Sambungan artikel KEDUA
oleh: Muhammad Cheng Ho
Hinaan Kasar untuk Nabi Muhammad di Makassar
Tumbangnya orde lama dan tegaknya Orde Baru, rupanya tak juga menghapus penistaan agama.Bila sebelumnya Nabi Muhammad dihina oleh media massa, kali ini dihina olehoknum guru beragama Kristen di Sekolah Tinggi Ekonomi, Makassar, H.K. Mangunbahan. [Baca: Mujiburrahman,ISIM Dissertations Feeling Threatened Muslim-Christian Relations In Indonesia’s New Order, Amsterdam University Press: Leiden, 2006, hlm. 38]
Di hadapan murid-muridnya yang mayoritas Muslim itu, ia muntahkan kata-kata penuh kebencian.
“Nabi Muhammad adalah seorang pezina. Nabi Muhammad adalah seorang yang bodoh dan tolol, sebab dia tidak pandai menulis dan membaca.”Mendengar itu, meletuslah perasaan hati dan menaiklah darah murid-murid muslim tadi. Akibatnya, pada malam 1 Oktober 1967, beberapa gereja di Makassar dirusak dan dipecah kaca-kacanya oleh mereka.”
Kala itu Pelajar Islam Indonesia (PII) berkumpul di depan Pusat Kesehatan Muhammadiyah Makassar. Di sana, PII membuat deklarasi yang menyatakan bahwa mereka siap mati sebagai syuhada demi membela Islam.
Pada saat yang bersamaan, melalui stasiun radio HMI, pemimpin HMI, Jusuf Kalla ( yang sekarang menjadi Wakil Presiden RI), menginstruksikan semua anggota HMI dan organisasi Muslim lainnya untuk datang ke daerah dekat masjid pada pukul 8 malam. Setelah shalat Isya, terjadi penyerangan oleh beberapa orang. Mereka mulai merusak beberapa bangunan kaum Kristen. Teriakkan “Allahu Akbar, belaa agamamu, jadilah syahid!” keluar dari pengeras suara masjid.
Setelah itu, barulah Dewan Gereja Indonesia Makassar mengkonfirmasi bahwa pernyataan H.K. Mangunbahan adalah pernyataan pribadi dan menyalahkan perbuatan oknum guru tersebut.
Berita pengrusakkan beberapa gereja di Makassar, tersiar sampai Jakarta. Di Jakarta, Tokoh Masyumi, M. Natsir, menilai aksi tersebut tidak baik dan tentu melukai kaum Kristen. Namun, Perdana Menteri pertama Indonesia itu menegaskan hendaknya persoalan ini tidak dilihat secara symptomatis approach, yaitu dengan hanya melayani gejala yang kelihatan.
“Ibarat orang yang sakit malaria, kepalanya panas lantas diberi kompres dengan es, tidaklah akan menghilangkan penyakit malaria itu. Harus dicari sebab hakiki dari penyakit itu sendiri. Karena panas kepala hanya suatu gejala dari orang yang sakit malaria. Islam punya kode yang positif tentang toleransi sesama beragama yang tidak perlu dikhawatirkan oleh orang beragama lain. Tetapi kalau pihak Kristen yang unggul dalam arti materiil dan intelektuil mengkristenkan orang-orang Islam, ini melahirkan satu ekses yang serius.”
Sahabat M.Natsir, Buya Hamka, juga turut menanggapi. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama itu menegaskansesungguhnya tidak ada orang Islam yang menyukai pengrusakkan gereja. “Kalau merusak gereja memangajaran Islam, lanjutnya, maka sudah lamalah beratus-ratus gereja di kota-kota yang mayoritas penduduknya muslim dan sadar akan agamanya, telahdirusak dan diruntuhkan orang. Namun kenyataannya berpuluh tahun sebelum anak-anak merusak gereja di Makassar itu , telah banyak gereja-gereja berdiri di tengah kota Makassar.” [M.Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia, Peladjar dan Bulan Sabit:Bandung, 1969, hlm. 188-189]
Apabila oknum guru tadi tidak memancing-mancing dengan menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam di depan murid-muridnya, maka tentu umat Islam tidak akan merusak gereja-gereja itu.
Prahara Sastra
Pada tahun 1968, dunia sastra dihebohkan dengan terbitnya Cerpen berjudul “Langit Makin Mendung” karangan Kipandjikusmin. Cerpen yang dimuat di majalah Sastra edisi Agustus 1968 No. 8 Th. VI itu dinilai telah menodai kesucian agama Islam.
Dalam cerpennya, Kipandjikusmin menceritakan kondisi masyarakat Indonesia pada saat zaman Gestapu yang masih dikuasai oleh paham Nasionalisme Agama Komunisme (Nasakom). Idenya menulis Cerpen itu berawal dari rasa geli melihat golongan yang dahulu mendukung PKI, malah berbalik menyerang PKI setelah PKI terganyang. “Saja mau bilang bahwa umat Islam ikut bersalah djuga dengan meletusnja Gestapu!” . Namun masalah mencuat manakala ia mengimajinasikan Tuhan, Nabi, dan Malaikat seperti makhluk biasa dalam cerpennya.
Tuhan digambarkanmenggeleng-gelengkan kepala, memakai kacamata emas,dan mengangguk-angguk.
“Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng2kan kepala, tak habis pikir pada ketidak_puasan dibenak manusia.”
“Kemarau kelewat pandjang disana. Terik matahari terlalu lama membakar otak2 mereka jang bodoh. (Katjamata model kuno dari emas diletakkandiatas medja dari emas pula).”
“Tuhan hanja mengangguk2, senjum penuh pengertian_ penuh kebapaan.”
Nabi Muhammaddan Malaikat Jibril dilukiskan menyamarmenjadi seekor elang.
“Sampai djuga ketelinga Muhammad dan Djibrail jang mengubah_diri sepasang burung_ elang. Mereka bertengger dipuntjak menara emas bikinan pabrik Djepang. Sepasang elang terbang di udara sendja Jakarta jang berdebu, menjesak dada dan hidung mereka asap knalpot dari beribu mobil.“
Kontroversi pun akhirnya pecah. Para ulama dan masyarakat memprotes Kipandjikusmin. Protes pertama terjadi Medan.*
Penulis pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) …(bersambung) .. musibah Cerpen HJ Yassin