PENGALAMAN pertama menjadi seorang dai tidak mudah. Tapi karena ingin menegakkan kalimat Allah, maka harus dilakukan dengan benar dan penuh keikhlasan.
Hal itu yang dirasakan Nasrul. Dalam sehari-hari, pria kelahiran Oktober 1992 ini mengajar mengaji Al-Qur’an ibu-ibu mualaf dan anak-anak mualaf di daerah perbatasan antara Aceh dan Sumatera Utara.
Nasrul mengajar ditemani istri tercinta, yang dia nikahi tahun 2018 lalu pada Pernikahan Barakah di Pesantren Hidayatullah Balikpapan, Kalimantan Timur.
Nasrul mulai mengenal Hidayatullah tidak lama setelah gempa dan tsunami melanda Aceh 2004 silam. Saat itu ia bergabung dengan kampus Hidayatullah rintisan pertama di Meulaboh, Aceh Barat, salah satu kabupaten terparah dampak dari Tsunami.
Ia bergabung setelah diajak Ustadz Baharuddin Andi Mustafa yang menjadi pimpinan Hidayatullah Kabupaten Aceh Barat.
Nasrul membantu Ustadz Baharuddin dalam merintis Hidayatullah di Meulaboh selama lima tahun. Setelah itu Nasrul melanjutkan kuliahnya di Universitas Syiah Kuala.
Setelah menempuh kuliah tahun 2017, Nasrul diajak bergabung dengan Ustadz Baharuddin di Aceh Tenggara. Ia di amanahkan untuk membimbing ibu-ibu mualaf dan anak-anak mualaf tanpa digaji. Meski demikian, hal itu dilakukan dengan semangat dan penuh keikhlasan, serta berharap semoga menjadi amalan jariyah.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari istri dan anaknya, Nasrul mengajar di Sekolah Dasar yang dirintis oleh Hidayatullah. Gajinya tidak seberapa. Tetapi karena ingin memperjuangkan agama Allah, maka semangat Nasrul tidak pernah surut. Padahal banyak dai perbatasan yang dikirim oleh Hidayatullah maupun dari pemerintah Aceh sendiri. Tapi mereka tidak bisa bertahan lama.
Dirinya dan keluarga tinggal di bekas asrama putra Pesantren Hidayatullah Aceh Tenggara, berukuran 3 x 4 meter. Maklum pesantren di Aceh Tenggara ini masih tahap pembangunan.
Pada awal mengajar, tahun 2017, jamaah yang ikut belajar bersama Nasrul hanya lima orang, itu pun dilakukan dengan bersusah payah. Alhamdulillah, lambat laun ibu-ibu mualaf yang ikut bertambah banyak.
Nasrul tidak patah semangat, dirinya terus melakukan pendekatan kepada ibu-ibu tersebut. Caranya dengan sering silaturahim, berkunjung dan ngobrol. Cara itu berhasil. Dengan melakukan pendekatan hati ke hati, kini ibu-ibu mualaf yang mau mengaji sudah bertambah menjadi 25 orang.
“Anak-anak mereka juga sudah mau ikut mengaji,” kata Nasrul tersenyum.
Dalam mengemban amanahnya sebagai dai, Nasrul sering harus berjalan kaki dari rumah ke rumah, melakukan silaturahim degnan para mualaf. Karena kendaraan dari pesantren hanya satu, sehingga harus bergantian dengan yang lain.
“Kadang-kadang pulang malam karena medannya yang jauh, berbukit,” ujar ayah dari Alula Farzana Nasrul ini.
Baca: Fatu Marando, Medan Dakwah Penuh Tantangan
Dakwah Media BCA - Green
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Perlu pendekatan khusus untuk mengajarkan jamaah tentang Islam. Pasalnya, walaupun sudah masuk Islam, tidak sedikit orangtua mereka yang masih menyekolahkan anaknya di sekolah non-Muslim. Jadi, perlu diberikan pemahaman bahwa sekolah Islam itu bagus untuk menghindarkan dari pendangkalan aqidah anak-anak.
Menghadapi banyak hambatan dan tantangan, Nasrul tetap teguh mengajarkan ibu-ibu mualaf dan anak – anak mereka untuk belajar agama Islam dengan baik.
Sebab, jelas, Nasrul para mualaf itu adalah saudara-saudara yang perlu dibina dengan intens, karena iman mereka masih belum mengakar kuat, sehingga perlu diberikan nasihat secara istiqamah.
Semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberi hidayah untuk tetap konsisten menjalankan kebenaran dan kelak di akhirat menjadi ahlul jannah. Aamin Ya Rabbal Alamin.* Kiriman Muin/Pos Dai
Artikel ini bekerjasama dengan program Dompet Dakwah Pedalaman