Website Eramuslim.com, 27 April 2004, menurunkan wawancara dengan Pendeta Abraham Alex Tanusaputra dengan Warta Plus Bethany. Isinya tentang rencana pembangunan Menara Doa Jakarta (MDJ) yang menelan biaya sekitar Rp 2,5 trilyun. Pendeta Abraham Alex Tanusaputra – yang biasa dipanggil Alex – menyatakan, bahwa Menara itu memang seperti sebuah proyek mimpi.
Tetapi, katanya, “ Karena Tuhan yang menyuruh, ya saya harus melangkah. Meski banyak anak-anak rohani yang meninggalkan saya.”
Dengan biaya yang begitu fantastis, MDJ tentulah sebuah proyek raksasa kelompok Kristen Bethany ini. Tahun 2000 lalu, Bethany baru saja menyelesaikan proyek raksasa di Surabaya – Graha Bethany – yang mampu menampung sekitar 20.000 jemaat. MDJ diperkirakan memapu menampung 200.000 jemaat, atau dua kali lipat kapasitas tempat duduk lapangan sepak bola Senayan.
Menurut Pendeta Alex, pembangunan MDJ merupakan perintah Tuhan – tanpa menjelaskan, bagaimana Alex menerima perintah Tuhan itu. “Sebenarnya berulang kali saya mencoba untuk menghindar dan melupakannya. Tetapi setiap kali saya coba melupakan, timbul banyak persoalan dalam kehidupan saya. Sampai suatu ketika Tuhan menegor saya: “Kalau kamu tidak menurut, okey kamu akan mengalami hal yang sama seperti yang dialami oleh Yunus. Kalau menurut perintah, kamu akan dikeluarkan dari mulut ikan, tapi jika tidak, akan keluar dari belakang (maaf anus ikan -red Warta Plus Bethany Nginden). Saya bertobat dan mulai melangkah lagi dalam proyek Menara Jakarta,” kata Pendeta Alex.
Mengapa proyek ini dinamakan Menara Doa Jakarta? Kata Pdt. Alex: “Karena itu visi yang Tuhan Yesus berikan untuk proyek ini. Dulu Namanya Menara Jakarta. Sekarang tinggal ditambah Doa, sebab memang visinya Doa bagi bangsa, Doa untuk menyongsong Indonesia Baru.” Soal dana, Alex menambahkan: “Yang back up adalah Tuhan Yesus, sebab ini proyeknya Tuhan Yesus…Saya sadar, Tuhan Yesus punya cara sendiri, ada 1001 jalan yang Dia Bisa buat untuk back up pendanaan proyek ini.”
Alex mengaku mengenal suara Tuhan. Maka, ia mengaku berjalan terus dengan rencananya, meskipun banyak yang menentangnya. Ia menyatakan, lebih mendengar suara Tuhan lebih dari suara penentang-penentangnya. “Saya mengenal suara Tuhan, suara Tuhan yang berbicara kepada saya untuk membangun gereja Mojokerto, Manyar, Nginden adalah suara yang juga berbicara kepada saya untuk Menara Doa Jakarta,” begitu kata dia. Dan konon, menurut pengakuannya, pemerintah telah memberikan respon positif. Sejak awal Pemerintah DKI Jakarta, lewat Gubernur Dan Pemerintah Pusat melalui Setneg, sangat mendukung realisasi proyek yang ditujukan untuk kebesaran Tuhan, bangsa dan negara tercinta Indonesia.
Jika proyek MDJ ini lancar, maka 8,5 tahun kemudian, Indonesia akan menyaksikan sebuah Menara Doa kaum Kristen yang kabarnya memiliki ketinggian sekitar 500 meter. Untuk pa menara itu dibangun? Kata Alex: “Nama Tuhan ditinggikan, menarik banyak orang datang dan Percaya kepadaNya. Nama Tuhan dimuliakan. Kepercayaan dunia international ke Indonesia dipulihkan dan segera terwujud Indonesia Baru.”
Itulah semangat yang luar biasa dari seorang pendeta bernama Kristen untuk menjalankan misinya di Indonesia. Untuk mengenal perkembangan kelompok ini, bisa dilihat di website mereka, www.kasih.org. Tahun 1993, mereka memulai kebaktian di daerah Cinere, dengan anggota kelompok sekitar 70 orang. Pendeta Alex merintis persekutuan doa sejak 1977 di Surabaya, dengan peserta 7-10 orang. Tahun 1978, berdiri Gereja Bethany di Jalan Manyar Rejo I/29. Tahun 1989, mereka mulai membangun Graha Bethany, dan selesai tahun 2000.
Disamping terus membangun Gereja, kelompok ini juga aktif mengembangkan jaringan ke berbagai penjuru Indonesia. Tahun 1996, jumlah cabang-cabang yang ada di Indonesia dan luar negeri sekitar 100 cabang. Tahun 1977, cabang-cabang yang ada terus berkembang menjadi 254 buah. 1999, GBI Jemaat Bethany berkembang menjadi hampir 1000 cabang yang tersebar didalam dan luar negeri.
