk yang belum bisa masuk asrama, sementara waktu mereka tetap tinggal di rumah kontrakan. Biasanya ada juga asrama yang memberikan uang saku setiap bulannya, dan ada juga yang tidak.
Selain mencari asrama gratis, ada juga yang mencari minhah al diraasiyyah (beasiswa, red), baik dari perorangan ataupun dari lembaga-lembaga yang menyediakan.
Ceaning Service hinggal Jualan Tempe
Di samping mencari beasiswa, banyak mahasiswa mencari pekerjaan apa saja yang bisa menunjang hidup dan kuliahnya. Ada bekerja menjadi cleaning service di kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Ada juga yang bisnis jual gorengan-gorengan dan kerupuk.
Mereka menitipkan dagangannya di warung-warung makan milik orang Indonesia. Atau dititipkan di rumah-rumah tempat mahasiswa tinggal.
Setiap satu atau dua hari dangan tersebut diambil. Kalau tidak membuat produk sendiri, ada yang menjadi tenaga pengantar industri rumah tangga. Seperti mengantarkan pesanan tempe, tahu atau kerupuk ke rumah-rumah pemesan.
Ada juga mahasiswa yang bekerja di maktabah (toko buku) orang Mesir. Biasanya para mahasiswa yang butuh pekerjaan, meminta kepada senior agar dicarikan maktabah yang butuh petugas.
Ada pula mahasiwa yang membuka usaha pangkas rambut. Usaha ini sangat laris karena mahasiswa atau orang Indonesia yang ada di Mesir enggan untuk potong rambut kepada orang Mesir.
Tak sedikit yang membuka jasa pengiriman barang dari mesir ke Indonesia dan jasa warung telpon (wartel) internet. Jasa wartel memudahkan mahasiswa untuk berkomunikasi dengan sanak keluarga yang di Indonesia dengan tarif yang relatif murah dibandingkan dengan via pulsa biasa. Selain itu, ada yang menekuni jasa travel. Biasanya pekerjaan ini banyak dilakukan mahasiswa senior.
Alhasil, apapun dilakukan para mahasiswa. Dari menjadi pengemudi, penjualan tiket pesawat sampai staf administrasi.
Dari sekian pekerjaan yang sering dilakukan oleh mahasiswa yang tidak mampu untuk bertahan hidup, ada pekerjaan yang paling dominan diminati, yaitu bekerja di rumah-rumah makan. Ada yang jadi koki, pelayan atau jadi pengantar. Meski demikian, masih banyak mahasiswa yang sama sekali tidak dikirimi uang oleh orangtua mereka.
Usai Kuliah
Banyaknya para mahasiswa yang bekerja di rumah makan dikarenakan usaha rumah makan sering menampung banyak tenaga kerja.
Untuk waktu kerja, biasanya mereka mengambil waktu usai jam kuliah. Tak sedikit pula ada yang harus bertabrakan dengan waktu kuliah mereka.
Ada yang hanya beberapa hari saja dalam seminggu, dan ada juga yang hampir setiap hari. Bahkan ada yang bekerja tidak hanya di satu tempat saja.
âSaya kerja di rumah makan, toko kain juga di Kantor KBRI,â ujar Syaiful Anam, mahasiswa Fakultas Ushuluddin asal Tangerang.
Perilaku seperti ini nampaknya tak hanya dilakukan para mahasiswa. Tak sedikit juga mahasiswi asal Indonesia yang melakukan. Dengan alasan sama, karena faktor ekonomi.
Sebenarnya bekerja bukanlah tujuan utama para mahasiswa ini. Mereka terpaksa bekerja lebih karena desakan kebutuhan yang mengharusnya mereka bertahan hidup dan bisa kuliah dengan lancar.
Ini juga yang diakui Syaiful Anam. Sebenarnya ia hanya ingin fokus menuntut ilmu, karena bekerja akan menyita banyak waktu dan tenaga serta mengorbankan kuliah.
âSebenarnya saya gak mau kerja, karena akan menguras tenaga dan menyita waktu kuliah. Capek dan juga jadi jarang kuliah. Saya pingin bisa fokus kuliah, menghafal al-Qurâan dan belajar ilmu yang lain. Tapi mau bagaimana lagi, keadaan menuntut saya untuk bekerja,â ujarnya.
Meski demikian, dibanding Jamaluddin dan Syaiful Anam, masih banyak mahasiswa lain yang kurang beruntung. Tak sedikit mahasiswa yang tidak pernah sama sekali mendapat kiriman uang dari orangtua mereka. Juga tidak ada donatur yang membantunya.
Jika ada yang demikian, kadang beberapa sahabat mereka berinisiatif mengumpulkan dana untuk membantunya.
Semoga Allah memberikan kesabaran dan keistiqomahan serta kemudahan kepada mereka dalam menuntut ilmu.*/Jundi Iskandar (Mesir)