Hidayatullah.com | SEJAK iblis dikutuk oleh Allah akibat membangkang terhadap perintah-Nya untuk bersujud kepada Nabi Adam, maka sampai kapanpun ia akan membalaskan dendamnya kepada anak keturunan Adam. Ia beserta generasinya akan tetap menjerumuskan manusia dari jalan Allah melalui berbagai cara.
Pasukan iblis tidak pernah putus asa. Bagaimanapun hebatnya manusia dalam memegang syariat agama, tentu masih ada celanya. Sekecil apapun cela itu pasti akan dimanfaatkan mereka untuk masuk dan mempengaruhi manusia.
Karena sifat alamiahnya, pasukan syetan itu bisa masuk pada diri manusia, kapanpun sesuai yang diinginkannya. Rasulullah ﷺ sendiri mengibaratkan keterlibatan syetan dalam diri manusia itu seperti peredaran darah. Tanpa terasa darah kita terus mengalir dari satu tempatke tempat lain, sesuai dengan kebutuhan alamiahnya.
Oleh karenanya, tidak ada satupun di antara kita yang bebas dari pengaruh syetan. Tak ada yang kebal hingga tidak bisa dimasuki, dipengaruhi, atau digoda.
Seorang yang paling wali sekalipun masih belum bisa bebas dari pengaruh syetan. Justru mereka menjadi sasaran intinya, dimana beribu-ribu syetan keluar masuk mempengaruhi jalan pikiran, perasaan, pandangan,dan pendengarannya.
Bagi syetan, orang-orang yang sudah jelas-jelas kekafirannya tidak menjadi sasaran godaan. Mereka hanya diajak untuk memperkuat barisanya, menjadi serdadu dan pasukannya.
Demikian halnya dengan orang yang masih setengah-setengah. Mereka didorong dari belakang dan diseret dari depan untuk lebih mendekat padanya. Jika manusia semakin dekat kepadanya, berarti ia telah jauh dari kebenaran Islam.
Orang yang selalu berbuat baik, suka menolong orang lain, membantu saudaranya yang sedang kesulitan, berinfaq dan bershadaqah, tak mungkin bisa dicegah oleh syetan. Untuk itu syetan bekerja dan berpikir keras hanya untuk melencengkan kebaikan tersebut.
Caranya sederhana, yaitu menyusupkan setitik riya’ dalam hatinya. Orang boleh berinfaq sebanyak-banyaknya, tapi syetan berusaha membisikkan agar dibalik pemberian tersebut terselip keinginan untuk pamer ataupun riya’.
Boleh saja seorang guru mengabdikan seluruh hidupnya untuk mengajarkan nilai-nilai kebenaran, mulai pagi hingga larut malam.Tak mungkin kegemaran seperti ini juga bissa diselipi syetan.
Syetan mengerahkan segenap daya dan kekuatan untuk menetralkan amal kebaiakanya.Caranya mudah, yaitu memasukkan sedikit nilai kebanggaan diri. Ketika seseorang membanggakan amal ibadahnya, seolah-olah amal itulah yang telah menyelamatkandirinya dari siksa Allah Swt, dan membantunya masuk Surga-Nya, maka pada saat itulah ia telah menggugurkan pahala amalnya sendiri.
Demikian halnya dengan orang yang gemar beramarma’ruf nahi mungkar. Syetan tahu bahwa pahala yang disiapkan oleh Allah bagi mereka sangat besar.
Untuk itu, syetan berusaha untuk mencegahnya. Jika tidak bisa, maka syetan membiarkan mereka beramar ma’ruf, sehingga mereka justru terseret ke dalam ghibah dan syetan memperoleh alas an untuk menyelimuti ghibah dengan pakaian amar ma’ruf nahimunkar. Karena pikirannya terpengaruh syetan, mereka mengira perbuatannya bukanlah ghibah selama digunakan untuk mengubah kemungkaran danmengembalikan yang sesat kepada yang benar.
Boleh jadi ada orang yang dikenal sebagai figur dan menjalankan syariat agama. Sehingga apapun yang terlihat dari dirinya dianggap baik dan tidak termasuk ghibah. Tidak heran jika orang-orang meniru cara mereka yang lebih dekat dengan nafsu dan sesuai dengan kehendak syetan.
Jangan mengira para pemuka agama terbebas dari dorongan untuk melakukan ghibah seperti yang dilakukan oleh orang awam. Imam Al-Ghazali mengatakan di dalam kitab Ihya Ulumuddin, “Ghibah merupakan sesuatu yang paling rumit dan tersamar, karena ia merupakan kejahatan yang disembunyikan syetan dalam selimut kebaikan. Memang di situ ada kebaikan, tetapi syetan memupuknya dengan kejahatan.”
