Hidayatullah.com | PADA bulan Oktober 2020 ini, ada buku tahun 30-an yang diterbitkan kembali terkait karya almarhum Ustadz A. Hassan. Buku ini sedikit banyak memberikan gambaran lain dari sosok A. Hassan, terutama dalam sisi pendidikan dan nilai-nilai akhlak yang masih relevan ditanamkan pada anak-anak muslim.
Judul bukunya “Hai, Anak Cucuku! Nasihat seorang tua yang telah hidup lama, banyak melihat, banyak mendengar, dan banyak mengalami hal-hal dunia kepada putranya dan kepada anak-anak seumur dengan mereka.” Diterbitkan oleh Penerbit Al-Muslimun Bangil. Sedangkan editornya adalah Artawijaya, alumni Pesantren Persis Bangil.
Awalnya, buku ini adalah merupakan karya terpisah yang ditujukan untuk anak dan cucu A. Hassan. Kemudian pada penerbitan terbaru ini, dijadikan satu dengan tanpa mengurangi subtansi da nisi dari karya aslinya bahkan terlihat lebih menarik dan semakin utuh.
Buku ini terdiri dari empat bab. Bab pertama membahas tentang kesopanan, perangai terpuji dan kelakuan baik. Sedangkan bab kedua membincang tentang perangai buruk dan kelakuan jahat. Adapun bab ketiga mengupas tentang perdagangan, pertukangan dan perusahaan. Pembahasan pada bab terakhit berkaitan dengan pelajaran, kesehatan, persenaman, perkawinan, pendidikan dan lain-lainnya.
Buku setebal 332 halaman ini sangat dianjurkan untuk dibaca bagi para orang tua dan anak agar lebih sadar dan perhatian kepada pendidikan Islam. Di dalamnya bukan hanya mengajarkan nilai penting akhlak luhur, kesopanan, dan akhlak buruk (yang perlu dihindari), tapi juga tentang hal-hal yang tidak kalah penting untuk mengajarkan anak hidup mandiri atau tidak bergantung pada belas kasihan orang lain.
Dalam bab pertama, butir-butir nasihat di antaranya tentang kesopanan kepada ibu-baoak, datuk-nenek, orang tua, saudara tua dan seterusnya. Sedangkan akhlak luhur seperi melawat orang sakit, mengurus tamu, jujur, adil dan seterusnya. Bahkan, anak-anak sejak dini ditanamkan rasa percaya diri. Bab ini ditutup dengan pembahasan adab-adab keagamaan dan di tempat umum.
Sedangkan di antara pokok bahasan pada bab dua misalnya: sifat dustas, khianat, mencuri, menipu, aniaya dan seterusnya yang harus dijauhi. Bahkan, urusan rokok, onani dan liwath (homo) juga dibahas agar anak-anak sejak dini tidak terpengaruh oleh budaya-budaya yang tak baik.
Adapun bab ketiga lebih mengarah pada nasihat-nasihat tentang kemandirian anak dalam hidupnya. Berbagai jenis keterampilan yang bisa membuat anak mandiri diterangkan di sini misalnya: cara berdagang, pertukangan kayu, reparasi jam, bertani, beternak, menjadi guru, hakim, pengarang dan seterusnya. Bab ini ditutup dengan pembahasan menarik tentang menjaga waktu.
Bab terakhir berisi tentang aneka nasihat berbagai masalah seperti arahan tentang buku-buku apa saja yang penting untuk dibaca, cara menjaga kesehatan, masalah permainan, nyanyian, bela diri, hubungan suami-istri, model pakaian islami, sikap terhadap pemimpin, membela bangsa, meniru Barat dan lain sebagainya. Bab ini ditutup dengan pembahasan tentan berdoa.
Buku ini –sebagaimana yang ditulis oleh editor—diharapkan bisa menjadi bahan bacaan secara luas bagi generasi millenial. Bahkan diharapkan juga bisa menjangkau khalayak yang lebih luas.
