BERUNTUNGLAH orang yang menjumpai catatan amalannya istighfar (memohon ampun) yang banyak kepada Allah.
Kabar gembira sekaligus perintah ini disampaikan oleh Baginda Nabi Muhammad (semoga shalawat dan salam terindah tak putus mengalir untuknya) seperti diriwayatkan oleh Ibnu Majah.
Menggembirakan, karena cukup memperbanyak satu amalan saja sudah jadi jaminan kesuksesan. Sederhana. Tapi tak mudah dikerjakan. Itu sebabnya manusia mesti diperintah. Realitasnya, diperintah saja masih ada sebagian manusia yang lalai dari kewajiban tersebut.
Mengapa istighfar? Istighfar adalah kebutuhan pokok bagi manusia. Istighfar sama bahkan melebihi dari kebutuhan primer berupa makanan atau lainnya. Istighfar adalah terapi manjur bagi pribadi jujur. Cocok bagi pegiat ketaatan dan kebaikan. Apalagi mereka yang masih berkubang dengan dosa dan kemaksiatan. Disengaja atau tidak. Disadari atau bukan. Dikatakan jujur. Karena istighfar adalah pengakuan atas kesalahan yang dikerjakan dan ketulusan memohon syafaat atau ampunan Allah.
Istighfar juga obat untuk segala persoalan hidup yang mendera manusia. Ia bisa dibaca untuk mengundang hujan dari langit, menghentikan kemarau dan paceklik yang tak berkesudahan.
Istighfar bisa dipakai untuk mereka yang rindu dibuahi keturunan yang shaleh dan shalehah. Istighfar sangat cocok bagi mereka yang ingin diperbanyak harta dan kebun-kebun yang lebat. Kalimat ajaib ini juga sangat pas pula untuk menenangkan hati seseorang yang sedang gundah.
Cukup? Oh, belum wahai sahabatku. Masih ada selaksa lebih faidah dari permohonan ampun kepada Allah tersebut. Ibnu Taimiyah berkata dalam kumpulan fatwanya, seorang hamba butuh kepada istighfar siang dan malam. Bahkan sangat mendesak untuk senantiasa membasahi lidahnya dengan bacaan istighfar pada setiap ucapan dan keadaan. Dalam keadaan sendiri atau di hadapan banyak orang.
Baca: Nasihat Ilmu
Mengapa demikian? Menurut Syeikh al-Islam, istighfar mengandung maslahat yang sangat banyak, menghadirkan kebaikan dan mencegah keburukan. Seorang hamba melalui istighfar, bisa meminta tambahan kekuatan dalam amalan hati, fisik, keyakinan, dan keimanan. Hebatnya lagi, istighfar bukan melulu bicara keburukan atau dosa. Kebaikan pun butuh istighfar. Usai wudhu dan setelah shalat, orang itu masih diminta untuk beristighfar.
Di sini, tampak hubungan kuat antara ilmu dan istighfar. Bahwa meski berilmu tinggi, manusia tetap tak pernah sempurna. Semakin luas bacaan dan semakin dalam penghayatan, orang itu justru kian mendapati dirinya berliput kekurangan dan kecerobohan.
Istighfar adalah rambu yang menahan manusia dari sikap sombong dan bangga terhadap diri sendiri. Menyadarkan akan hakikat dirinya selaku hamba di hadapan Tuhannya. Sedang Tuhannya adalah Rabbul Alamin (Pencipta dan Pengatur alam semesta).
Diceritakan Abu Barzah al-Aslami, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam berkata di akhir majelis jika dirinya hendak berdiri meninggalkan majelis:
“Subhanakallahumma wa bihamdika asyhadu alla ilaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik (artinya: Maha Suci Engkau Ya Allah, segala pujian untuk-Mu, aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau dan aku meminta ampunan dan bertaubat pada-Mu).
Lalu ada seseorang yang berkata: Wahai Rasulullah, engkau mengucapkan satu perkataan yang tidak engkau ucapkan sebelumnya? Beliau menjawab, “Sebagai kafarah (penghapus) terhadap apa yang terjadi di majelis”.” (HR. Abu Dawud, Al-Tirmidzi, dan Ahmad).
Inilah hikmah mengapa manusia butuh memohon ampunan selalu. Sebab dalam urusan majelis ilmu pun ia tetap berhajat untuk istighfar. Kalau-kalau ada kekhilafan yang terlewatkan. Ibarat pelita, istighfar menjadi penerang hati dalam menerima ilmu. sebagaimana dengan istighfar pula, amal seseorang bisa lurus sesuai dengan cita-cita ilmu sebelumnya.
Sebagai teladan, mari merenungi kisah Nabi Ibrahim dan putranya Ismail yang masih saja tertunduk dalam munajatnya kepada Allah. Padahal mereka adalah manusia pilihan Allah dan sedang mengerjakan amalan terbesar dalam sejarah kehidupan.
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,” (Al-Baqarah [2]: 127).* Masykur