Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Muhammad Cheng Ho
Hal ini sebetulnya tidak perlu terjadi, bila pihak Depdikbud konsisten dengan apa yang dinyatakannya. Di dalam SK 052, tertulis adanya masa peralihan dua tahun untuk menerapkan aturan seragam sekolah nasional secara penuh. Jadi baru pada tahun ajaran 1984/1985 pakaian seragam ini baru digunakan secara penuh. Sementara dalam Wartasiswa yang dikeluarkan Depdikbud sendiri, dengan jelas menyatakan,
“Keputusan yang mengatur ketentuan Pakaan seragam sekolah secara nasional ini adalah suatu “Pedoman”, bukan instruksi atau surat perintah, sehingga tidak memuat sanksi atau bersifat paksaan. Jadi sanksi hukum tidak ada, namun besar kemungkinan yang akan terjadi adalah sanksi sosial yang datang dari sekolah lain yang telah menerapkan atau dari tim penilai sekolah teladan yang memasukkan kategori yang belum dapat memenuhi kriteria.”
Pada kenyataannya, bukan seperti itu yang terjadi. Sanksi umumnya datang dari pihak Kepala sekolah dan guru-guru dalam bentuk sindiran-sindiran, tekanan, larangan belajar, hingga pengembalian pada orang tua. Walaupun tidak ada pernyataan yang jelas-jelas melarang jilbab atau jilbab, SK 052 segera menjadi landasan bagi pihak sekolah untuk ‘mengharamkan’ pemakaian jilbab oleh siswi-siswi di sekolah tersebut.
Tanggapan beberapa ormas Islam serta masyarakat mulai bermunculan. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) mengirimkan suratnya pada pengurus MUI pada tanggal 8 Desember1982. Dalam surat setebal empat halaman itu, DDII mengungkapkan keprihatinannya atas masalah-masalah jilbab yang sedang terjadi. DDII juga mengusulkan diadakannya “Musyawarah Ukhuwah Islamiyah” yang melibatkan pemimpin ormas-ormas di bidang pendidikan Islam untuk membicarakan masalah tersebut. DDII terus berkorespondensi dengan MUI. Pada akhir Desember mereka mengirimkan informasi tambahan pada MUI tentang masalah yang sama, dan sebulan berikutnya kembali mengirimkan informasi tambahan yang mereka kumpulkan.
Pengurus PII Wilayah Jakarta mengirimkan surat pernyataan, (pada tanggal 8 Januari 1983) kepada semua pihak yang berwenang dan terlibat, antara lain ditujukan kepada Ketua MPR-DPR, Menteri-menteri, dan MUI, untuk ikut menuntaskan masalah jilbab. Pada tanggal 17 Januari 1983, Pimpinan Pusat Badan Pembela Masjidil Aqsho (BPMA) menyampaikan, “Teriakan hati kepada semua pihak yang menangani pendidikan.”Mereka menyatakan bahwa memakai jilbab merupakan kewajiban bagi kaum mukminah, pemakainya dijamin oleh konstitusi, dan pelarangannya akan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Pengurus Pusat Wanita Muslim juga memberi perhatian terhadap masalah ini dengan mengirim surat pada tanggal 21 Januari 1983 yang ditujukankepada Menteri P dan K. Dalam surat ini, Mendikbud diminta untuk “mengambil kebijaksanaan dengan memberi kelonggaran kepada mereka yang ingin berbusana sesuai dengan keyakinan ajaran agamanya dan untuk tetap dapat mengikuti pelajaran.”
Media massa Serial Media Dakwah dan Harian Pelita turut membantu perjuangan jilbab. Mereka banyak meliput pihak yang merasa dirugikan oleh permasalahan jilbab ini.
Pemberitaan Tempo pada tanggal 11 Desember 1982, yang berjudul “Larangan Buat Si Kudung” walaupun hanya sekali memberi dukungan tersendiri bagi siswi-siswi berjilbab.
Para siswi pun bergerak menentang. Pada tanggal 15 Januari 1983, siswi-siswi yang berjilbab dari SMA, SMEA, dan SGA Tangerang, Bekasi, dan Jakarta juga mengajukan protes ke DPRD DKI Jakarta menuntut agar dibolehkan mengikuti pelajaran dengan tetap mengenakan pakaian muslimah.
