Oleh: Musthafa Luthfi
PADA 11 Februari 2014 lalu, rakyat Republik Yaman memperingati HUT ketiga revolusi damai menuntut perubahan dari pemerintahan rezim lama yang dinilai otoriter yang merupakan bagian dari Arab Spring (Musim Semi Arab) yang melanda sejumlah negara kawasan yang hingga saat ini masih belum tuntas. HUT kali ini patut disambut lebih gembira setelah keberhasilan Konferensi Dialog Nasional (KDN) mengeluarkan serangkaian keputusan penting diantaranya adalah bentuk negara.
Pada peringatan HUT ketiga tersebut telah dilangsungkan serangkaian aktivitas berskala nasional diantaranya festival orasi dan unjuk rasa damai yang memenuhi jalan-jalan utama di berbagai kota besar negeri itu sebagai bentuk kegembiraan atas keberhasilan tercapainya perubahan yang dimotori kaula muda. Presiden Abdo Rabbu Mansour Hadi dalam artikelnya di harian resmi Al-Thawra antara lain memuji pengorbanan para pemuda dalam revolusi Februari dan menilainya sebagai jalan menuju kebangkitan Yaman.
Sehari sebelum HUT tersebut, tepatnya pada 10 Februari, Pimpinan KDN yang diketuai oleh Presiden Hadi mengumumkan salah satu keputusan penting KDN tentang bentuk negara yang telah disepakati oleh para peserta KDN yakni bentuk negara Federasi yang terdiri dari enam wilayah (negara bagian). Enam negara bagian itu terdiri dari empat negara bagian di bagian utara Yaman dan dua lainnya berada di bagian selatan negeri itu.
Empat negara bagian dari wilayah utara terdiri dari negara bagian Azal, yakni gabungan dari empat provinsi di utara (Amran, Dzamar, Sa`dah dan Sana`a) dengan ibu kota Sana`a, kemudian Janad gabungan dari dua propinsi (Ibb dan Taiz) dengan ibu kota Taiz. Sementara Saba adalah gabungan tiga daerah (Beidha, Jouf dan Ma`reb) kemudian Tehamah yaitu gabungan dari empat provinsi (Hajja, Hudaeda, Mahweit dan Reimah) dengan ibu kota Hudaeda yang berada di pinggir laut merah.
Sedangkan bagian selatan Yaman yang dikenal sebagai daerah penghasil migas hanya terdiri dua negara bagian yakni Hadramaut meliputi empat daerah (Hadramaut, Mahrah, Shabwa dan pulau Suqatra dengan ibu kota Mukalla, kemudian negara bagian Aden meliputi empat provinsi (Abyan, Aden, Dhale, Lahej) dengan ibu kota Aden. Meskipun wilayah bagian selatan Yaman yang sebelum bersatu bernama Yaman Selatan, lebih luas namun karena penduduknya sedikit (sekitar 25 % dari total penduduk Yaman) nampaknya sebagai pertimbangan untuk dibagi hanya menjadi dua negara bagian.
Dalam waktu dekat komisi khusus pembagian negara bagian dari KDN akan segera menyampaikan laporan final kepada komisi formasi UUD baru Yaman agar pembagian negara bagian tersebut dapat dimasukkan dalam UUD baru. Dilihat dari umur kehidupan politik peralihan dari status quo ke era perubahan, maka sekitar 10 bulan dari serangkain pertemuan dan dialog tokoh-tokoh politik, pakar, tokoh pemuda, pemimpin suku dan ulama Yaman maka masa dialog itu tergolong waktu yang relatif cepat bagi tercapainya keputusan penting tersebut.
Dengan dukungan kuat negara besar dan negara-negara tetangga sebagai bagian dari pelaksanaan Inisiatif Teluk yang diprakarsai oleh enam negara Teluk kaya minyak itu, diharapkan pelaksanaan keputusan ini yang tertuang dalam “peta jalan” akan segera dapat dilihat proses pelaksanaannya dalam waktu dekat. Negara federasi ini juga diharapkan sebagai cara yang paling tepat untuk mempertahankan keutuhan unifikasi Yaman yang sempat terancam disintegrasi pada perang saudara 1994 dan tuntutan pemisahan kembali marak pada 2007.
Memang terlalu dini untuk menilai bahwa pelaksanaan salah satu keputusan penting KDN tersebut akan mengakhiri konflik antara suku dan aliran di negeri yang dikenal sejak zaman Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam itu sebagai negeri hikmah, apalagi upaya untuk memformat kembali bentuk negara bukanlah kali pertama. Namun setidaknya para pemimpin dan tokoh Yaman dari segala lapisan telah membuktikan lewat KDN tersebut mampu berdialog untuk menyelesaikan sendiri berbagai persoalan bangsa.
Paling tidak negeri hikmah tersebut telah memberikan contoh kepada negara-negara Arab lainnya tentang pentingnya mengedepankan solusi internal daripada solusi luar yang mengedepankan kepentingan masing-masing. Libanon misalnya, salah satu negeri Arab di kawasan Laut Tengah itu sudah tiga dekade lebih berusaha untuk memformat ulang bentuk negara menjadi negara federasi, namun selalu gagal untuk sekedar mempertemukan para pemimpin dan tokoh negeri itu di meja perundingan.
Dengan keberhasilan negeri Saba atau Sheba itu mengatasi secara damai salah satu masalah utama yang sempat mengancam keutuhan unifikasi lewat, dialog marathon yang tak kenal lelah, sedikitnya Yaman dapat dicatat sebagai salah satu negara Arab yang realtif sukses melewati “badai” Arab Spring. Negeri ini, juga dapat memperlihatkan pembuktian terbalik atas kekhawatiran banyak pihak selama ini tentang kemungkinan perang saudara berdarah-darah didasari kenyataan bahwa seluruh warga Yaman memiliki senjata api.
Kepemilikan senjata api yang dilegalkan negara membuat penduduk negeri ini dikenal sebagai pemilik senjata api terbesar di dunia termasuk laras panjang yakni sekitar tiga kali lipat jumlah penduduknya yang berjumlah sekitar 23 juta jiwa sehingga jumlah senjata api melebihi 60 juta pucuk. Bahkan sejumlah pemimpin suku terkemuka memiliki senjata berat dan milisi yang membuat pemerintah pusat tidak mudah untuk melakukan kontrol secara menyeluruh di wilayah-wilayah yang dikuasai para pemimpin suku.
Dengan jumlah senjata api berbagai jenis yang tiga lipat lebih banyak dari jumlah penduduk itu, masyarakat dunia pantas khawatir bila Yaman akan menjadi salah satu negeri Arab yang sedang bergelut menyukseskan era perubahan, akan mengalami perang saudara berlarut-larut. Namun para pemimpin negeri hikmah itu, setidaknya berhasil menunjukkan pembuktian terbalik dan mampu mengatasi berbagai persoalanan pelik bangsa dengan hikmah (bijaksana) lewat jalan dialog.
Perlu dukungan
Keputusan penting KDN tersebut sekaligus membukukan Yaman sebagai negara Arab Spring yang relatif sukses melampui masa-masa sulit tanpa pertumpahan darah berkelanjutan antara faksi-faksi politik yang bertikai. Dengan demikian, tercatat Yaman dan Tunisia yang telah menunjukkan isyarat-isyarat positif menuju perubahan yang sesuai dengan tuntutan revolusi meskipun prestasi tersebut masih belum maksimal.
“Isyarat-isyarat positif revolusi, baru terlihat di Tunisia kemudian menyusul Yaman yang sedikitnya telah berhasil mengatasi salah satu persoalan rumit yang tidak pernah terbayangkan akan dapat diatasi dengan dialog. Tentunya prestasi ini tidak akan pernah tercapai tanpa melalui revolusi, sehingga dapat dikatakan apabila Yaman bisa maka negara-negara kawasan pun bisa,” papar Hazim Shagia, salah satu analis Arab, Sabtu (15/2/2014).
Bila dilihat dari umur persatuan dalam sejarah modern negeri di ujung tenggara Jazirah Arabia yang mendeklarsikan unifikasinya pada 22 Mei 1990 itu, keputusan bersejarah KDN ini merupakan buah dari upaya cukup panjang yang telah memakan ribuan korban terutama saat terjadi perang saudara (utara melawan selatan) selama tiga bulan pada 1994. Karenanya, tidak berlebihan bila para pemimpin dan rakyat negeri ini menyambut hangat keputusan bersejarah tersebut.
Dengan semboyan KDN “la ghaaliba wa la maghluuba (tidak ada yang dimenangkan dan tidak ada yang dikalahkan)” para pemimpin negeri hikmah itu nampaknya telah bertekad untuk tidak terjerumus kembali dalam perangkap perang saudara yang sempat meluluhlantahkan negeri itu pada 1994. Semboyan tersebut cukup mujarab menyukseskan pelaksanaan KDN meskipun berjalan alot ditengah suara-suara pesimis banyak pihak.
Tekad bersama mulai dari warga biasa hingga para tokoh parpol dan pemimpin Yaman didukung oleh negara-negara tetangga terdekat, negeri ini setahap demi setahap sedang berupaya mengatasi berbagai kendala pasca revolusi Arab Spring menuju pemulihan stabilitas keamanan. Hampir semua elemen bangsa melalui KDN itu mengingatkan bahwa loyalitas kepada bangsa dan negara diatas loyalitas sempit golongan dan partai.*/baca sambungannya