Jika kita membaca website kelompok Kristen Bethany ini, akan kita dapati sejumlah website misionaris Kristen di berbagai belahan dunia. Salah satunya, website Billy Graham, tokoh terkemuka Kristen fundamentalis AS (www.billygraham.org). Dalam website ini kita temukan banyaknya digunakan istilah “Crusade” untuk menggambarkan bahwa aktivitas misionaris Kristen di AS dan dunia lainnya merupakan satu bentuk Crusade (Perang Salib). Di dalam website itu, ditulis ungkapan sebagai berikut: “Evangelist Billy Graham has preached the Gospel to more people in live audiences than anyone else in history — over 210 million people in more than 185 countries and territories — through various meetings. Every evangelistic crusade conducted by Mr. Graham is the result of a cooperative effort involving the evangelist, his team, and many local Christians and churches.”
Jadi, Evangelis atau Misionaris Billy Graham disebutkan telah mempropagandakan Injil kepada lebih dari 210 juta orang, lebih banyak dari penginjil mana pun dalam sejarah. Setiap upaya ‘Perang Salib’ yang dilakukan Billy Graham merupakan hasil kerja sama para misionaris, tim Billy Graham, dan sejumlah orang dan Gereja Kristen lokal. Kelompok Billy Graham melakukan Perang Salib adalah untuk menyeru manusia untuk melakukan penebusan dosa dan mempercayai Tuhan Jesus Kristus. (The Billy Graham Evangelistic Association continues to work diligently in calling men and women to repent of their sins and receive the Lord Jesus Christ into their hearts by faith).
Dalam tradisi Kristen dan hingga sekarang, istilah ‘Crusade’ merujuk pada peristiwa Penyerbuan Besar-besaran kaum Kristen untuk merebut Jerusalem dari tangan kaum Muslim. Dalam buku Concise Dictionary of the Christian Church, (Oxford University Press, 1996) disebutkan, bahwa istilah ‘Crusade’ terutama digunakan untuk menggambarkan serangkaian expedisi dari Barat ke Timur, dimulai tahun 1095, yang bertujuan untuk membebaskan Tanah Suci (Holy Land)dari tangan Muslim dan untuk mempertahankannya di tangan Kristen. Belakangan, istilah ‘Crusade’ juga digunakan untuk menghadapi kekuatan Ottoman (Turki Utsmani). Jadi, istilah ‘Crusade’ memang membawa kenangan khusus bagi kaum Kristen untuk melawan dan menaklukkan Islam. Istilah itulah yang digunakan oleh tokoh Misionaris terkemuka AS dan dipopulerkan diantaranya oleh kelompok Bethany yang sedang berjuang keras membangun sebuah Menara Kristen di Jakarta.
Pengaruh besar ‘Crusade’ terhadap kaum Kristen di Barat dapat dibaca pada buku Karen Armstrong, berjudul Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World (1991). Perang itu dimulai pada 25 November 1095, saat Paus Urbanus II, menyerukan Perang Salib. Paus mengimbau, agar para ksatria Kristen menghentikan konflik antar mereka, dan bersatu padu menghadapi musuh Tuhan, yang mereka sebut “Turks”. “The Turks”, kata Paus, “Adalah bangsa terkutuk, dan membunuh monster seperti mereka itu adalah tindakan suci. Maka, wajib bagi kaum Kristen memusnahkan mereka dari tanah kita.” (Killing these godless monsters was a holy act: it was a Christian duty to exterminate this vile race from our lands).
Seruan Paus Urbanus mendapat sambutan luar biasa. Ratusan ribu pasukan Kristen bergabung, dengan semangat tinggi merebut Jerusalem. Dalam buku klasiknya, Islam and the West (terbit pertama tahun 1960), Norman Daniel menyebut ‘semangat Crusade adalah melakukan pembantaian demi Kasih Tuhan’. (The essence of crusading was to slay for God’s love). Maka, tidak heran, jika tentara Salib kemudian melakukan pembantaian yang luar biasa sadisnya terhadap Muslim, Yahudi, dan berbagai kelompok masyarakat lain.
Tahun 1099, saat menaklukkan Jerusalem, mereka membantai sekitar 30.000 warganya. Puluhan ribu kaum Muslim yang menngungsi di atap al-Aqsha dibantai dengan sadis, tanpa pandang bulu, wanita, anak-anak, atau orang tua. Setahun sebelumnya, 1098, pasukan Salib (dikenal dengan istilah Franks/Crusaders) membantai ratusan ribu kaum Muslim di Marra’t un-Noman, Syria. Paus menjanjikan pengampunan dosa bagi siapa pun yang bergabung dalam pasukan Salib dan jaminan sorga bagi yang mati dalam perang suci itu.
Karena itu, menurut Armstrong, Crusade adalah proyek kerjasama besar-besaran Eropa di masa kegelapan mereka. Mereka dicengkeram dengan semangat Kristen yang tinggi. Jelas, Crusade merupakan jawaban terhadap kebutuhan Kristen Eropa ketika itu. (Clearly, crusading answered a deep need in the Christian of Europe).
