“Al-Ḥamd adalah kata-kata setiap orang yang bersyukur”
—‘Abdullah ibn ‘Abbās—
Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
KITA sering mendengar kalimat, “Segala puji dan syukur hanya milik Allah Subhanahu Wata’ala.”
Sejak awal dari Al-Quran (Dimulai Surat Al-Fātiḥah [1]: 2) Allah Subhanahu Wata’ala sudah berfirman bahwa al-Ḥamdu lillāhi rabbal-‘ālamīn (segala bentuk pujian dan kesyukuran benar-benar mutlak milik Allah, Rabb sekalian alam ini). Begitulah bunyi firman-Nya itu.
Ya. Hanya Allah yang patut dipuji.
Selain Allah tidak. Pujilah yang lain sekadarnya, jangan melampaui batas.
Si Fulan itu pintar. Si Fulanah itu cantik. Tapi pujian itu semua tak mutlak. Karena kepintaran dan kecantikan asalnya dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Bukankah Allah itu memiliki nama al-‘Alīm (Maha Berilmu). Dan kata Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam. Allah itu Jamīl (Maha Indah) dan yuhibb al-jamāl (benar-benar mencintai keindahan) (HR. Muslim).
Intinya, pintar dan cantik itu ternyata ‘semu’ bagi makhluk. Karena tanpa karunia Allah kepintaran dan kecantikan itu tidak ada.
Para ulama kita ada juga yang memaknai kata al-ḥamd dalam Qs. 1: 2 di atas dengan al-syukr (kesyukuran, ungkapan rasa terima-kasih). Dan al-syukr ini benar-benar mutlak ditujukan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya.
Mengapa Ia harus disyukuri?
Karena Dia telah mencurahkan sekian banyak dan sekian bentuk kenikmatan kepada hamba-hamba-Nya. Sanking banyaknya, kenikmatan-kenikmatan itu sampai tak dapat dihitung.
Selain Allah memang tak ada seorang pun dapat menghitung nikmat-nikmat-Nya.
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS: Al-Naḥl [16]: 18]
وَءَاتَىٰكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَآ ۗ إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌَ
“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS: Ibrahim Ayat: 34]
Artinya, kita diingatkan oleh Allah bahwa kita adalah makhluk yang ‘sukar’ untuk ‘syukur’.
Ada beberapa alasan mengapa kita harus senantiasa bersyukur kepada Allah Azza Wajalla.
Nikmat Hati
Ada nikmat lain sebenarnya yang benar-benar harus kita syukuri. Yaitu nikmat hati kita yang masih dapat menerima sinar hidayah dari Allah. Dimana ia sejak awal memberitahu kita bahwa segala bentuk pujian memang hanya untuk-Nya. Cara-pandang kita sudah diarahkan dengan baik. Jangan puji selain Allah.
Allah memang Maha Pengasih (al-Raḥmān) dan Maha Penyayang (al-Raḥīm). Tidak dibiarkan kita dalam kejahilan yang berkepanjangan.
Sejak awal isi Al-Quran Allah sudah kabarkan kepada kita bahwa pujian dan kesyukuran memang mutlak milik-Nya. Maka bersyukurlah kita. Karena, jika tidak diberitahu, besar kemungkinan kita akan memuji selain-Nya dan banyak berterima-kasih kepada makhluk-Nya. Sehingga para ulama’ kita banyak yang menyatakan bahwa dalam Qs. 1: 2 Allah seolah-olah berkata kepada kita, “Katakanlah: ‘al-Ḥamd lillāhi rabb al-‘ālamīn.”
Allah yang harus kita puji itu juga mengenalkan diri-Nya dengan sebutan Rabb, yang banyak diartikan oleh para ulama kita dengan al-sayyid (tuan) yang harus ditaati (al-muṭāʻ).
Bahkan mereka ada yang menjelaskan bahwa orang-orang Arab menyebut orang yang suka melakukan perbaikan dengan rabb. Dan pemilik sesuatu disebut pula dengan rabb. Maka pemilik Ka’bah bisa dikatakan rabb al-ka’bah; pemilik rumah bisa disebut rabb al-bayt; dan yang lainnya. (Bersambung)
Penulis adalah guru di Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, Medan-Sumatera Utara. Penulis buku “Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia”