Oleh: Achmad Djalaluddin
Hidayatullah.com | Bersama Allah Ta`ala kita kuat dan bisa. Bersama saudara seiman, kita dikuatkan.
Saudara itu penting, karena dijadikan penguat saudaranya oleh Allah.
وَنَجْعَلُ لَكُمَا سُلْطٰنًا فَلَا يَصِلُوْنَ اِلَيْكُمَا
“Kami akan membantumu dengan saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar, maka mereka tidak dapat mencapaimu …” (al-Qashash [28]: 35).
Saat ini dan (mungkin) beberapa waktu ke depan, kehidupan berjalan tak seperti biasa. Mungkin terasa sulit.
Berlama-lama di rumah dengan aktivitas yang cenderung monoton, bisa menyebabkan panik, jenuh, cemas, atau stres. Bila panik dan stres, tubuh akan melepaskan kortisol ke aliran darah yang selanjutnya bisa menekan sistem imun pada tubuh.
Kita memerlukan kebersamaan agar kuat. Masing-masing berusaha menguatkan saudaranya agar mereka (virus dan bala tentaranya) “tidak dapat mencapaimu …”
Bila situasi saat ini –dengan menggunakan teori konspirasi– dimaknai sebagai perang, maka penting mengetahui siapa lawan dan siapa kawan. Lawan pasti berupaya melemahkan pertahanan dan ketahanan, sedangkan kawan akan menguatkan pertahanan dan ketahanan itu.
Bila saat ini dimaknai perang, maka dalam perang ada akhlaq (akhlaq al-hurub). Kita patut menggali inspirasi Nabawi bagaimana menjaga akhlaq di tengah peperangan, saat diserang-menyerang lawan, termasuk yang tak terlihat mata (virus).
Dalam Akhlaq al-Hurub fi as-Sunnah an-Nabawiyah (Raghib al-Surjani, 2010) disebutkan, akhlaq Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam dalam perang, di antaranya:
Al-Ijtihad fi Himayat al-Arwah (serius dalam menjaga nyawa manusia).
Akhlaq ini ditujukan kepada lawan. Jangan sampai ada korban di pihak musuh. Maka, langkah yang dilakukan adalah menawarkan Islam kepada mereka, menawarkan “aman” semisal dengan perjanjian damai, sebelum benar-benar terjadi kontak fisik.
Bila terhadap lawan saja Rasulullah berusaha menjaga nyawa mereka, apalagi kepada umat Islam. Dengan perang, Rasulullah mengajak untuk menjaga agama, jiwa (nyawa), keturunan, akal, dan harta kaum Muslimin.
Saat ini, lawan kita adalah virus yang tak terlihat. Maka, seharusnya “takbir” ditujukan kepada virus-virus dan orang-orang yang menebarkannya.
Antara yang tetap shalat di masjid dan yang shalat di rumah, tak perlu “takbir” membela pendapatnya. Karena jihadnya bukan membela fatwa atau pendapat, tapi jihad melawan virus untuk himayat al-arwah (menjaga nyawa) kaum Muslimin.
Bagi yang shalat di masjid, berusahalah menjaga nyawa diri dan orang lain. Pastikan diri tidak menjadi carrier (pembawa virus), terinfeksi tapi tak bergejala, terlihat sehat tapi bisa menyebabkan orang lain tertular. Sebab ajaran Nabi menegaskan, “Laa dharara wa laa dhiraara”. Tak boleh merugikan diri dan merugikan orang lain.
Bagi yang shalat di rumah, bersedihlah karena tak bisa ke masjid. Pahami dalil mengapa untuk sementara waktu tak ke masjid. Pahami bahwa untuk menjaga agama dan jiwa, kata Imam al-Ghazali Rahimahullah, ada jalbu al-mashalih dan dar`u al-mafasid (meraih kebaikan dan menolak kerusakan dan yang merusak). Dan yakinlah bahwa yang shalat di masjid juga menginginkan kebaikan bersama.
Bagi yang shalat di masjid, hindari logika “yang shalat di rumah imannya lemah, karena lebih taat pemerintah daripada kepada Allah”. Ini sama dengan logika “yang tak poligami imannya lemah karena lebih takut istri daripada takut kepada Allah “.
Rafdlu mabda` al-takhrib, menolak prinsip destruktif (merusak).
Tidak boleh merusak lawan, merusak pohon, ternak, tempat ibadah, anak-anak, perempuan, tokoh agama mereka … (Panjang kalau dibahas). Apalagi kepada kawan.
Bagi yang paham tentang covid-19, perlu proporsional, tidak menambah panik dan stres. Begitu pula yang tak paham, perlu menghindari kebiasaan sharing info tanpa klarifikasi dan uji akurasi (fa tabayyanuu wa tatsabbatuuu). Khawatirnya, di rumah saja bisa stres, apalagi ditambah info-info yang menakut-nakuti. Dampaknya, mudah didatangi oleh virus, meskipun shalatnya di rumah.
Ayo, saling menguatkan dan menggembirakan! Hasbunallah w ani`mal wakiill.*
Dosen Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang