APABILA dijabarkan, ujian, cobaan, dan musibah sangat beragam jenisnya. Misalnya, dalam keluarga, anak yang rewel dan sedikit nakal, istri yang cerewet dan suka menuntut, suami yang galak dan pelit, orang tua yang tidak perhatian, pendapatan pas-pasan, utang yang semakin menggunung yang tidak terbayangkan bisa membayar, berbagai penyakit yang terus menyerang, serta yang lainnya. Semua itu adalah ujian.
Demikian juga sebaliknya, kekayaan melimpah, istri cantik dan seksi, rumah megah, mobil mewah, aset yang semakin mengembang, semua itu adalah ujian. Bukan itu saja, bahkan waktu dan kesempatan yang masih ada saat ini ujian juga.
Ketika waktu shalat tiba adalah ujian, saat jam kerja yang harus dilalui juga ujian, bahkan waktu libur atau istirahat pun ujian.
Uniknya, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menilai hasil ujian kita saat itu, tetapi proses menghadapi ujian itulah yang menjadi poin-poin untuk menentukan hasil akhir ujian. Lantas, apa saja indikator kelulusan ujian-ujian tersebut? Jawabannya ialah tercapainya akhir yang baik (khusnul khatimah) di hembusan napas terakhir kita.
Jadi, perjuangan kita berproses dalam menghadapi ujian itulah yang menggugurkan dosa-dosa dan menyucikan jiwa kita. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam dalam sabdanya berikut:
“Tidaklah ada sesuatu yang menimpa seorang muslim (baik sesuatu itu berupa) kelelahan, penyakit, kegundahan, kesedihan, atau sesuatu yang menyakitkannya sampai duri yang menimpanya, kecuali Allah menggugurkan sebagian dosa-dosanya karena musibah tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda:
“Tidaklah seorang muslim tertimpa sesuatu yang menyakitkannya, kecuali Allah menggugurkan dosa-dosanya, sebagaimana gugurnya daun-daun pepohonan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Manusia tidak pernah terlepas dari ujian. Ujian tersebut menimpa manusia tanpa pandang bulu, dan tanpa dapat diketahui atau diprediksi sebelumnya. Bisa jadi, saat ini seseorang merasakan kebahagiaan, namun beberapa menit kemudian hilanglah kebahagiaan itu berganti kesedihan yang mendalam karena beratnya ujian yang dipikul.
Akan tetapi, kita harus yakin kepada kuasa Allah, sebab ujian yang menimpa kita merupakan salah satu tanda cinta dan kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya. Sehingga, seseorang dapat dihapuskan kesalahan-kesalahannya dan mendapatkan balasan yang lebih baik apabila ia bersabar dan tabah menghadapinya.
Dalam hadits, Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya, besarnya pahala tergantung besarnya ujian. Jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka. Barang siapa yang ridha, maka mereka akan mendapatkan keridhaan Allah. Dan siapa yang murka, maka akan mendapatkan murka Allah.” (HR. Tirmidzi).
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah juga menyatakan bahwa apabila Allah menghendaki hamba-Nya mendapatkan kebaikan, maka Dia segerakan baginya hukuman di dunia. Dan, jika Allah menghendaki keburukan untuknya maka Dia akan menahan hukuman-Nya sampai disempurnakan balasan-Nya kelak di hari kiamat.
Boleh jadi, ada sebagian dari kita akan bertanya, mengapa ada orang yang berbuat dosa dan maksiat, tapi hidupnya sejahtera menurut ukuran dunia? Sedangkan, muslim yang taat menjalankan syariat, namun selalu mendapatkan musibah dan kesengsaraan hidup.
Apabila kita mencermati hadits tersebut, tidak benar jika ada yang beranggapan bahwa Allah tidak adil terhadap hamba-Nya. Hadits itu juga menjelaskan bahwa apabila Allah menghendaki kebaikan kepada seseorang, maka ia akan dihukum dan mendapatkan musibah di dunia. Akan tetapi, apabila Allah menghendaki keburukan kepada seseorang, maka Allah akan menunda hukuman tersebut di dunia, namun menyiapkan keburukan yang lebih besar kelak di akhirat.
Oleh karena itu, apabila ujian menimpa kita, ingatlah terhadap kewajiban kita, yaitu selalu ridha, bersabar, dan ihtisab (mengharapkan pahala-Nya) dalam menghadapi ujian tersebut. Sehingga, terasa ringanlah beban kita.
Tidak hanya itu, ketika kita menunaikan kewajiban kepada Allah, kita akan mendapatkan pahala yang melimpah ruah di dunia, serta balasan yang Allah simpan, yang akan diberikan-Nya kepada kita di akhirat kelak.
Jadi, tidaklah pantas jika sebagai muslim beriman, kita menyalahkan takdir ketika mendapatkan musibah. Pantaskah bagi kita mengatakan, “Mengapa Allah tega menimpakan ujian ini?” Padahal; bisa jadi ujian yang menimpa kita itu disebabkan oleh dosa-dosa kita sendiri. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya berikut:
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri…” (an-Nisaa’: 79).*/Muhaimin al-Qudsy, dari bukunya Agar Ujian & Cobaan Berbuah Kenikmatan. [Tulisan berikutnya]