Oleh: Muhammad Yusran Hadi, Lc, MA
BANYAK orang sering mengklaim mencintai Rasulullah Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Kecintaan kepada Nabiullah, merupakan suatu hal yang harus ada dalam diri setiap muslim, karena itu adalah tanda bukti keimanannya. Mencintai dan mentaati beliau berarti mencintai dan mentaati Allah Subhanahu wa-ta’ala. Namun amat disayangkan, sebagian kaum muslimin saat ini ada yang salah dalam mewujudkan cintanya kepada Rasulullah Rasuullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) dengan melakukan hal-hal yang tidak dicontohkan, baik oleh Nabi sendiri maupun oleh para sahabat. Bahkan, ada yang hanya mencukupkan diri dengan banyak mengucapkan shalawat , namun realitas kesehariannya, perilakunya justru bertolak belakang dengan sikap Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم).
Mencintai Rasulullah harus dibuktikan dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan syariat. Wujud sebenarnya bagaimana mencintai Rasulullah adalah dengan melihat kehidupan para shahabat dan generasi sesudah mereka. Mereka membuktikan rasa cintanya dengan tidak pernah membantah apa yang diperintahkan Rasulullah Rasuullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) dan selalu berusaha untuk meniru semua sisi pribadi beliau. Karena itu, amat disayangkan, jika ada di antara kaum muslimin yang mengaku mengenal dan mencintai Rasulullah, Rasuullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) namun tidak mengikuti dan mengamalkan sunnahnya.
Kewajiban Mencintai Rasulullah
Sebagai seorang seorang muslim, kita berkewajiban untuk mencintai Rasul Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) . Allah Subhanahu wa-ta’ala berfirman:
قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
”Katakanlah, ’Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah Subhanahu wa-ta’ala dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (At-Taubah: 24)
Ayat ini cukup menjadi bukti keharusan untuk mencintai Rasulullah Rasuullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Bahkan ayat tersebut juga menunjukkan begitu besar hak Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) untuk dicintai, sebab dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa-ta’ala memberikan ancaman bagi orang-orang yang lebih mencintai harta, keluarga, dan anak-anak daripada mencintai Allah dan Rasul-Nya. Bahkan di akhir ayat, Allah menggolongkan orang-orang yang mempraktekkan hal tersebut sebagai orang yang sesat dan tidak mendapatkan hidayah dari Allah Subhanahu wa-ta’ala.
Kualitas iman kita sangat ditentukan dengan sejauh mana cinta kita kepada Rasulullah. Orang yang memiliki iman yang sempurna selalu memposisikan cintanya kepada Rasul Rasuullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) dengan posisi urutan pertama dibandingkan cintanya kepada manusia lain. Cintanya kepada Rasulullah melebihi cintanya kepada orang tua, istri/suami dan anaknya, bahkan dirinya sendiri. Sebagaimana sabda Rasulullah Rasuullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) : “Tidaklah sempurna iman salah seorang kamu sehinga aku lebih dicintai dari kedua orang tuanya dan anak-anaknya.” Dalam riwayat yang lain, Rasulullah: “Tidaklah sempurna iman seseorang sehingga aku lebih dicintai dari dirinya sendiri.” (HR. Ahmad)
Makna dan Urgensi Cinta Nabi
Orang yang memperoleh cinta Allah dan Rasul-Nya pasti akan memperoleh kebahagian di dunia dan di akhirat. Tentunya dengan mengamalkan Al-Quran dan Sunnah Rasul Rasuullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Allah Subhanahu wa-ta’ala telah menegaskan dalam Al-Quran bahwa prasyarat untuk mendapatkan cinta-Nya adalah harus mengikuti Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) terlebih dahulu. Dengan kata lain, mencintai Rasulullah berarti mencintai Allah. Mengikuti petunjuk Rasul adalah syarat mutlak untuk mendapatkan cinta Allah Subhanahu wa-ta’ala.
Sebagaimana firman-Nya;
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu.” (Ali Imran: 31). Inilah substansi dari makna mencintai Rasuullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم).
Dalam kitab “Syarh Riyadhus Shaalihiin”, Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ayat ini disebut oleh sebagian ulama dengan ayat ujian, karena Allah menguji suatu kaum yang mengaku bahwa mereka mencintai Allah seraya berkata, “Kami mencintai Allah.” Ini adalah pengakuan yang mudah tetapi pengakuan ini mengandung konsekuensi.
