Sambungan artikel KEDUA
Falsafah Hidup Urang Sunda
Bila mitos di atas dapat berguna untuk menjelaskan bagaimana pada tahap awal urang Sunda dapat menerima Islam, maka penjelasan mengenai falsafah hidup jurang Sunda saat ini penting untuk memahami betapa intensifnya hubungan Islam dan Sunda hingga saat ini. Apabila falsafah hidup yang dianut ternyata mendapat pengaruh kuat dari Islam, maka hampir dapat dipastikan bahwa Islam telah meresap menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan masyarakat Sunda. Inilah yang akan digali pada bagian ini.
Salah satu jejak budaya yang cukup representatif untuk menggambarkan mengenai falsafah hidup yang dianut urang Sunda adalah warisan peribahasa dan pepatah yang hidup di tengah masyarakat. Dalam bahasa Sunda yang demikian disebut paribasa dan babasan.
Di balik peribahasa dan pepatah itu tentu tersimpan suatu pandangan hidup tertentu (worldview). Pandangan hidup inilah yang menjadi kerangka dasar masyarakat yang bersangkutan melihat dan menafsirkan berbagai realitas yang dihadapinya. Di sini pula dengan segera akan ditemukan sejauh mana Islam berpengaruh membentuk pandangan hidup masyarakat Sunda.
Berkait dengan peribahasa, ada dua buku penting yang dapat dijadikan rujukan, yaitu buku Mas Natawisastra berjudul Saratus Paribasa jeung Babasan (cet. I thn. 1914; cet. II 1978) terdiri atas lima jilid. Buku lainnya ditulis Samsoedi Babasan jeung Paribasa Sunda yang terbit tahun 1950-an. Dalam kedua buku tersebut termuat lebih dari 500 peribahasa Sunda. Seluruhnya mewakili apa yang berkembang di tengah masyarakat Sunda.
Menurut Ajip Rosidi, dari lebih 500 peribahasa, yang secara langsung kosakatanya meminjam peristilahan Islam hanya ada sekitar 16 peribahasa. Sisanya tidak meminjam peristilahan khusus Islam. Di antara babasanyang ada kaitan langsung dengan Islam antara lain: Kokoro manggih Mulud, puasa manggih Lebaran (Orang melarat bertemu perayaan Maulid Nabi, yang berpuasa bertemu dengan Lebaran), Jauh ke bedug (Jauh ke suara bedug di mesjid), dan sebagainya. Sementara peribahasa lain umumnya menggunakan peristilahan yang umum dalam masyarakat Sunda dan tidak kaitannya secara langsung dengan Islam contohnya antara lain: cul dog-dog tinggal igel (menari tanpa diiringi lagi musik pengiring), kandel kulit beungeut (tebal kulit muka), dan sebagainya.
Berdasarkan bacaan Rosidi, sekalipun peribahasa dan pepatah yang dibuat tidak secara langsung menyerap istilah yang ada kaitan dengan kebiadayaan Islam seperti tajug (mesjid), mulud (perayaan Maulid Nabi),lebaran, puasa, dan semisalnya bukan berarti makna yang terkandung di dalamnya juga tidak ada kaitan dengan Islam. Justru setelah keseluruhan pepatah dibaca dan beberapa sampel pepatah dicontohkan, Rosidi menyimpulkan:
Dengan demikian walaupun jumlah peribahasa yang tampak Islami tidak banyak, namun kalau diteliti lebih lanjut, kebanyakan peribahasa Sunda ternyata mengandung nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran Islam. Dengan demikian, pendapat yang pernah dikemukakan oleh almarhum H. Endang Saifudin Anshari, MA bahwa “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” tidaklah bertentangan dengan hasil pengamatan terhadap peribahasa Sunda.
Dalam kesimpulannya Rosidi setuju dengan pendapat Endang Saefudin Anshary bahwa sesungguhnya antara Islam dengan Sunda tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan yang hidup di tengah masyaraqkat Sunda adalah kebudayaan yang telah mendapat sentuhan Islam sangat kuat hingga ajaran-ajaran Islam, sekalipun tidak harus dieksplisitkan ayat dan hadisnya, telah membentuk pandangan hidup masyarakat Sunda. Tentu saja Sunda yang dimaksud adalah kebudayaan Sunda kontemporer yang telah mengalami Islamisasi amat intensif.
Sebagai contoh, ada peribahasa dalam bahasa Sunda mun teu ngarah moal ngarih, mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngoprek moal nyapek (kalau tidak berusaha takkan mungkin mengangi nasi, kalau tidak menggunakan akal tak nanti menanak nasi, kalau tidak bekerja tidak akan mungkin bisa makan). Perihabasa ini mencerminkan bagaimana orang Sunda mengajarkan bahwa hidup harus dihadapi dengan usaha dan ikhtiar, tidak boleh berpangku tangan. Sekalipun kata-kata yang digunakan tidak menggunakan istilah Islam, namun pepatah ini amat sesuai dengan ajaran Islam yang memerintahkan untuk berusaha dan berikhtiar.
Akan tetapi, dalam kenyataan keseharian kehidupan masyarakat Sunda, ada saja adat yang kelihatannya tidak mencerminkan perilaku yang dipengaruhi Islam. Bisa jadi adat tersebut maih dipengaruhi oleh ajaran-ajaran pra-Islam. Hal demikian adalah wajar mengingat proses Islamisasi adalah proses “menjadi” yang mungkin saja di satu tempat sudah berubah sementara di tempat lain belum. Karya H. Hasan Mustapa, Adat Istiadat Sunda.