Salah satu hikmah yang bisa dicicipi oleh pembaca yang budiman misalnya quote A. Hassan berikut: “Pemberian Tuhan kepada kita sebilah lidah, tidak sepasang seperti telinga dan mata, yang dindingnya dengan dua bibir dan dipagarnya dengan tangkupan dua jejer gigi, adalah mengandung arti, bahwa lidah itu, suatu benda yang lebih perlu tersimpan daripada terdedah dan lebih baik diam daripada bekerja.”
Mungkin di antara para pembaca pernah menikmati karya A. Hassan berjudul “Kesopanan Tinggi”. Dalam buku ini, hal itu lebih diperdalam dan lebib aplikatif terutama dalam kaitannya dengan pendidikan anak. Bahkan dalam nasihat-nasihat yang tertuang dalam buku ini lebih kaya kontennya.
Bagi yang ingin melihat sosok A. Hassan sebagai ayah yang mendidik anak-anaknya melalui untaian nasihat luhur, maka buku ini layak untuk dijadikan koleksi dan diambil mutiara hikmahnya. Mungkin apa yang dihadapi A. Hassan pada tahun awal buku itu ditulis konteksnya ada berbeda dengan yang terjadi sekarang, namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya senantiasa relevan untuk dibahas. Karena, masalah akhlak misalnya, adalah hal yang tidak akan lekang oleh waktu.
Hal menarik dari tulisan yang ditulis A. Hassan ini adalah konsistensi beliau antara nasihat dan kenyataan. Misalnya dalam hal menjaga waktu. Saat masih kecil, A. Hassan sudah terbiasa disiplin waktu. Maka tidak heran ketika hendak belajar Ilmu Nahwu dan Sharaf kepada Haji Muhammad Taib, beliau rela walau harus menjalani syarat datang lebih dini sebelum waktu salat subuh tiba dan tidak boleh naik kendaraan dan itu berjalan hingga empat bulan. (Subhan, 200: 81).
Kisah lain yang tidak kalah penting terkait kedisiplinan A. Hassan dalam soal waktu ialah beliau lebih mendahulukan pentingnya kaderisasi daripada perkerjaan sendiri. Salah satu bentuk disiplin A. Hassan ialah menghentikan pekerjaan rumahnya untuk melayani para pemuda yang ingin belajar seperti Natsir.
Sampai menjelang akhir hayatnya pun, beliau adalah sosok yang berdisiplin waktu. Saat kakinya dipotong karena sakit (pen: yang pernah saya dengan adalah diabetes), beliau sudah menyiapkan catatan kecil yang berjudul; “Ringkasan Riwayat Kaki Saya Dipotong, tertanggal: Surabaya, 1 Oktober 1957”. Maksud dari catatan ini beliau sampaikan kepada Tamar Djaja yang saat itu sedang membesuk, beliau berkata, “Tuan akan tahu riwayat dipotong itu, dan saya tidak capek dan tidak buang tempo untuk menjawab pertanyaan yang tentunya serupa. Jadi kalau saya jawab itu ke itu juga, kita kan rugi waktu. Sekarang mari kita ngomong soal lain-lain jang ada gunanya.” (Tamar Djaja, 1980: 140).
Kisah itu menunjukkan bahwa beliau sebagai ayah dan pendidik sudah melakukan terlebih dahulu sebelum menasihatkan kepada anak-anaknya. Sebagai penutup, berikut ini akan disebutkan untaian nasihat beliau mengenai menjaga waktu:
“Jangan sekali-kali engkau undurkan sesuatu urusanmu daripada waktu yang sudah engkau catat itu (yang sudah direncanakan). Selain dari itu sumua, pekerjaan yang dapat engkau kerjakan sekarang, janganlah engkau tangguhkan buat sebentar lagi, tetapi kerjakan sekarang juga, karena sebentar lagi, engkau juga yang mesti kerjakan. Kalau tidak engkau kerjakan sekarang, bisa jadi, sebentar lagi ada satu hal yang menghalangimu daripada menunaikannya, dan dengan sebab itu, bisa jadi sesuatu kesalahan, kerugian, kerusakan, atau lain-lain yang tak diingini.” (Hal. 255).*/ Mahmud Budi Setiawan