SUATU Shubuh di Masjid Nurul Huda, Dusun Bone-Bone, Kecamatan Baraka. Sang Kepala Dusun, Muhammad Idris, mengumpulkan warganya. Saat itu sekitar hari kedelapan Ramadhan 1421 Hijriyah. Di depan ratusan warganya, Idris menyampaikan sebuah pengumuman penting.
Sore kemarin, kata Idris, 8 orang tokoh dusun telah melakukan pertemuan di rumah seorang warga. Pertemuan itu dihadiri tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pendidik, tokoh remaja, dan tokoh pemuda. Mereka telah menyepakati sebuah keputusan.
“Yaitu pelaksanakan aturan tidak boleh menjual rokok di Bone-Bone,” ujarnya.
Mendengar penyampaian aturan itu, kasak-kusuk pun terjadi. Timbul pro-kontra di kalangan warga, ada yang menerima, ada yang menolak.
Shubuh di tahun 2000 itu adalah hari pertama Idris melakukan sosialisasi aturan larangan menjual rokok. Ini merupakan langkah awalnya membebaskan Bone-Bone dari asap rokok.
Bone-Bone terletak di Kabupaten Enrekang, tak begitu jauh dari kaki Gunung Latimojong –gunung tertinggi se-Sulawesi Selatan. Di dusun yang bersuhu dingin ini, saat masa sosialisasi itu, mayoritas masyarakatnya gemar merokok.
“Kira-kira 85 persen yang merokok, dari anak-anak kelas 3 SD sampai orangtua. Bahkan ada warga yang biasa menghabiskan rokok 2 bungkus per hari,” ujarnya saat ditemui hidayatullah.com di rumahnya, pertengahan Agustus 2015.
Idris menuturkan, kondisi itu membuat jiwanya tergugah dan terpikir untuk mengubah keadaan. Sebab, saat itu taraf ekonomi dan tingkat pendidikan warganya sangat minim akibat kebanyakan perokok.
Terinspirasi Kegagalan Mahasiswa
Idris kuliah di IAIN (sekarang UIN) Alauddin Makassar pada tahun 1984-1990. Saat itu, ia melihat banyak kawan-kawan mahasiswanya yang merokok. Para perokok itu, katanya, tidak ada yang lulus kuliah.
Ia pun berpikir, rokok itulah mungkin penyebab kegagalan studi. “Karena saya dengan kakak tidak merokok, sempat juga selesai (kuliah),” ujar pria kelahiran Bone-Bone, 1 Januari 1965 ini.
Dari situ, Idris mengambil kesimpulan, untuk memajukan Bone-Bone, maka masyarakatnya harus berpendidikan dan selesai di perguruan tinggi. Tapi, lanjutnya, bagaimana mau lanjut kuliah kalau uang mereka dipakai membeli rokok.
“Karena di (Bone-Bone) sini dulu, kalau ada acara-acara itu, rokoklah yang pertama disodorkan, bukan kue. Sama juga kalau ada orang pengantinan, pembeli rokok yang paling banyak, bukan untuk biaya-biaya yang lain,” ungkapnya.
Pada tahun 1994, Idris diangkat menjadi Kepala Dusun. Untuk meningkatkan perekonomian Bone-Bone, awalnya ia memperbanyak gotong-royong, seperti membangun jalan pertanian. Beberapa tahun kemudian baru diberlakukan larangan menjual rokok.
Dalam sosialisasi aturan itu, Idris mengaku cukup banyak warga yang menolak. Misalnya, ada yang mengatakan, “Ah, Idris memang sampaikan aturan begitu karena dia sudah bikin rumah (lebih bagus).”
Sebenarnya, saat itu warga Bone-Bone sudah pada punya rumah, namun masih memakai kayu dari hutan sekitar. Sementara rumah Idris sudah berbahan kayu Kalimantan, tentu lebih bagus dan mahal.
Idris pun menjawab sanggahan warganya. Kata dia, dirinya beruntung bisa bikin rumah itu karena tak mengeluarkan biaya pembeli rokok. Dengan tidak merokok, taraf ekonomi dan tingkat pendidikannya dia akui bisa lebih baik dari warganya. Penjelasan itu disampaikannya dengan bahasa yang logis.
