Oleh: Mahmud Budi Setiawan
BERBICARA masalah Syi`ah, tidak bisa dilepaskan dari aspek historis yang menggambarkan proses kelahirannya. Dari ranah ini, yang paling bisa dirasakan terutama pada bidang politik. Pada zaman Abu Bakar dan Umar, sekte ini masih belum ada. Namun, di akhir kekhilafaan Umar bin Khatthāb, gejala ini mulai muncul. Paling tidak bisa dimulai dari peristiwa terbunuhnya Umar Ra. (23 H).
Dalam literatur sejarah (spt: al-Bidāyah wa al-Nihāyah, al-Kāmil fī al-Tārikh, Tāriku al-Islām li al-Dzahabi, al-Mihan dll), sudah jamak diketahui bahwa pembunuh Umar adalah Abu Lu`lu`ah (Fairūz) al-Majusi, budak al-Mughīrah bin al-Syu`bah. Pembunuhan ini murni faktor politik, yang dilatarbelakangi oleh rasa dendam yang begitu tinggi, akibat jatuhnya negeri Persia ke tangan kaum Muslimin (baca: Minhāju al-Sunnah al-Nabawiyah, Ibnu Taimiyah, 6/371). Kelak -meskipun Abu Lu`lu` beragama Majusi- ia dianggap sebagai pahlawan agung bagi orang Syi`ah (baca: Farhatu al-Zahrā`, Syaikh Abu `Alī al-Ashfahāni, 125). Bahkan oleh ulama Syi`ah, ia dijuluki sebagai ‘Bābā Sujāu al-Dīn’ [Bapak Pemberani Agama] (baca: al-Kunā wa al-Alqāb, `Abbās al-Qummi, 2/62). Kejadian ini minimal sedikit menggambarkan bagaimana cara pandang politik Syi`ah dalam Daulah (baca: negara) Islam. [Baca juga: Umar: Sang Pemadam Api Majudi [1] dan bagian [bagian 2]]
Di zaman Khalifah Utsman, wilayah Islam yang sedimikian luas meliputi Yaman, Hijāz, Syām, Afrika dan Persia, menimbulkan tantangan tersendiri. Bagaimanapun juga, meluaskan wilayah jauh lebih mudah daripada mempertahankannya. Umar dalam posisi meluaskan, sedangkan Utsman mempertahankan wilayah. Pada zaman Utsman inilah, nantinya lahir pemberontakan-pemberontakan. Orang-orang persia yang pura-pura beragama Islam (menyimpan dendam kusumat) di bawah komando Abdullah bin Saba`(orang Yahudi yang mengaku Islam) untuk menyulut pemberontakan (baca: Tārikhu al-Umam wa al-Rusul wa al-Mulūk, Imam Thabari, 2/647).
Singkat cerita, sifat lembut Utsman, dan kengototannya untuk tetap tinggal di Madinah –padahal sudah ditawari Mu`awiyah untuk pindah ke Damskus atau mengirim pasukan ke Madinah, namun tetap ditolak (baca: Taisīr al-Karīm al-Mannān fī Sīrati Utsmān bin `Affān Syakhshiyatuhu wa `Ashruhu, Muhammad al-Shallābi, 363)-, serta kekuatan militer di Madinah yang begitu rawan, ditambah pula ketidakbersediaan Utsman dalam menghabisi kaum pemberontak (di bawah pimpinan al-Ghāfiqi bin Harb) –lantaran tak mau terjadi pertumpahan darah karena dirinya (baca: Tārikh Dimasyq, Ibnu `Asākir, 398)-, akhirnya Utsman berhasil dibunuh pemberontak dirumahnya sendiri. Kelak, Abdullah bin Saba` -otak di balik pemberontakan ini- adalah sosok yang membidani lahirnya Syi`ah.
Dalam suasana yang begitu mencekam pasca pembunuhan Utsman, negara dalam kondisi tidak stabil. Keadaan inilah yang mendesak Ali bin Abi Thalib segera menerima jabatan Khalifah. Awalnya ia tidak mau -karena yang memaksanya menjadi pemimpin adalah para pemberontak-, namun demi terciptanya kestabilan negara, akhirnya –meskipun terpaksa- ia mau menjadi khalifah pengganti Utsman (baca: al-Khulafāu al-Rāsyidūn, Mushthafā Murād, 583).
Dengan sangat sigap dan cekatan, Ali segera berusaha menstabilkan kondisi negara. Yang menjadi prioritas di awal kekhilāfaannya, ialah mewujudkan stabilitas keamanan, dan menyatukan kaum Muslimin, baru kemudian mengeksekusi pembunuh Utsman. Ternyata, kondisi lapangan tidak semudah yang dibayangkan. Belum tuntas ia mengamankan negara, pihak dari kalangan sahabat yang tak terima atas pembunuhan Utsman, meminta Ali segera mengeksekusi pembunuh Utsman. Suasana pun memanas. Ali bersikeras dengan pendapatnya, sahabat lain seperti Thalhah, Zubair dan Aisyah, juga bersikeras dengan pendapatnya (dalam Tārikh Thabari, Imam Thabari, 5/481).
Perang saudara pun tak dapat dihindarkan. Perang Jamal, yang melibatkan Thalhah, Zubair dan Ibunda Aisyah, melawan Ali bin Abi Thalib –sebagai kepala negara resmi- tak terelakkan. Pihak Aisyah akhirnya kalah. Beliau diperlakukan dengan sebaik-baiknya dan dikembalikan ke Madinah. Baru saja masalah ini tuntas, muncul lagi persoalan baru di mana Mu`awiyah bin Abi Sufyan tidak mengakui Ali sebagai khalifah (al-Khulafāu al-Rāsyidūn, Mushthafā Murād, 606) sebelum menindak tegas para pemberontak yang membunuh Utsman. Akhirnya terjadilah pertempuran Shiffīn (36 H). Waktu itu kemenangan hampir di pihak Ali, namun atas kecerdikan Amru bin Ash terjadilah peristiwa tahkīm [arbitrase] (Riwayat ini bersumber dari Abu Mikhnaf, Sejarawan Syi`ah, yang didustakan oleh Ibnu al-`Arabi dalam kitabnya, al-`Awāshim min al-Qawāshim,31).
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Dari pihak Mu`awiyah diwakili Amru bin Āsh, sedangkan dari Ali diwakili Abu Musa al-Asy`ari. Kesepakatan damai pun terjadi. Namun dari peristiwa ini, muncul lagi masalah yang tidak kalah peliknya. Kaum Muslimin semakin terpecah-pecah. Sebagian pihak yang mendukung Ali, ada yang pro Muawiyah. Ada juga yang kecewa dan keluar dari keduanya yang kemudian dinamakan: Khawārij. Dari sebagian pendukung Ali inilah, Syi`ah lahir secara nyata untuk pertama kalinya (yang dibidani Abdullah bin Saba`).
Kondisi yang tidak stabil seperti ini damanfaatkan dengan baik oleh para pemberontak. Direncanakanlah -oleh orang Khawārij- pembunuhan para petinggi kaum Muslimin, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Mu`awiyah bin Abi Sufyan, dan `Amru bin Ash. Dari rencana tersebut, yang berhasil dibunuh hanya Khalifah Ali bin Abi Thalib, oleh Abdurrahman bin Muljam (baca: al-Thabaqāt al-Kubrā, Ibnu Sa`ad, 3/25-27). */bersambung.. ‘Syiaisasi dan Pemberontakan..
Penulis adalah peserta PKU VIII UNIDA Gontor 2014