SEKETIKA gurun pasir yang mengitari Bukit Uhud menjadi panggung demonstrasi keimanan bagi para sahabat. Bersama debu yang beterbangan menutupi pandangan, manusia-manusia berjuluk generasi terbaik itu segera merapat mengelilingi Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam .
Saat itu pasukan kaum muslimin sedang kacau. Tanpa diduga, musuh Islam tiba-tiba menyerang dari arah belakang bukit. Nabi sendiri sampai terluka akibat amuk dendam kafir Quraisy Makkah ketika itu.
Thalhah ibn Ubaidillah Radhiyallahu anhu (Ra) adalah di antara yang sedikit yang menjadi tameng hidup untuk melindungi keselamatan Nabi Muhammad. Tanpa ampun, sambil tetap mengapit Nabi, Thalhah terus mengayun pedangnya menerabas kepungan musuh. Tak ayal sekujur tubuh Thalhah dipenuhi dengan puluhan luka. Setidaknya ada 70 luka tusukan panah dan tombak serta sabetan pedang. Demikian sejarah mencatat.
Usai peperangan, di tengah kesedihan Nabi Muhammad atas gugurnya para syuhada Uhud, Rasulullah menyempatkan untuk menyanjung Thalhah dengan pujian yang membuat cemburu seluruh penduduk langit dan bumi.
Kata Nabi, jika kalian ingin melihat sosok syahid yang masih berjalan di muka bumi, maka tengoklah langkah Thalhah ibn Ubaidillah.
Hidup untuk berbagi manfaat
Mari berkaca satu jenak di hadapan kisah heroik Thalhah di atas. Ia adalah cermin abadi bagi siapa saja yang telah larut dalam kehidupan yang singkat ini. Apa sebenarnya yang manusia cari di tengah hiruk pikuk kesibukan dunia? Lalu apa yang telah ia kerjakan untuk perkara yang fana itu? Adakah ia menebar manfaat ataukah justru sedang menabur kehancuran bagi masyarakat?
Realitasnya, di antara manusia (mungkin) ada yang tak pernah berfikir untuk memberi manfaat kepada orang lain. Sebaliknya, hari-harinya disibukkan dengan urusan mengais keuntungan sebanyak-banyak dari orang lain. Peduli apa dengan kesusahan orang lain. Bisikan kejam itu kini malah berubah menjadi dendang hiburan buat mereka. Sebagaimana, boleh jadi saat ini ada orang yang sedang terbahak melihat ribuan nyawa meregang akibat bencana asap sebagai hasil dari keserakahan mereka.
Uniknya, generasi orang-orang shaleh terdahulu justru mengajarkan sebaliknya. Mereka bersikap sedia untuk menebar manfaat dan kebaikan sebanyak-banyaknya kepada orang lain. Mereka yakin, kebahagiaan itu hadir dengan cara berbagi dan memberi. Sebagaimana keberkahan itu menyapa ketika jiwa ini suka membantu dan menolong orang lain.
Inilah fakta kehidupan. Sejak dahulu manusia menjumpai sekumpulan orang di sekelilingnya yang sibuk memikirkan diri sendiri. Mereka abai kepada beban penderitaan orang-orang di sekitarnya. Bisa dikata, tak seorangpun merasakan kehadirannya. Ironisnya, orang-orang justru merasa sempit dengan kehadirannya di dunia.
Di gulir waktu yang sama, manusia juga bisa menemui sosok yang nyaris setiap waktu namanya terukir dalam gema-gema kebaikan. Ia disebut-sebut meski kehidupannya telah berlalu sejak masa dahulu.
Para ulama, sejumlah pahlawan dan tokoh-tokoh pejuang dakwah Islam adalah contoh untuk manfaat yang mengalir. Sepanjang masa kehidupan manusia maka sebentang itu pula nama dan jasa mereka akan menebar wangi selalu.
Ilmu yang bermanfaat
Hingga di sini, mari kembali menengok teladan Thalhah ibn Ubaidillah. Kala ia masih hidup di dunia, namanya justru sudah melambung tinggi hingga ke taman-taman surga. Bahwa Thalhah sudah bercap syahid dan bergaransi bidadari surga sedang jasadnya masih menjejak bumi saat itu. Sebuah gelar yang sangat layak dicemburui oleh seisi langit dan bumi. Sebab mungkin tak seorangpun manusia bisa bergelar yang sama dengan pujian kepada Thalhah ibn Ubaidillah.
Sejatinya persoalan manusia bersimpul di perihal tersebut. Sebab ia kembali kepada kualitas syahadat dan iman yang telah diikrarkan kepada Allah dahulu. Hal itu berurusan dengan pokok-pokok keimanan seseorang. Apakah benar iman yang dipunyai adalah iman produktif? Adakah ilmu yang dimiliki adalah ilmu yang bermanfaat? Bagaimana dengan setiap laku yang dikerjakan, benarkah sudah memenuhi kriteria amal yang shaleh dan layak diterima oleh Allah? Dan masih sederet kata tanya lainnya sebagai evaluasi atas prestasi iman dan keyakinan tersebut.
Hendaknya seorang Muslim itu gelisah jika tumpukan ilmu dan wawasan pengetahuan yang dimiliki ternyata belum sebanding dengan amal kebaikan yang masih sedikit. Seorang Muslim juga layak risau kalau banyaknya karunia Allah yang ia peroleh rupanya belum selaras dengan kebaikan yang mesti dilakukan.
Terakhir, Syeikh az-Zarnuji, pengarang Kitab Ta’lim Muta’allim mengingatkan, orang yang mengabaikan ilmu dalam hidupnya, sesungguhnya ia telah mati sebelum kematian itu benar-benar mencabut nyawa orang itu. Sebaliknya, orang-orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya akan tetap hidup selamanya meski ia sudah berlalu atau jasadnya telah remuk berkalang tanah.*/Masykur Abu Jaulah