TIDAK seperti biasanya, pagi itu Ustadz Kaharuddin sudah bergegas keluar rumah. Ia menjemput murid-muridnya satu-persatu dari rumah dengan motor tiga roda yang sudah cukup umur.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ketika kendaraan itu sudah dipenuhi murid dan siap meluncur ke sekolah, di tengah jalan, tiba-tiba mogok. Beberapa kali Ibrahim mencoba menghidupkan mesin, tetap saja tidak ada perubahan.
Alkisah, kuda besi itu mengalami kerusakan parah. Tujuh hari lamanya alat transportasi antar jemput itu tak dapat melayani para murid ke sekolah. Padahal, selama ini kendaraan ini menjadi sarana vital bagi kelangsungan proses pendidikan. Maklum, jarang sekolah dan tempat tingga siswa bisa lebih dari 10 KM jauhnya. Terpaksa sekolah diliburkan sementara.
Syarat Tantangan
Itulah kegiatan Kaharuddin, Kepala Sekolah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Hidayatullah KM 12, Holo, Amahai, Maluku Tengah.
“Jarak tempuh dari rumah sebagian besar murid ke sekolah, cukup jauh, bahkan ada yang sampai sepuluh kilo meteran lebih,” terangnya.
Selain soal transportasi, alumni Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIL) Surabaya ini menuturkan masih ada banyak hal yang menjadi kendala di lembaga pendidikan yang berdiri sejak tahun 2008 ini.
Sekolah ini belum memiliki bangunan. Yang dijadikan ruang belajar hanya mushalla milik yayasan yang telah disekat dengan dinding tripleks.
Jangan pernah disamakan dengan sekolah di Jawa atau di Jakarta. Karena keterbatasan keadaan, proses belajar-mengajar di sekolah ini boleh dibilang istimewa. Kadang proses belajar yang tenang tiba-tiba terganggu tetangga kelas dengan suara tinggi atau riuh. Suara-suara itu spontanitas menembus ruangan lain, sehingga akan mengganggu jalannya proses belajar-mengajar.
Kondisi ini semakin diperparah dengan minimnya tenaga pengajar yang menjadi persoalan dan belum terselesaikan hingga saat ini.
Mencari tenaga guru, untuk mengajar terbatas seperti ini bukan perkara mudah. Sebab, di antara mereka yang memiliki kemampuan mengajar, lebih memilih terjun menjadi petani dari pada mengajar di pesantren.
“Karena secara hitungan ekonomi menjadi tani, bagi mereka, lebih menguntungkan dari pada menjadi guru di pesantren. Dan memang begitu hitungan matematisnya,” jelasnya.
“Banyak juga orang tua yang mayoritas adalah masyarakat trans, berharap anak-anak mereka dididik agama dan akhlaknya di sekolah kita,” jelasnya.
Kesyukuran dirasakan oleh pihak sekolah, ketika beberapa waktu lalu, ada seorang siswanya yang mengikuti lomba tartil baca Al-Quran juz satu, tingkat kecamatan, dan dia dinobatkan sebagai juaranya.
Renovasi Kandang Sapi
Bapak dua anak ini menjelaskan, guna meningkatkan kualitas pendidikan sekolah, ia sudah mengagendakan beberapa program. Selain ingin aktif membangun silaturahim dengan berbagai pihak, proses pengadaan kelas juga tengah diupayakan.
Penghobi buku-buku sejarah Islam ini memaparkan, bahwa di lokasi pesantren yang kini berdiri terdapat bekas kandang sapi.
Maklum, sebelumnya, di pesantren ini pernah dikembangkan budidaya sapi warga, hasil dari bantuan pemerintah. Dan sekarang tidak ada lagi, karena seluruh sapi sudah dikembalikan pada masing-masing warga. Tinggallah kandang berukuran kurang lebih 30×10 meter persegi yang telah mangkrak.
Bentuk bangunannya memanjang dengan lantai plesteran kasar dan tidak berdinding. Kandang itulah yang menurut Kahar, tengah diupayakan menjadi ruang sekolah murid-muridnya untuk ke depan.
Sejatinya, tutur laki-laki kelahiran 1983 ini, besar harapannya, bangunan yang akan diupayakan itu berbentuk permanen. Tentu, simpulnya, untuk itu dana yang dibutuhkan juga sangat besar. Menurut kalkulasi anak pasangan Hido dan Saoda ini, dibutuhkan dana lebih dari Rp. 50 juta guna mewujudkan harapan pengurus mampu membangun bangunan enam lokal permanen.
Sedangkan dana yang ada, yang merupakan donasi para simpatisan, belum mencapai sepuluh persen dari dana yang dibutuhkan.
“Harapannya kita bisa membangun bangunan permanen, agar anak-anak lebih bisa kondusif dalam belajar” harapnya.
Nah, siapa mau beramal sholeh dan beramal jariyah?*/Robinsah