Hidayatullah.com | HATI, … ya gumpalan itulah yang sering kita melupakannya. Semata karena ia tak kasat mata, tak mampu kita melihatnya.
Padahal gumpalan itu yang menurut Rasulullah ﷺ Shallallahu Alaihi Wassalam amat menentukan baik dan buruknya perilaku seorang anak Adam. Jika hati terjaga dan terawat dengan baik, bersih dari penyakit yang meliputinya, maka apa mencuat adalah kejernihan pikiran dan perilaku.
Tentu karena intens berinteraksi dengan pikiran, maka apa yang disimpulkan oleh pikiran pun berakar dan bermula dari apa yang terbesit di dalam hati. Tak ada yang mampu menundukkan hati kecuali hidayah Allah Subhanahu Wa Ta’ala, namun hidayah itu tak lah diperoleh kecuali dengan ikhtiar dan usaha yang sungguh-sungguh untuk meraihnya.
*قُلْ هَلْ مِنْ شُرَكَاۤىِٕكُمْ مَّنْ يَّهْدِيْٓ اِلَى الْحَقِّۗ قُلِ اللّٰهُ يَهْدِيْ لِلْحَقِّۗ اَفَمَنْ يَّهْدِيْٓ اِلَى الْحَقِّ اَحَقُّ اَنْ يُّتَّبَعَ اَمَّنْ لَّا يَهِدِّيْٓ اِلَّآ اَنْ يُّهْدٰىۚ فَمَا لَكُمْۗ كَيْفَ تَحْكُمُوْنَ*
“Katakanlah, “Apakah di antara sekutumu ada yang membimbing kepada kebenaran?” Katakanlah, “Allah-lah yang membimbing kepada kebenaran.” Maka manakah yang lebih berhak diikuti, Tuhan yang membimbing kepada kebenaran itu, ataukah orang yang tidak mampu membimbing bahkan perlu dibimbing? Maka mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?”(QS: Yunus: 35).
Duduk dan bergaullah dengan sahabat yang sholeh, tambatkan hati untuk rindu pada rumah Allah, kerap mendatangi mazlis ilmu, rutin membaca dan mengkaji Ayat Al-Quran, dengan ini semua semoga pertolongan dan hidayah-NYA tidak jauh. Jika semua itu dilakukannya dengan sepenuh kesadaran, keinginan tulus untuk terus memperbaiki diri, maka apapun akibat yang diterimanya dari orang disekitarnya tidaklah akan menggoyahkan tekadnya.
Sebab tentu sejak awal disadarinya bahwa jalan menuju kebaikan adalah jalan yang terjal dan bahkan berliku. Bahkan yang harus lebih diwaspadainya adalah apa yang sangat mungkin menyelinap di dalam hatinya, seperti tetiba merasa lebih suci dibanding orang lain, yakin menjadi lebih sholeh dan paling dekat pada Allah, meremehkan orang lain.
Inilah penyakit-penyakit hati yang menggerogoti, bagai sel kanker yang perlahan membusukkan organ yang dikuasainya, apa yang membuatnya makin parah adalah si pemilik hati tak merasa itu sebuah penyakit, bahkan ia menikmatinya seolah karunia dari Allah atas keshalehannya.
Jika hati tak mampu lagi mengakui kelebihan yang dimiliki sahabat, terasa berat untuk memberi appresiasi pada prestasi yang dilakukan teman sejawat atau bawahan, bahkan untuk sekedar menyatakan bahwa pikiran atau usulan seseorang amat mencerahkan dan inspiratif, tengoklah kedalam dan introspeksilah, Jangan-jangan hasud dan iri telah begitu menguasai hati dan pikiran.
Sebetulnya perasaan tersebut amat menyiksa batinnya, mengganggu kinerjanya dalam bekerja dan bahkan orang lain mampu menangkap dari aura wajah dan tatapan matanya, sehingga secara tak sadar sering ditampakkan para perilakunya yang salah tingkah dan serba canggung.
Dalam pergaulan sehari-hari tentu kita tak mungkin berharap semua orang akan menyukai kita, atau semua orang akan melakukan cuma hal-hal yang menyenangkan kita, maka apa yang terbaik adalah kita melapangkan hati dan pikiran untuk memberikan udzur (permakluman) atas kesalahan, kekhilafan, kekurangan orang lain.
Mungkin memang cuma demikian kemampuan yang dimilikinya, atau memang mereka tak memahami ada hal yang lebih baik yang bisa mereka lakukan, bukankah jika kita terus memendam kekecewaan tak akan mampu merubah apapun yang sudah terjadi. Bukankah jika kita justru yang melakukan kekhilafan atau kesalahan, pasti amat berharap orang akan mendahukan untuk memberi alasan pemaaf?
Inilah sejatinya yang disebut keadilan, kita memperlakukan orang lain sama seperti kita berharap orang lain memperlakukan kita. Hati akan lebih merasa lega, tanpa beban dan jernih serta lapang jika kita terus menanam dan memupuk agar bibit hati yang bersih dan terbebas dari hama penyakit makin subur.
Dr.Khalid Abu Syadi dalam bukunya Kita Pasti Menang menulis: “Hal ini mengandung isyarat bahwa amalan qalbu itu lebih penting dan lebih berat daripada amalan fisik… ”
Maka hendaklah kita bersungguh-sungguh dalam meraihnya, dan berusaha ridho pada apapun yang menjadi ketentuan-NYA. Bersyukurlah atas hidayah yang Allah hujamkan dalam hati kita. “Abu Thalib tidak menemukan hidayah padahal dialah orang yang menjaga dan melindungi Rasulullah ﷺ. Sementara Allah menetapkan hidayah bagi Ikrimah bin Abu Jahal setelah Rasulullah menghalalkan darahnya dan memerintahkan untuk membunuhnya meskipun ia bergelayut pada tirai Ka’bah…,” demikian kata Dr Khalid, dalam bagian lain bukunya.*/Hamid Abud Attamimi