Hidayatullah.com–Sepintas, Suwardi seperti orang Jawa umumnya. Hanya kulitnya kelihatan putih. Tapi jika tahu nama aslinya, mungkin orang akan terkejut. Lahir dan besar di Blora, Jawa Tengah, 45 tahun yang lalu. Orang tuanya memberi nama Oei Ping Djien. Ya, Suwandi memang keturunan China.
Seperti orang China kebanyakan, Oei Ping juga pintar berdadang. Ia sukses menjadi pedagang cabai dalam usia muda. Selain berdagang cabai di berbagai kota, ia juga menjadi salah satu pemasok pabrik mie terbesar di Indonesia.
Suwardi mengaku, sebagai pedagang ‘ideologinya’ cuma satu. “Mencari uang sebanyak-banyaknya,” katanya. Untuk itu, apapun dilakukan. Mulai dari berbohong, mengurangi timbangan dan sebagainya. Padahal tanpa disadari itu berarti ia telah menggali kuburannya sendiri. Benar saja. Tahun 1997, Allah Subhanahu Wata’ala menghukumnya.
Ia jatuh bangkrut. “Saya ditipu rekanan sampai terbelit hutang 80 juta rupiah,” kata Suwardi kepada majalah Suara Hidayatullah di rumahnya, Ponorogo, Jawa Timur, pada suatu kesempatan.
Hari-hari Suwardi kemudian menjadi penuh tekanan. Ia dikejar-kejar petani, rekanan dan bank. Apalagi kalau bukan menagih hutang. Di sini proses pencarian diri dimulai.
Ia mencari orang yang bisa membantunya menemukan jalan keluar. Pertama-petama kakaknya yang pendeta. Lalu ia diajak ke gereja. Ini sesuatu yang baru, karena sebelumnya Suwardi pemeluk Kong Hu Cu. Dua tahun mempelajari Kristen, ia tidak menemukan apa yang dicari.
Hingga pada suatu kesempatan ia menemukan buku berjudul ‘Sejarah Tuhan’. Dari buku ini Suwardi mengenal Tuhan dari berbagai agama, termasuk Islam. Dari sini pula, ia mulai tertarik dengan Islam dan ingin mendalami agama terbesar di dunia ini.
Dari proses belajar Islam melalui buku, televisi, dan radio, ia berjumpa dengan hadist yang kemudian mengubah jalan hidupnya. Hadits itu mengatakan, “Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” Hadits ini seakan menyentak kesadarannya. Selama ini ia tak pernah memikirkan orang lain. Ia hanya peduli pada diri sendiri.
Ada dorongan kuat pada Suwardi untuk mengamalkan hadits itu. Padahal waktu itu ia belum bersyahadat. Seumur-umur ia tidak pernah mencuci baju sendiri, maka sejak itu baju ia cuci sendiri. Kamar dan rumah juga ia bersihkan sendiri. Kalau ada piring kotor di dapur, langsung ia cuci. Tentu saja ibu dan saudara-saudaranya heran melihat tingkah laku Suwardi. “Mereka bilang saya gila,” kata pria yang kini sukses menjadi pedagang kedelai ini.
Menurut ayah tiga orang anak ini, jika hadits ini diamalkan maka tidak ada lagi pengangguran. “Jika kita memberi manfaat kepada orang lain, orang lain pasti juga akan memberi manfaat kepada kita,” jelasnya. Apakah kemudian Suwardi masuk Islam? Belum
Ada hadits lain yang menginspirasi Suwardi. Kali ini terkait dengan orang tua. Ridha Allah, kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, tergantung kepada ridha orang tua. Lagi-lagi Suwardi tersentak kesadarannya. Ia selama ini telah menjadi anak durhaka. “Bukan saja bilang ah, saya sering membentak ibu,” katanya.
Begitu membaca Hadits ini ia buru-buru meminta maaf kepada ibunya. Untuk memohon keridhaan ibunya, ia sampai rela mencuci kaki sang bunda. Itu ia lakukan tiap hari hingga ibunya meninggal tahun 2005 lalu. “Awalnya ibu tak mau, tapi akhirnya tak bisa menolak,” tambah Suwardi. Ada ‘keajaiban’ begitu Suwardi mengamalkan dua hadits tadi. Apa keajaiban itu, ikuti tulisan berikutnya.* (Bersambung)