Sebelum adanya larangan menjual roko, murid laki-laki SD Bone-Bone tak pernah jadi juara setiap ujian sekolah. Kecuali yang perempuan. Tapi baru dua tahun sejak aturan itu, banyak perkembangan. “Pelajar Bone-Bone sudah masuk 4 besar se-Baraka,” ungkap Idris.
Sang doktorandus pun membuat aturan selanjutnya, yaitu larangan merokok di tempat umum. Tahun-tahun berikutnya, ia buat aturan larangan merokok di dalam rumah sekalipun. Proses demi proses itu dijalankan berbekal ketegasan dan kesabaran. Meski ada saja penentangan, perlahan semua warga menerima dan terbiasa akan aturan itu.
Suami Mutaharah ini memiliki 9 anak, yaitu Akmal, Faisul, Nahdiyatul Choiriyah, Mutawadah, Musyaiyadah, Nurul Afifah, Nahdiyatul ‘Aini, Mustagfiroh, dan Ulil Absar. Sang sulung kini sedang kuliah di LIPIA Jakarta.
Idris mengaku, semua anggota keluarganya tidak ada yang merokok. Padahal dulu, kata putra ke-4 dari 8 bersaudara ini, bapaknya adalah perokok berat. “Tetapi, Alhamdulillah orangtua berhenti merokok sebelum meninggal,” ungkap anak dari Salieu dan Sapari ini.
Untuk menuju Bone-Bone, mesti melewati jalan beton dan bebatuan yang sempit sepanjang 7 kilometer dari pusat kecamatan. Di pintu gerbang masuknya, terpampang tulisan larangan merokok dan mengonsumsi minuman keras serta narkoba.
Ratusan meter kemudian, berdiri baliho besar yang bertuliskan, “Nikmati indahnya pemandangan dan segarnya udara dusun kami. Terima kasih Anda tidak merokok dalam wilayah kampung Bone-Bone.”
Di pojok kiri bagian bawah baliho ini, ada tulisan “Departemen Kesehatan RI, Pusat Promosi Kesehatan”, lengkap dengan logo kementerian tersebut. Sejak proses berjalannya larangan menjual rokok, Bone-Bone memang sudah menjadi perhatian Kemenkes.
Status dusun ini naik menjadi desa pada tahun 2008. Gebrakan Idris yang telah dirasakan manfaatnya membuatnya dipercaya masyarakat sebagai kepala desa (Kades). Ia pun terus mengobarkan perlawanan terhadap polusi rokok khususnya di Bone-Bone.
Pengamatan hidayatullah.com, desa yang dikelilingi perbukitan dan persawahan ini tampak hijau nan asri. Udaranya pun segar. Saking segarnya, jika ada yang merokok di sini, kata Idris, bau asapnya sudah tercium dari jauh.
“Dulu kentara sekali ni kalau ada orang merokok. Jarak-jarak 100 meter saja sudah (tercium) bau rokoknya,” ujarnya dengan logat khas suku Duri sepulangnya dari sawah.
Bone-Bone kini merupakan desa yang bebas dari asap rokok pertama di dunia. Jangankan melihat perokok, batang rokok apalagi kemasannya saja, bisa dibilang, tak dijumpai di tempat ini. Perekonomian warganya pun Idris akui meningkat kisaran 50 persen.
Atas prestasinya, Idris menerima PIN Emas dari Menteri Kesehatan RI pada Konferensi Promosi Kesehatan V di Bandung (2009). Bone-Bone pun meraih Juara I Perlombaan Desa Tingkat Nasional 2012. Tenaga Ahli Muda Japan International Cooperation Agency (Jepang) pernah studi banding di Enrekang tentang Bone-Bone (2013).
Beberapa hari jelang HUT 70 tahun RI, 17 Agustus lalu, Idris berangkat ke Jakarta. Bersama para kades teladan se-Indonesia, ia bersilaturahim dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenen Bogor, Jawa Barat.
Bagaimana trik Idris mengusir bau rokok dari desa yang dihuni sekitar 786 jiwa umat Islam itu? Apa pula tantangan lainnya? Silahkan baca cerita sosok Idris selengkapnya di majalah Suara Hidayatullah edisi September 2015 pada rubrik Figur. [Foto-foto desanya silahkan lihat di sini!]*