Allah Subhanahu wa-ta’ala berfirman: “Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikuti Aku.” Atau, barangsiapa yang mengaku mencintai Allah dan tidak mengikuti Rasulullah Rasuullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), maka pengakuannya itu tidak benar, tetapi dia pembohong karena di antara tanda kecintaan kepada Allah adalah mengikuti Rasul-Nya.”
Selain itu, masih banyak ayat lain yang memerintahkan kita untuk mengikuti Rasululah Rasuullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) (lihat An-Nisa’’: 59, 65, dan 80, Ali Imran: 31, Al-A’raf: 158, al-Ahzab: 21, al-Hasyr: 7, al-ahzab: 36, an-Nur: 36, syura: 52, an-najm: 3-4, dan sebagainya).
Allah Subhanahu wa-ta’ala memuji akhlak Rasul Rasuullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) dan menjadikannya sebagai sosok teladan dan idola yang wajib diikuti.
Allah berfirman; “Sesunggguhnya engkau benar-benar berakhlak yang agung.” (Al-Qalam: 4). Dan Allah Subhanahu wa-ta’ala berfirman, “Sesunggguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah suri tauladan bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21).
Muhammad bin Ali at-Tirmizi berkata, “Yang dimaksud dengan meneladani Rasul Rasuullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam adalah mengikuti jejak beliau, mengamalkan Sunnahnya, serta meninggalkan larangannya, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan.”
Banyak Hadits yang menjelaskan tentang kewajiban dan makna mencintai Rasulullah. Di antaranya sabda beliau, “Al-Quran itu terasa sulit bagi orang yang membencinya, padahal Al-Quran merupakan alat untuk menetapkan suatu hukum. Barangsiapa yang berpegang kepada Haditsku, memahami dan menghafalnya, maka dia kelak akan datang bersama Al-Quran. Barangsiapa yang meremehkan Al-Quran dan Haditsku, maka dia akan merugi di dunia dan di akhirat. Ummatku telah diperintahkan untuk mendengarkan sabdaku, mentaati perintahku dan mengikuti Sunnahku. Maka barangsiapa ridha terhadap sabdaku, berarti telah ridha kepada Al-Quran.”
Rasulullah juga bersabda, “Sesungguhnya bani Israil tercerai berai menjadi tujuh puluh dua golongan, dan sesungguhnya ummatku akan bercerai-berai menjadi tujuh puluh tiga golongan. Kesemuanya akan berada di dalam neraka, kecuali hanya satu golongan saja.” Para sahabat bertanya, “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda, “Mereka itu adalah orang yang memegang ajaranku dan ajaran para sahabatku sekarang ini.”
Beliau juga bersabda, “Barangsiapa menghidupkan salah satu dari Sunnahku yang telah dimatikan sepeninggalku, maka dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi kadar pahala mereka yang telah mengamalkan Sunnah ini sedikitpun. Barangsiapa membuat sebuah bid’ah sesat yang tidak dirihai oleh allah dan Rasul-Nya, maka dia akan mendapatkan dosa sebanyak dosa orang yang telah mengamalkan bida’ah itu tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR Tirmidzi)
Bahkan mentaati Rasul Rasuullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) merupakan syarat untuk masuk surga. Rasulullah Rasuullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) bersabda, “Setiap umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan. Seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah yang enggan itu? Beliau menjawab, “Barangsiapa yang taat kepadaku maka ia masuk surga. Dan barangsiapa yang tidak mentaatiku maka ia enggan (masuk surga).” (HR. Bukhari)
Dari beberapa ayat Al-Quran dan Hadits diatas, dapatlah disimpulkan bahwa makna cinta kepada Rasul Rasuullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) berarti mentaati perintah dan larangan Rasulullah Rasuullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), mengikuti petunjuk beliau, mengamalkan dan menghidupkan Sunnah beliau.
Oleh karena itu, para ulama telah sepakat bahwa agar diterimanya ibadah seseorang harus memenuhi dua syarat; Pertama, ikhlas. Kedua, mengikuti petunjuk Rasulullah Rasuullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Bila salah satu syarat ini tidak terpenuhi atau keduanya, maka amal ibadahnya tidak diterima sehingga menjadi sia-sia.
Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Yang paling baik amalnya adalah yang paling ikhlas dan yang paling benar. Bila amal itu ikhlas namun tidak benar, maka amal itu tidak diterima. Sebaliknya, bila amal itu benar namun tidak ikhlas, maka amal itu tidak diterima. Amal itu diterima jika benar dan ikhlas. Orang yang ikhlas itu, bila amalnya untuk Allah Subhanahu wa-ta’ala. Dan orang yang benar itu, bila amalnya berdasarkan sunnah”.