Dalam buku ini, Mustapa yang tokoh intelektual Muslim Sunda abad ke-19, memberikan penjelasan mengenai berbagai adat kebiasaan yang dikerjakan masyarakat Sunda mulai adat saat melahirkan, mengkhitan, menikahkan, menanam, kematian, dan sebagainya.
Dalam penjelasannya Mustapa menunjukkan apa pengaruh dan falsafah yang ada di balik kebiasaan itu. Ada adat yang memang berkenaan dengan kepercayaan pra-Islam, ada pula yang sudah menunjukkan pengaruh ajaran Islam. Sebagai seorang intelektual Muslim, Mustapa secara proporsional menempatkan adat kebiasaanurang Sunda yang dituliskan dalam kerangka pandangan hidupnya sebagai Muslim. Dari sisi sumber intelektual, sebetulnya karya Mustapa ini juga sudah menunjukkan secara tidak langsung bahwa tokoh-tokoh intelektual Sunda seperti dirinya pada abad ke-19 sudah memiliki pengaruh yang kuat dari Islam. Ini berarti bahwa Islam sudah menjadi salah satu referensi inetelektual yang penting sehingga adat kebiasaan yang berlaku pun ditimbang dalam kerangka Islam.
Mengenai persoalan ada sebagian masyarakat yang lebih memegang adat daripada pengajaran baru, di dalam falsafah masyarakat Sunda sendiri sudah disadari sejak awal. Ini tercermin dari peribahasa kuat adat batan warah (lebih kuat adat daripada pengajaran). Ini menunjukkan bahwa adat bukanlah harga mati. Bisa jadi, dengan datangnya pengajaran baru adat akan berubah. Namun seringkali orang yang sudah telanjur memagang adat tidak dapat dengan mudah meninggalkan kebiasaan-kebiasaannya hanya karena ada pengajaran baru.
KESIMPULAN
Memahami Islamisasi di Tatar Sunda hanya melalui pendekatan sejarah yang konvensional segera dihadapkan pada kesulitan mendapatkan data mengenai detail Islamisasi. Data-data historis hanya menyebutkan beberapa tokoh dengan kiprah mereka yang terbatas. Bagaimana tokoh-tokoh tersebut melakukan Islamisasi sulit dilacak. Hanya angka-angka tahun umum yang didapat yang menunjukkan kapan Islamisasi secara intensif di Tatar Sunda berlangsung, yaitu sekitar abad ke-15 dan ke-16 sejak masa Sunan gunung Djati. Itu pun tidak lengkap.
Melalui penggalian data-data baru secara terus menerus masih terbuka kesempatan untuk semakin memperjelas proses Islamisasi Tatar Sunda secara historis.
Walaupun tidak jelas secara historis, kenyataan bahwa ke-Islam-an dan ke-Sunda-an hampir tidak dapat dipisahkan menunjukkan bahwa telah terjadi proses Islamisasi yang sangat intensif di wilayah Jawa bagian barat ini.
Mitos-mitos menunjukkan bahwa mentalitas masyarakat Sunda memang sudah sangat siap menerima Islam hingga Islam mudah disebarkan di wilayah ini dan berakar sangat dalam dalam kebudayaan masyarakat. Falsafah yang tercermin dalam berbagai pepatah dan peribahasa urang Sunda menunjukkan betapa dalam pengaruh Islam bagi kehidupan mereka.
Penerimaan yang baik terhadap Islam inilah yang menyebabkan Islam dengan mudah tersebar ke seluruh pelosok Tatar Sunda. Hampir tidak ada wilayah yang tidak tersentuh Islamisasi. Bahkan ke pedalaman Banten pun yang sukunya Baduy Dalam mengaku beragama “Sunda Wiwitan” sebetulnya Islam sudah sampai dan diterima di sana. Hanya saja, Islam yang sampai ke Baduy baru ajaran dasarnya saja, yaitu syahadatain. Hal ini dapat dilihat dari praktik ajaran Sunda Wiwitan yang mereka anut. Mereka mengucapkan syahadatain yang sangat khas Islam. Mereka pun mengakui bahwa sebetulnya mereka sudah menerima Islam, tetapi hanya kabagean Sahadatna wungkul, hanya mendapatkan sahadatnya saja, sedangkan ketentuan lain seperti shalat, puasa, dan sebagainya tidak mereka ketahui. Ini menandakan sudah ada usaha menyebarkan Islam ke kawasan Baduy, hanya saja prosesnya terhenti entah karena alasan apa. Sangat mungkin, faktor geografis yang tidak mudah dijangkau membuat proses Islamisasi di wilayah ini tidak berlanjut.
Saat ini masih ada budaya membaca wawacan yang tersisa seperti tradisi Beluk dan Sawer dalam upacara pernikahan. Saat ini, kedua tradisi itu bukan lagi merupakan praktik budaya yang berpengaruh bagi urang Sunda modern. Akan tetapi, masih tersisanya tradisi melagukan wawacan menandakan bahwa di masa lalu praktik budaya semacam itu cukup penting sebagai media menyampaikan ajaran-ajaran tertentu, salah satunya ajaran Islam. Kreativitas mengemas pesan-pesan dakwah melalui media budaya yang hidup pada zamannya inilah yang diduga menjadi salah satu yang menyebabkan Islam mudah diterima di kalangan masyarakat Sunda. Sekali lagi, ini perlu pengkajian lebih lanjut. Wallâhu a’lam bi al-Shawwâb.*
Ketua Umum PP Pemuda Persis; Doktor Sejarah FIB UI. Artikel diambil dari Jurnal Islamiah 2012, berjudul asli “Islamisasi Tatar Sunda: Perpektif Sejarah dan Kebudayaan”