Pada masa-masa berikutnya, terjadi komunikasi yang semakin intensif antara umat Islam yang diwakili MUI dengan pemerintah (Depdikbud). Meskipun dialog tak kunjung hasil dan pelarangan jilbab terus terjadi, tapi tidak membuat MUI menyerah memperjuangkan jilbab. Tekanan dari masyarakat, media massa, dan MUI justru semakin kuat. Depdikbud dibawah menteri dan Dirjen Dikdasmennya, Fuad Hasan dan Hasan Walinono, mau tidak mau mempertimbangkan kembali peraturan seragam yang ada.
Sementara di tingkat nasional, berdirinya ICMI, telah merubah haluan pemerintah menjadi lebih akomodatif terhadap Islam. Fuad Hasan, pada awalnya terlihat enggan untuk mengubah peraturan seragam, boleh jadi karena sikap pemerintah Orde Baru yang selama ini cenderung anti Islam. Namun, bandul telah bergeser, dan Depdikbud pun mau tidak mau harus mengikuti bandul itu.
Akhir 1989 atau awal 1990, MUI mengadakan Munas dan menghasilkan keputusan perlunya meninjau kembali peraturan tentang seragam sekolah.
Menindaklanjuti hasil Munas tersebut, MUI beberapa kali menemui Depdikbud, terutama dengan Hasan Walinono, Dirjen Dikdasmen. Pada pertemuan di sebuah restoran di kawasan Monas, bulan Desember 1990, kedua belah pihak sepakat untuk menyempurnakan peraturan seragam sekolah. Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu itu tiba. Pada tanggal 16 Februari 1991, SK seragam sekolah yang baru resmi ditandatangani, setelah melalui proses konsultasi dengan banyak pihak, termasuk Kejaksaan Agung, MENPAN, Pimpinan Komisi XI, DPR RI, dan BAKIN.
Dalam SK yang baru itu, SK No. 100/C/Kep/D/1991, tidak disebutkan kata jilbab, tetapi yang digunakan adalah istilah “seragam khas.” Dalam peraturan tersebut, dinyatakan, ”Siswi (SMP dan SMA) yang karena keyakinan pribadinya menghendaki penggunaan pakaian seragam sekolah yang khas dapat mengenakan pakaian seragam khas yang warna dan rancangan sesuai lampiran III dan IV.” Pada lampirannya bisa dilihat bentuk seragam khas yang dimaksud, yang tidak lain adalah busana muslimah dengan jilbab.
Setelah keluarnya SK 100 tahun 1991, rupanya masih menyisakan masalah. SK ini belum sepenuhnya tuntas mengakomodasi kepentingan siswi-siswi yang berjilbab. Mereka diharuskan berfoto tanpa jilbab atau setidaknya harus terlihat telinganya, untuk keperluan ijazah.
Sebenarnya tidak ada peraturan yang jelas mengenai masalah ini (harus terlihat telinga pada foto). Masalah ini jadi sering membingungkan mereka, karena mereka diancam tidak bisa ke luar ijazahnya, atau tidak sah dan akan mendapatkan kesulitan untuk masuk perguruan tinggi. Ancaman-ancaman ini cukup ampuh dan sering membuat mereka akhirnya mengalah dan mau difoto tanpa jilbab. Meskipun begitu, tidak sedikit juga yang berani melanggarnya dan tidak terjadi apa-apa atas mereka.(Alwi Alatas dan dan Fifrida Desliyanti, Ibid)
Perjuangan pemakaian jilbab selama bertahun-tahun, yang diwarnai sikap represif aparat, pendidik dan pejabat akhirnya membuahkan hasil. Keringat, derita, stigma dan air mata demi menjaga kemuliaan wanita itu mampu mejadi pembuka jalan bagi diterimanya jilbab di dunia pendidikan Indonesia. Tekad baja para muslimah muda dalam memperjuangkan jilbab di masa orde baru akhirnya mendobrak halangan berjilbab. Maka larangan jilbab saat ini sama saja melecehkan perjuangan para pendahulu dan mewarisi kebijakan intoleransi rezim orde baru.
Wahai para siswi, resapi, hargai, dan teruskan perjuangan pendahulumu! Kelak sejarah akan mencatatmu dengan tinta emas sebagai pejuang-pejuang jilbab.*
Penulis adalah Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)