Hidayatullah.com | “Kalau kamu lari dari medan dakwah, sama saja menentang ayah!”
Wasiat tegas itu diterima oleh Muhammad Nasrullah, ketika ia tengah bertandang ke kediaman orangtuanya, di Ternate. Seakan memahami gejolak hati sang anak dalam mengemban tugas, sang ayah berusaha memperteguh tekat sang buah hati, agar tidak lari dari medan juang.
Bertepatan saat itu, tahun 2014, Ustadz Nasrul, begitu ia biasa disapa, belum lama mendapat surat tugas dakwah di Halmahera dari Hidayatullah Pusat. Tepatnya di Pesantren Hidayatullah, Tobelo Barat, Halmahera Utara. Medan dakwah yang tidak mudah ‘ditaklukkan’ oleh mereka yang memimpikan fasilitas dan kecanggihan teknologi.
Betapa tidak. Lokasi pesantren berada jauh dari perkotaan, sekitar 30 kilometer. Signal telepon susah, jaringan internet juga lambat.
Tantangan lain, lokasi dakwahnya berada di komunitas non Muslim. Tak ayal, banyak pemandangan baru yang didapat oleh pria kelahiran 26 tahun silam ini, yang tak jarang membuat risih. Semisal babi, berkeliaran bebas, tak ubahnya ayam di pemukiman Muslim.
“Maklum, kampung Muslim hanya di tempat kita. Selebihnya, kampung Kristen. Jadi banyak warga yang berternak babi,” terangnya.
Suatu hari, Nasrul berkunjung ke rumah seorang warga. Niatnya bersilaturrahim biasa. Tak disangka, ia justru mendapat kisah kelam Maluku, khususnya Ambon di masa lalu. Kerusuhan yang menyebabkan banyak nyawa melayang, pada tahun 1998-2000.
“Itulah pertama kali saya tahu sedikit sejarah Ambon,” terangnya.
Meski kisah itu mengerikan dan memilukan, Nasrul mengaku tidak terlalu terpengaruh. Sebab, di lapangan ia dapati hubungan baik antar warga maupun antar umat beragama.
Justru yang menjadi kekhawatiran, warning berikutnya. Si tuan rumah itu berpesan, kalau mengendarai motor, dan melewati kampung Kristen, harus hati-hati. Jangan sampai jatuh. Kalau terjatuh, bisa dikeroyok massa. Apalagi sampai menabrak warga setempat.
Nasrul mengaku sempat ngeri mendapat nasehat itu. Tapi syukurnya, selama menjalankan tugas, ia tak pernah mendengar ada kejadian. Ia juga tidak mengelami, “Semoga jangan,” ujarnya sambil terkekeh.
Tak Bergaji
Tugas utama Nasrul menjadi pengasuh di pesantren. Setiap hari, ia mengontrol kegiatan para santri. Seperti pelaksanaan tilawah al-Qur’an dan shalat jamah di masjid. Selain itu, ia juga diamanahi mengajar beberapa mata pelajaran di sekolah.
Banyaknya tugas yang diemban, bukan berarti sepadan dengan pemasukan yang didapat. Yang ada justru sebaliknya. Tidak ada kepastian. Meski demikian, putra pasangan Nurdin Abdullah dan Nurlaila DM ini, tidak pernah berkecil hati. Ia memaklumi, karena kondisi keuangan pesantren memang belum stabil. Laksana pepatah; lebih besar pasak daripada tiang.
“Kalau ada lebih, ya diberi. Seadanya. Kadang tiga bulan sekali. Tidak menentu,” ungkapnya.
Sedangkan para santri, jelas Nasrul, tidak dipungut biaya. Begitu juga dengan para siswa di sekolah yang berjumlah 40-an. Sebab, mayoritas berasal dari keluarga miskin. Ada pula dari keluarga yatim.
Bahkan tak jarang, alumni STAIL Luqman al-Hakim Surabaya ini, bersama seorang senior di pesantren, ikut ‘turun gunung’ mencari donatur beras untuk keperluan para santri, ketika stok sudah habis.
Sedangkan untuk kebutuhan pribadi, ia dan keluarga mengonsumsi apa saja yang tersedia di rumah. Kalau ada beras, ya dimasak. Kalau tidak ada, singkong yang ditanam di dekat pekarangan rumah pun jadi.
Alhamdulillah, seminggu berjalan pertolongan Allah pun tiba. Ada seseorang datang ke pondok memberikan sumbangan beras. Jadilah Nasrul kecipratan.
Hikmah dari peristiwa ini, akhirnya sosok murah senyum ini selalu menanam singkong dan jagung di halaman rumahnya. Katanya, sebagai persiapan kalau ada ujian serupa di kemudian hari.
“Istilahnya, pasang kuda-kudalah. Kalau butuh, enak. Tinggal cabut. Punya sendiri,” ujarnya.
Amunisi Bertahan
Istiqamah berdakwah di daerah pedalaman yang sarat tantangan dan pengorbanan, bukan perkara mudah. Apalagi sudah berkeluarga, ditambah ada iming-iming dari luar, yang menjanjikan tempat yang lebih ‘basah’ secara ekonomi.
Hal itu pernah menghampiri Nasrullah. Syukurnya ia tak tergiur. Bahkan menguatkan diri untuk terus bertahan. Ketika digali alasannya; ia menuturkan;
“Wasiat ayah lah yang meneguhkan saya,” ungkapnya.
Sebagai anak, putra kedua dari sembilan bersaudara ini menyatakan, tidak ingin mengecewakan apalagi mengkhianati amanah sang ayah. Ia bertekad terus menjadi anak yang berbakti. Dengan menjalankan apa yang dipesankan. Termasuk terus istiqamah di medan dakwah.
Hal lain yang menguatkannya untuk bertahan, kemirisan hatinya melihat masyarakat binaan. Khususnya para remaja dan anak-anak. Karena tidak ada lembaga berbasis agama untuk mereka.
“Untuk tingkat SMA yang berbasis Islam, itu hanya sekolah kita. Yang lain umum. Kristen. Jauh juga lokasinya,” ujarnya.
Keadaan ini mengakibatkan kondisi keislaman kaum Muslimin di sana sangat memprihatinkan. Tidak sedikit di antara mereka, meski sudah tumbuh remaja, tapi belum bisa mengaji. Tak ayal, ketika masuk pesantren, kelahiran Balikpapan ini, harus membenahi dulu bacaan mereka dari dasar.
“Keadaan inilah yang membuat hati terasa renyuh. Merasa kasihan, kalau harus ditinggalkan,” ucap Nasrul.
Lebih-lebih, ketika melihat animo masyarakat yang mulai tumbuh, untuk mempercayakan anak-anak mereka dibina di pesantren. Bagi ayah satu putri ini, itu menjadi magnet tersendiri untuk tetap bertahan.
“Ke depan, insya Allah syiar dakwah akan terus berkembang. Minta dukungannya,” pungkasnya.* Robinsah