WAJAR bila seseorang yang hendak menikah, karena begitu bahagianya, membelikan sesuatu sebagai kenang-kenangan untuk calon isterinya. Demikian halnya Julaibib, sahabat Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam ini. Ia kebetulan lama melajang, berkat bantuan Rasulullah akan mempersunting seorang gadis cantik lagi terhormat.
Julaibib pergi ke pasar dengan harapan dapat membeli sekian barang yang dapat menyenangkan hati si calon istri. Tapi belum sampai membeli barang, genderang jihad telah ditabuh bertalu-talu. Segera Julaibib mengurungkan niatnya. Kini ia tidak membeli kenang-kenangan untuk calon istrinya, justru membeli tombak, panah, tameng, dan peralatan perang lainnya.
Seruan jihad fi sabilillah ternyata lebih punya daya panggil daripada menikah. Tombak, panah, dan tameng lebih berharga dari emas dan permata. Ia lebih mencintai Allah dari yang lainnya. Karenanya ia mau berkorban apa saja untuk-Nya.
Calon istri dicintainya, akan tetapi ia lebih mencintai Allah, Tuhannya. Ia tidak enggan untuk membelikan kenangan untuk calon istrinya. Tapi bila Allah juga meminta pengorbanannya, maka ia lebih mendahulukan-Nya.
“Ada pun orang-orang yang beriman amat sangat mencintainya kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)
Pembaca tentunya mengaku diri sebagai orang yang beriman. Sekarang ukur kecintaan Anda dengan standar sahabat Nabi ini. Cinta Allah kepada kita sudah dibuktikan-Nya dengan memberikan berbagai fasilitas hidup dan sarana lainnya. Kini Allah menuntut mana bukti kecintaanmu?
Suatu ketika kas Baitul Mal kosong, padahal peperangan harus diteruskan. Musuh sudah mengepung, lawan sudah di depan hidung. Menyerah berarti kalah, sementara melawan perlu dana banyak. Akhirnya Rasulullah mengumandangkan imbauan kepada kaum muslimin agar mau menyisihkan sebagian hartanya untuk jihad fi sabilillah.
Saat itu datanglah Abu Bakar dengan segala perlengkapan rumahnya. Abu Bakar yang sudah jatuh pailit, tentu saja tidak mampu membawa apa-apa kecuali barang-barang sisa pakai. Melihat Abu Bakar melakukan itu, Rasulullah mencegahnya, “Jangan kamu bawa semua, kamu tidak lagi punya apa-apa di rumah,“seru Rasulullah.
Tetapi apa jawaban Abu Bakar? “Allah dan Rasul-Nya lebih berharga dari seluruh isi jagad raya ini. Apakah tidak pantas bila sisa-sisa hartaku ini kupersembahkan untuk-Nya?”
Dulu ketika masih kaya, Abu Bakar, begitu melihat Bilal bin Rabah, saudara sesama muslimnya hendak dimerdekakan oleh tuannya yang jahat, dialah yang menebusnya. Kini setelah hartanya ludes untuk perjuangan, ia masih hendak berinfaq fi sabilillah.
“(yaitu) Orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik pada saat lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali-Imran: 134)
Di saat lapang, ketika jabatan masih dipegang, ia gunakan kekuasaannya untuk berbakti kepada Tuhan. Ia memanfaatkan jabatannya untuk memajukan Islam. Tak menunggu pensiun untuk berjuang. Mumpung ada kesempatan untuk berbuat ma’ruf, kapan lagi?
Ketika kekayaan masih di tangan, ia gunakan untuk membiayai proyek-proyek perjuangan. Tak segan ia keluarkan uangnya untuk membantu sesama muslim yang membutuhkan. Tak berat mengeluarkan hartanya untuk proyek-proyek kemanusiaan.
Ketika sudah pensiun, ia tetap berjuang. Tiada kata sisa, sebab ia tetap punya wibawa. Meskipun tak seperti saat menjabat, tapi itu cukup bekalnya. Ia telah memberikan yang terbaik saat pensiun.
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna) sebelum menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali-Imran: 92)
Karenanya disunnahkan bila menghadap kepada-Nya, pergi ke masjid guna melakukan ibadah shalat, hendaknya memakai pakaian yang baik, ditambah aroma wangi. Janganlah sebaliknya, bila pergi ke kantor selalu berpakaian rapi and style, tapi kalau shalat seenaknya saja. Sarungnya lusuh, bajunya kumal, ditambah kopiah yang sudah tak berbentuk.
Demikianlah halnya dalam bersedekah dan berinfak. Pilihlah yang terbaik untuk Allah. Jangan hanya uang recehan yang dimasukkan di dalam kotak amal. Sungguh ironis, bila ke rumah makan siap mengeluarkan lembaran puluhan ribuan, sementara bila ke rumah ibadah hanya mengeluarkan ribuan.
Lihatlah ketika shalat Jumat para jamaah kebanyakan hanya mengeluarkan uang recehan. Belum tentu amalannya diterima, tapi suara recehannya sudah mengganggu konsentrasi dan kekhusyuan yang mendengarkan khotbah.*/Sudirman STAIL (dari buku Cara Baru Memandang Dunia, penulis Hamim Thohari)