MAKNA seseorang meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya bukanlah berarti ia tak memperhatikan hal-hal yang tak memiliki kaitan langsung dengan dirinya. Namun maknanya adalah agar dia tidak bersifat kekanak-kanakan serta tak melakukan banyak hal sia-sia.
Dengan kata lain, pekerjaan-pekerjaan yang sekiranya tidak berguna, karena mengandung kebatilan, hendaknya ditinggalkan. Karenanya jika ia melihat kemaslahatan umum atau seseorang membutuhkan nasihat atau pengarahan, hendaklah ia memberikan pengarahan dan nasihat itu. Atau seandainya ada sekelompok orang yang bersalah dalam pembicaraan, hendaklah ia meluruskan dan memberi nasihat, peringatan dan pengarahan.
Seyogyanya pula ia memerintahkan kepada kebajikan dan mengadakan perdamaian di antara pihak-pihak bersengketa. Hendaknya ia tidak menganggap hal itu tidak bermanfaat bagi dirinya. Namun itu sungguh bermanfaat baginya, karena jamaah islamiah itu seperti sebuah keluarga yang diikat oleh tali Islam yang kuat, mengumpulkan mereka kepada kalimah tauhid, dan menjadikan mereka umat yang saling terikat dan tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, “Dan tolong menolonglah kalian dalam kebajikan dan ketakwaan, dan janganlah kalian tolong menolong dalam dosa serta permusuhan.”
Sesungguhnya keterlibatan seorang Muslim dalam mewujudkan perdamaian serta memerintah kepada kebajikan dan hal-hal yang bermanfaat, bukanlah keterlibatan yang tidak bermanfaat. Namun itu suatu keikutsertaan yang bermanfaat. Allah menjelaskan,
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang-orang yang menyuruh (manusia) agar memberi sedekah, atau berbuat baik atau mengadakan perdamaian di antara manusia.” (al-Nisa’: 114).
Tentang sifat-sifat orang beriman yang beruntung adalah seperti Allah menjelaskan, “Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki pula kepada jalan yang terpuji.” (al-Haj: 24).
Tanda-tanda pribadi Muslim dan kuatnya iman kepada Allah serta hari akhir, seperti dijelaskan oleh Islam bahwa seseorang hendaklah mengatakan hal-hal yang baik saja. Jika tidak bisa, maka hendaknya diam.
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia mengatakan yang baik atau diam saja.”
Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa seorang lelaki berbicara dengan Nabi dengan ucapan yang banyak. Beliau pun bertanya, “Di samping lidahmu, berapa engkau punya pembatas?” Jawabnya, “Dua bibirku dan gigi-gigiku.” Kata beliau, “(Yang mesti engkau khawatirkan) adalah apa yang terungkap dari pembicaraanmu.”
Seorang lelaki bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang lebih menakutkan dari yang kutakuti?” Beliau menunjuk lidahnya, dan berkata, “Ini.” Lantas beliau kembali mengatakan,
“Sesungguhnya ada seseorang yang berkata dengan ucapan yang dia tidak mengetahui kejahatannya, maka disebabkan hal tersebut ia dilemparkan ke neraka (selama) tujuh puluh musim.”
Al-Qur’anul Karim telah melukiskan permisalan ucapan yang baik dan buruk dengan pelukisan yang indah, yaitu ketika Allah menyatakan, “Tidakkah engkau melihat bagaimana Allah mengetengahkan permisalan kalimat yang baik adalah seperti pohon yang baik, akarnya tetap teguh, sedangkan cabangnya (menjulang) ke langit, setiap musim mendatangkan buahnya atas izin Tuhannya. Dan Allah memberikan permisalan bagi manusia agar mereka selalu ingat. Dan permisalan ucapan yang buruk adalah seperti pohon yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap sedikit pun. Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang tetap dalam kehidupan dunia serta akhirat. Dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim. Dan Allah melakukan apa yang Dia kehendaki.” (Ibrahim: 24 – 27).
Demikianlah kita dapatkan kepribadian seorang Muslim; ia mempunyai ucapan konsisten, sebagaimana konsistensinya dalam beramal. Karena seorang Muslim itu bersikap dengan sungguh-sungguh, tidak mudah terbawa arus. Itulah tanda-tanda terjelas dan terpenting bagi seorang Muslim yang berkepribadian, sehingga mempunyai dampak baginya dalam mengarungi kehidupan dan berinteraksi dengan sesama manusia.*/Dr. Ahmad Umar Hasyim, dalam bukunya Menjadi Muslim Kaffah.