Berpegang perkataan al-Fudhail bi ‘Iyadh di atas, Ibnu Katsir menafsirkan firman Allah Subhanahu wa-ta’ala, “Dan Siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang-orang yang ikhlas menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Allah mengambil menjadi menjadi kesayangan-Nya.” (An-Nisa’:125).
Ibnu Katsir berkata, “Ketika amal perbuatan kehilangan salah satu dari dua syarat ini (ikhlas dan benar), maka amal perbuatan ini menjadi rusak. Siapa yang kehilangan keikhlasan, maka orang itu menjadi munafik, yaitu memperlihatkan amalnya kepada manusia (riya’). Dan siapa yang kehilangan ketaatan kepada Rasulullah (landasan sunnah), maka orang itu sesat dan bodoh. Siapa yang memenuhi kedua syarat itu, itulah perbuatan orang-orang beriman yang amal mereka diterima (dengan alasan) lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan diampuni kesalahan-kesalahan mereka”.
Tanda-tanda cinta kepada Rasulullah
Orang yang mencintai sesuatu biasanya akan lebih mengutamakan sesuatu yang dicintainya itu. Dia akan selalu patuh, taati dan mengikuti orang yang dicintai. Baginya, sang kekasih adalah figur dan idolanya. Jika tidak sampai seperti itu, maka pengakuan cintanya perlu dipertanyakan kembali.
Oleh karena itulah, orang yang telah mengaku dirinya telah mencintai seharusnya memperlihatkan tanda-tanda kecintaanya tersebut.
Dalam kitabnya “Asy- Syifaa Bi Ta’riifi Huquuqil Mushthafaa”, al-Qadhi Iyadh rahimahullah (wafat 544 H), seorang ulama besar dari Andalusia, menyebutkan tanda-tanda orang yang mencintai Rasul Rasuullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), yaitu:
Pertama, mengikuti Sunnah Rasul Rasuullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), baik yang berupa perkataan maupun perbuatan. Dia akan mengerjakan seluruh perintah Rasul Rasuullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), menjauhi larangannya dan berperilaku seperti beliau dalam keadaan suka dan duka.
Kedua, lebih memprioritaskan ajaran syariat Rasulullah Rasuullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) sehingga rela untuk mengeyampingkan dorongan syahwatnya.
Ketiga, membenci manusia karena Allah, bukan berdasarkan dendam pribadi.
Keempat, seringkali menyebut-nyebut nama baginda Rasulullah Rasuullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Sebab seseorang yang yang mengaku cinta kepada sesuatu, maka dia pun akan sering kali menyebut-nyebut sesuatu yang dia cintai itu.
Kelima, seringkali merasa rindu untuk bertemu dengan Rasulullah, sebab setiap pecinta itu akan sangat senang bila dengan kekasihnya.
Keenam, menghormati dan memuliakan sang kekasih ketika namanya disebut. Dia akan memperlihatkan sikap khusyu’ dan merasa tersentuh takkala mendengar nama Rasulullah.
Ketujuh, mencintai orang-orang yang mencintai Nabi Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) dan orang-orang yang dicintai oleh beliau, seperti keluarga Rasulullah dan para sahabat. Namun jika ada yang mengaku mencitai Nabi, sementara masih mencaci-maki sahabat-sahabat yang dicintai Nabi, mereka bukan golongan Nabi.
Kedelapan, membenci orang-orang yang memusuhi Rasulullah dan orang-orang yang dibenci oleh beliau.
Kesembilan, mencintai Al-Quran yang telah dibawa oleh Rasulullah Rasuullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Kesepuluh, mencintai ummat Nabi Muhammad dan suka memberikan nasihat kepada mereka.
Kesepuluh, hidup zuhud di dunia dan rela untuk fakir.
Karenanya, menjadi pertanyaan besar bagi kita semua. Bagaimana kita mengaku diri mencintai Nabi, dan berharap Nabi juga mencintai kita? Sedang banyak di antara kita justru terang-terangan melawan/memusuhi bahkan secara terang-terangan bersikap sinis dengan Syariat Islam?
Semoga kita termasuk orang-orang yang mencintai Rasulullah Rasuullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) dan mencintai Syariat Allah, agar kita juga dicintai oleh Allah Subhanahu wa-ta’ala dan dimasukkan kedalam surga-Nya. Amin!!
Penulis adalah Dosen IAIN Ar-Raniry, kandidat program Doktor (Ph.D) bidang Ushul Fiqh, IIUM