Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Shalih Hasyim
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
Dari Abu Hurairah, Rasulullah berkata: “Iman terdiri dari tujuh puluh lebih, atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah laa ilaaha illallaah, sedangkan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Muslim)
Jika pokoknya kuat dan kokoh, maka cabangnya akan kuat pula. Sebaliknya jika dahannya bengkok, maka bayangannya akan bengkok pula.
Jati diri seorang muslim sangat ditentukan oleh sejauh mana kualitas tauhidnya. Karena tauhid dalam jiwanya laksana pondasi bagi sebuah bangunan. Rumah tanpa pondasi bagaikan istana pasir. Akan mudah roboh. Tidak tahan menanggung bangunan diatasnya.
Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah berkata,“Tauhid ini memiliki kedudukan penting laksana pondasi bagi suatu bangunan.”(Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar,Hal. 13)
Allah Ta’ala berfirman:
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَم مَّنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىَ شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Manakah yang lebih baik; orang yang menegakkan bangunannya di atas pondasi ketakwaan kepada Allah dan keridhaan-Nya, ataukah orang yang menegakkan bangunannya di atas tepi jurang yang akan runtuh dan ia pun akan runtuh bersamanya ke dalam neraka Jahannam.” (QS. At-Taubah (9) : 109)
Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah berkata, “Hal itu dikarenakan ayat ini turun berkenaan dengan kaum munafikin yang membangun masjid untuk shalat padanya. Akan tetapi tatkala mereka tidak membarengi amalan yang agung dan utama ini – yaitu membangun masjid – dengan keikhlasan yang tertanam di dalam hatinya, maka amalan itu sama sekali tidak memberikan manfaat bagi mereka. Bahkan, justru amalan itu yang akan menjerumuskan mereka jatuh ke dalam Jahannam, sebagaimana ditegaskan di dalam ayat tersebut. ” (Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar,Hal. 13)
Tauhid ibarat sebatang pohon. Cabang-cabangnya adalah amalan. Adapun buahnya adalah akhlak yang mendatangkan kebahagiaan hidup di dunia dan kenikmatan tiada tara di akhirat. Demikian pula syirik, dusta dan riya’ seperti sebatang pohon, yang buah-buahnya di dunia adalah cekaman rasa takut, kekhawatiran, perasaan bersalah (al inhizamun nafsiyyah), sempit dada, dan gelapnya hati. Dan di akhirat nanti pohon yang jelek itu akan membuahkan siksaan dan penyesalan (lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar,Hal. 14)
Allah Ta’ala berfirman:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاء
“Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah memberikan perumpamaan suatu kalimat yang baik seperti pohon yang indah, pokoknya tertanam kuat -di dalam tanah- sedangkan cabangnya menjulang ke langit.” (QS. Ibrahim: 24).
Yang dimaksud ‘kalimat yang baik’ di dalam ayat ini adalah syahadat laa ilaaha illallaah (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, Hal. 425)..
Kalimat thayyibah itulah bekal yang digunakan Musa untuk mengalahkan sihir Firaun. Bekal yang digunakan Ibrahim untuk menaklukkan Namrud yang berkuasa 1400 tahun. Dan menderita 1400 tahun pula, setelah nyamuk melekat di dalam otaknya. Dan karena tidak kuat menahan rasa sakit, ia memukul kepalanya dengan besi. Dan setelah itu, kejayaan Namrud tinggal menjadi kenangan masa silam.
Saudara-saudaraku, sangat banyak ayat maupun hadits yang menerangkan tentang keutamaan memperbaiki dan mendakwahkan tauhid ini. Tidak sanggup rasanya lisan dan tangan ini untuk menggambarkan betapa agungnya dakwah tauhid ini. Bagaimana tidak? Sementara inilah hak Allah Rabb penguasa alam semesta dan intisari dakwah para Rasul‘alaihimush shalatu was salam!
Allah Ta’ala berfirman:
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً لَّهُ الدِّينَ
“Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Ketahuilah, agama yang murni adalah milik Allah.” (QS. Az-Zumar: 2)
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَاْ أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah; Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku, semuanya untuk Allah Rabb sekalian alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dengan itulah aku diperintahkan. Dan aku adalah orang yang pertama-tama pasrah.” (QS. Al-An’aam (6) : 162-163).* (BERSAMBUNG)
Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah