Oleh: Ali Akbar bin Aqil
DIKISAHKAN, pernah suatu hari Sayidina Hasan al-Bashri mengutus beberapa kawannya untuk memenuhi kebutuhan seseorang yang sedang membutuhkan sesuatu. Hasan berkata, “Datanglah kepada Tsabit al-Bunnani. Ajak serta dia untuk berangkat dengan kalian membantu saudara kita yang sedang membutuhkan.”
Mereka mendatangi Tsabit. Tsabit tidak sanggup untuk ikut serta. Alasannya, “Aku sedang beriktikaf di masjid.” Mereka kembali kepada Hasan dan memberitahu jawaban Tsabit. Hasan berkata, “Katakan kepadanya, ‘apakah engkau tidak tahu bahwa perjalananmu untuk membantu kebutuhan saudaramu yang muslim lebih utama bagimu dari ibadah di satu musim haji ke musim haji berikutnya?.’”
Para jamaah mendatangi Tsabit dan menyampaikan ucapan Hasan, maka Tsabit bergegas meninggalkan iktikafnya dan ikut pergi bersama-sama.
***
Memasuki tahun 2014 bangsa Indonesia mendapat beragam musibah. Banjir, tanah longsor, gempa bumi, angin puting beliung dan terakhir gunung yang ‘batuk’ menjadi menu yang tersaji di negeri kita. Akibatnya, musibah yang bertubi-tubi ini memaksa ribuan warga angkat kaki dari rumahnya menuju kantong-kantong pengungsian. Ribuan warga kehilangan pekerjaan. Tanah tempat bercocok tanam rusak. Ribuan anak-anak tidak bisa bersekolah.
Bencana-bencana ini, bagi kita yang tidak terkena secara langsung dampak musibah, menjadi sentilan bagi hati kita. Dengan adanya musibah seperti itu kita diajak untuk memiliki kepekaan dan mengasah solidaritas sosial. Mengajak kita untuk membantu, bergotong royong, meringankan beban yang menindih.
Sekecil apapun perhatian dan bantuan yang diberikan akan melahirkan senyum, senyum mengembang di bibir, tanda kebahagiaan. Memberi bantuan dengan segala bentuknya, baik berupa pakaian layak pakai, sarung, selimut, atau dana tunai, akan menjadi sumbangan keriangan dan kegembiraan dalam hati mereka. Membahagiakan hati orang lain itu adalah sedekah.
Nabi Muhammad Shallallu ‘alaihi Wassalam memberi jaminan yang sangat menggiurkan kepada siapa saja yang mau meringankan beban penderitaan saudaranya.
Nabi Shallallu ‘alaihi Wassalam bersabda yang artinya, “Dari Abu Hurairah radhiAllah Subhanahu Wata’alauanhu, dari Rasulullah saw bersabda : ‘Siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mukmin dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah Subhanahu Wata’ala akan memudahkan kesulitan-kesulitannya hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya akan Allah Subhanahu Wata’ala mudahkan baginya di dunia dan akhirat dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim Allah Subhanahu Wata’ala akan tutupkan aibnya di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu Wata’ala selalu menolong hambanya selama hambanya menolong saudaranya.” (HR. Muslim).
Ibnu Abi Dun-ya dan at-Thabrabni meriwayatkan sebuah hadis dari Sahabat Ibnu Umar ra. yang isinya motivasi untuk saling tolong menolong dalam kebaikan, “Manusia yang paling dicintai oleh Allah Subhanahu Wata’ala adalah yang paling memberi manfaat kepada yang lain. Amal kebaikan yang paling disukai oleh Allah Subhanahu Wata’ala adalah kebaikan berupa kebahagiaan yang disisipkan ke dalam hati seorang muslim atau menghilangkan kesusahan yang dialaminya atau melunasi hutangnya atau menghilangkan rasa lapar yang melilitnya.
Lebih lanjut, “Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk membantu hajatnya, lebih kusukai daripada iktikaf di masjid selama satu bulan. Siapa yang menahan marahnya, Allah Subhanahu Wata’ala tutupi auratnya. Siapa yang mampu menahan rasa marahnya padahal ia bisa memuntahkannya, Allah Subhanahu Wata’ala isi hatinya dengan keridhaan di Hari Kiamat. Siapa yang berjalan untuk memenuhi hajat saudaranya yang muslim, Allah Subhanahu Wata’ala akan kokohkan kakinya pada hari banyak kaki yang tergelincir. Sesungguhnya akhlak yang buruk merusak amal seperti cukak merusak madu.”
Kalau hari ini kita menyingsingkan lengan membantu saudara kita yang tertimpa musibah, maka esok, lusa, atau entah kapan, di saat kita yang terkena ujian dan cobaan dari Allah Subhanahu Wata’ala, kita akan lebih ringan merasakan apa yang pernah dirasakan oleh saudara kita.
Bencana letusan Gunung Kelud menjadi lahan pahala dan amal kita. Senyum mereka yang tertindih bencana adalah senyum kita. Kegetiran mereka adalah kegetiran kita. Duka mereka adalah duka kita. Jika mereka sakit kita turut sakit. Jika mereka menangis sedih karena rumahnya luluh lantak diterjang abu vulkanik, hati kita harus turut tercabik.*
Pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Kota Malang