Jadi begitulah gambarannya, setiap kali berkumpul dalam berbagai majelis dan kunjungan, ternyata santapan sebagian besar manusia adalah daging orang lain. Minumannya adalah kehormatannya, hidangan buahnya adalah aibnya, serta manisannya adalah kekurangannya.
Ibnul-Jauzy berkata, “Di antara tipu daya syetan terhadap kemunkaran, bahwa jika seseorang yang berada dalam suatu majelis mendengar seseorang mengghibah, maka diapun menyebut-nyebut dirinya. Padahal boleh jadi setelah itu orang yang mengghibah menjadi sabar dan bertaubat dan menyesali perbuatannya. Jadi, menutupi aib orang Muslim adalah wajib dengan segala kemampuan yang dimiliki.”
Kalau hal itu berkaitan dengan hak orang yang mengingkari ghibah dalam suatu majelis yang dia ikuti, lalu menyebut-nyebutnya, kemudian bagaimana halnya dengan orang pertama yang tidak pernah diingkari sama sekali, dia duduk dalam suatu majelis mencela ini dan menyerang itu, mengungkap dan menyibak aib orang lain, agar nampak seakan melakukan amar ma’ruf nahi munkar, supaya nampak seperti orang shalih?
Apakah ada orang berakal, apalagi orang Mukmin,yang menghukumi orang semacam ini sebagai orang shalih? Sebab apa yang dia kerjakan sama sekali tidak mengandung kebaikan dan kemaslahatan. Bahkan ini merupakan penyakit, yang penyebabnya adalah lalai melihat aib dirinya sendiri.
Satu sifat ini saja sudah bisa menghilangkan sifat-sifat lain pada diri orang yang berakal. Maka kewajibannya ialah meninggalkan sifat suka ghibah, sebagaimana dikatakan Al-Hafizh Ibnu Hibban, “Yang harus dilakukan setiap orang berakal adalah mencari keselamatan, tanpa mencari-cari aib orang lain, sambil meluruskan aib dirinya sendiri. Sebab siapa yang bisa melihat dan memperbaiki aib dirinya tanpa mencari-cari aib orang lain, berarti dia telah menenteramkan dirinya dan tidak membebani hatinya. Selagi dia melihat aib dirinya, tentu dia tidak kaget jika melihat aib serupa pada diri saudaranya.”
Siapa yang sibuk mencari aib orang lain tanpa mau melihat aib dirinya, maka hatinya akan menjadi buta, badannya menjadi letih dan selalu mencari-cari alasan untuk menutupi aib dirinya. Sesungguhnya orang-orang yang mencela apa yang ada pada diri orang lain, merekalah orangyang paling lemah. Dan yang lebih lemah lagi adalah orang yang dicela olehmanusia. Siapa yang mencela manusia, niscaya mereka akan mencelanya pula.
Inilah memang tujuan syetan. Allah telah berfirman;
أَتَأْمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ ٱلْكِتَٰبَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Apakah kamu menyuruh manusia kepada kebajikan, sedang kamu melalaikan dirimu sendiri?” (QS: al-Baqarah: 44).
Syetan tidak akan mampu menggoda manusia, kecualijika dalam diri manusia sedang berkuasa hawa nafsunya. Inilah penolongyang kuat bagi syetan untuk bisa menguasai manusia. Siapa saja yang mengikutihawa nafsunya, berarti dia telah menolong syetan. Dia telah menyimpang dari jalan Allah Swt.
Lebih parah lagi adalah mereka yang menjadikan hawa nafsu ini sebagai sesembahannya.
أَفَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya?” (QS al-Jatsiyah:23).
Hawa nafsu inilah yang akan menjerumuskan orang untuk melakukan ghibah,adu domba, dan mencari-cari aib orang lain.
Sedangkan orang yang menjaga agar dirinya tidak memberi kesempatan syetan masuk, tidak mengikuti hawa nafsunya karena mentaatiperintah Allah, maka dialah orang Mukmin, yang hatinya dipenuhi iman, sehinggatidak ada tempat untuk hal-hal lain. Setan pun tidak punya kesempatan untukmenguasainya.
اِنَّ عِبَادِىۡ لَـيۡسَ لَكَ عَلَيۡهِمۡ سُلۡطٰنٌ اِلَّا مَنِ اتَّبَـعَكَ مِنَ الۡغٰوِيۡنَ
“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat. (QS al-Hijr: 42)
إِنَّهُۥ لَيْسَ لَهُۥ سُلْطَٰنٌ عَلَى ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannyaatas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabb-nya.” (QS: an-Nahl: 99).
Asy-Syafii berkata, “Jika seseorang berakal dan mengabaikan dunia, dia tidak akan mencari-cari aib orang lain, sebagaimana orang cacat dan sakit yang tidak mampu memikirkan keluhan orang lain.” Semoga kita selamat dari amal buruk ini.*