Hidayatullah.com–Derap langkah kaki kuda itu sudah terdengar dari kejauhan. Sekumpulan orang di kampung Tanaka, kaki Gunung Kawi, Malang ketakutan dan langsung masuk bersembunyi di dalam rumah masing-masing. Lalu mereka mengintip siapa gerangan yang menunggangi kuda tersebut. Seorang pria paruh baya berjubah putih dan berkopiah duduk di atas punggung kuda yang sedang berlari pelan.
Ustadz Agus Imam Buchori namanya, pria itu sengaja berkeliling kampung dengan kudanya. Sesekali ia menyapa masyarakat yang ia temui, namun mereka malah lari terbirit-birit ketakutan. Entah apa penyebabnya, masyarakat di tempat itu sangat takut sekali dengan kuda, bahkan dukun tersakti di kampung itu pun tak berkutik jika sudah berhadapan dengan kuda.
“Kuda ini sebagai benteng bagi saya untuk melakukan pendekatan dakwah di daerah yang terkenal dengan lokasi pesugihan ini,” ujar Agus kepada Suara Hidayatullah akhir Januari lalu.
Suatu ketika ia pernah membawa kudanya ke lokasi tempat pesugihan yang tak begitu jauh dari rumahnya. Sontak saja warga yang berada di lokasi tersebut ketakutan dan menjauh.
“Dulu saya sama sekali tidak tahu kalau mereka takut kuda. Ketika tahu mereka takut kuda, saya bertekad harus memiliki kuda,” pungkasnya.
Ia tidak punya niat untuk menyebar ketakutan. Kuda hanya sebagai penguat dakwah, yang hanya ditunggangi di waktu-waktu senggang. Dengan adanya kuda, atas izin Allah, masyarakat setempat menjadi segan terhadapnya. Dukun dan orang sakti tak berani berbuat macam-macam terhadapnya.
Mulai berdakwah di kaki Gunung Kawi, pria kelahiran Malang, 29 Oktober 1975 itu sudah menghabiskan banyak waktu. Awalnya di tahun 2005, ia mendapatkan tanah wakaf dari mertuanya. Berlokasi di Dusun Arjomulyo (Tanaka), RT 1, RW 3, Desa Bangelan Kecamatan Wonosari, Kabupaten. Dibantu masyarakat setempat, ia pun mendirikan taman pengajian al-Qur’an dan madrasah diniyah.
“Tapi kok gak ada efeknya sama sekali? Karena anak-anak di sini itu mengaji hanya sekedar sampingan. Pas sudah lulus SD, mereka gak mau ngaji lagi,” terangnya.
Mendakwahi mereka yang sudah memiliki kepercayaan kejawen turun-temurun dari nenek moyang memang sangatlah susah. Menurut Agus, pendekatan awal yang dilakukan harus penuh dengan kehati-hatian agar tak menyinggung mereka.
Hal pertama yang dilakukan adalah ikut berbaur dengan masyarakat, apa pun caranya agar bisa diterima dulu oleh masyarakat asalkan hal itu tak melanggar syariat. Berbagai pendekatan sosial, dari ikut kerja bakti, ikut iuran desa, hadiri tahlilan dan yasinan.
“Hanya saja dakwah yang bisa kami lakukan masih sebatas itu, pendekatan sosial. Kami kerap mengadakan pembagian daging qurban, khitanan masal, hingga pengobatan gratis. Jika diundang untuk mengikuti pengajian sedikit yang mau datang,” ungkap ayah dari 3 anak itu.
Hampir Diusir
Pada awal tahun 2017, ia balik haluan menjadikan tempat wakaf itu menjadi pondok pesantren Tahfidzul Qur’an. Meskipun santri yang mendaftar tidak ada dari masyarakat sekitar, hampir rata-rata dari luar daerah, ia berkomitmen al-Qur’an harus tetap membumi di lokasi pesugihan itu. Walau masih sangat terbatas, bahkan kala itu santrinya ditempatkan di bekas kandang kambing.
Walau sudah melakukan berbagai, gerak-gerik dakwahnya juga tak serta-merta diterima begitu saja oleh masyarakat. Ia pernah dituding menganut aliran sesat. Bahkan ia terancam diusir dari kampung itu. Agus pun segera menghubungi teman-temannya untuk menitipkan santri-santrinya yang ketika itu berjumlah 23 orang.
“Malam harinya saya dijemput oleh Polsek dan Koramil setempat dibawa menghadap puluhan masyarakat. Kami dituntut untuk menyerahkan masjid, bahkan surat sertifikat tanah,” kenangnya.
Alhamdulillah, kesalapahaman itu bisa berakhir dengan cair. Atas izin Allah, Agus dan santri-santrinya hingga sekarang masih bisa menetap di pesantren tahfidz itu.
“Sangkaan mereka kala itu, karena merasa aneh melihat sholat di pondok yang begitu lama. Biasa di masjid lain setelah al-Fateha, imam membaca surah-surah pendek. Di masjid ini karena pondok tahfidz kami terbisa membaca surah-surah panjang bahkan ber juz-juz. Sudah rutin di pondok ini menghatamkan Qur’an selama dua bulan dalam sholat,” lanjutnya.
Sekarang meskipun belum masuk dalam tahap dakwah fardiyah, Agus sudah bisa diterima oleh masyarakat. Ia bisa kesana kemari dengan baju jubahnya, berkopiah dan jenggotan.
“Dulu masyaraat disini kalau melihat orang jenggotan dan jubahan mereka ketakutan karena sudah terframing sebagai identitas teroris. Alhamdulillah sekarang ini mereka sudah mulai terbiasa,” ujar suami dari Maslahan ini.
Memang benar pekerjaan rumahnya masih sangat banyak, membutuhkan banyak dukungan dari berbagai pihak, jika memang tak bisa menghilangkan kepercayaan kejawen itu, Agus berharap pondok tahfidznya nanti bisa seramai orang-orang yang melakukan pesugihan di kaki Gunung Kawi.
“Kami berharap bisa mendekati generasi mudahnya. Semoga nanti kami bisa mendirikan sekolah-sekolah formal Islam untuk mereka, sehingga pelan-pelan dakwah ini bisa masuk ke rumah-rumah mereka lewat anak-anak mereka nantinya,” harapnya.*/Sirajuddin Muslim/dikutip dari Suara Hidayatullah