Jadi, tidaklah mengherankan, jika Presiden George W. Bush menggunakan istilah ‘Crusade’ ketika mengobarkan perang melawan teroris, sebab sasaran mereka yang utama adalah kaum Muslim yang mereka cap sebagai teroris dan mengganggu kepentingan AS, dan bukan kelompok-kelompok teroris non-Muslim, seperti kelompok Kach (Yahudi), IRA (Kristen), Aungshirinkyo (Jepang), Tamil Elan (Hindu), dan sebagainya. Karena itu, kita mesti memahami, mengapa Billy Graham dan berbagai kelompok misionaris dan fundamentalis Kristen lainnya, sangat gemar menggunakan istilah ‘Crusade’ ketika mereka bermaksud menaklukkan kaum Muslim atau satu negeri Islam. Merasa mengemban misi untuk meng-Kristenkan seluruh umat manusia, kaum misionaris Kristen memang akan terus melakukan gerakannya. Mereka paham, bahwa Indonesia adalah mangsa yang empuk, dengan sekitar 170 juta Muslim, yang dikatakan Berkhof: “Indonesia adalah suatu daerah Pekabaran Injil yang diberkati Tuhan dengan hasil yang indah dan besar atas penaburan bibit Firman Tuhan.
Setelah gagalnya Musyawarah Antar Agama pada 30 November 1967, Prof. Dr. Hamka menulis sebuah kolom berjudul “Musyawarah Antar-Agama Tigak Gagal!”. Ketika itu pihak Kristen menolak usulan rumusan, agar pemeluk satu agama tidak dijadikan sasaran propaganda oleh agama lain. Tokoh Kristen, Tambunan SH, menyatakan, bahwa bagi orang Kristen menyebarkan Perkabaran Injil kepada orang yang belum Kristen adalah ‘Titah Ilahi’ yang wajib dijunjung tinggi. Jika tidak melakukan gerakan misi Kristen, maka mereka akan dimurkai Tuhan Yesus. Bahkan, mereka mengancam, kalau gerak-gerik mereka dibatasi, bukan saja akan menjadi masalah nasional, malah akan menjadi masalah internasional. Hamka menulis: “Kalau bangsa penjajah dahulu telah menyatakan berulang-ulang bahwa kedatangan mereka kemari adalah membawa mission sacre, sekarang setelah penjajah tak ada lagi, kewajiban itu dilanjutkan oleh Kristen bangsa kita sendiri, dengan diberi bantuan tenaga misi dan zending dari negeri-negeri Barat itu; diberi uang dan orang.”
Kepada kaum Muslim, Hamka mengingatkan: “… dengan sikap Kristen yang demikian, mereka pun tidak boleh lagi berlalai-lalai, melainkan wajiblah mereka menghidupkan semangat jihad dalam artinya yang luas, yaitu bekerja keras, membanting tulang, dan bersedia memberikan seluruh pengorbanan dalam mempertahankan agama. Mereka tidak lagi akan bersikap masa bodoh seperti selama ini, karena merasa bilangan mereka lebih banyak. Sebab yang mereka hadapi bukanlah golongan minoritas dalam negeri sendiri, tetapi kekuatan Kristen Politik Internasional, Perang Salib Gaya Baru, yang diinstruksikan kepada teman sebangsa kita sendiri.”
Mantan Perdana Manteri RI, Dr. Mohammad Natsir pernah memberikan pringatan keras kepada kaum Nasrani yang terus berusaha meng-Kristenkan kaum Muslim Indonesia:
“Hanya satu saja permintaan kami: Isyhaduu bi anna muslimuun. Saksikanlah dan akuilah bahwa kami ini adalah Muslimin. Yakni orang-orang yang sudah memeluk agama Islam. Orang-orang yang sudah mempunyai identitas-identitas Islam. Jangan identitas kami saudara-saudara ganggu, jangan kita ganggu-mengganggu dalam soal agama ini. Agar agama-agama jangan jadi pokok sengketa yang sesungguhnya tidak semestinya begitu. Marilah saling hormat menghormati identitas kita masing-masing, agar kita tetap bertempat dan bersahabat baik dalam lingkungan “Iyalullah” keluarga Tuhan yang satu itu.
Kami ummat Islam tidak apriori menganggap musuh terhadap orang-orang yang bukan Islam. Tetapi tegas pula Allah SWT melarang kami bersahabat dengan orang-orang yang menganggu agama kami, agama Islam. Malah kami akan dianggap zalim bila berbuat demikian (almumtahinah). Dengan sepenuh hati kami harapkan supaya saudara-saudara tidaklah hendaknya mempunyai hasrat sebagaimana idam-idaman sementara golongan orang-orang Nashara yang disinyalir dalam Al Quran yang tidak senang sudah, bila belum dapat mengkristenkan orang-orang yang sedang beragama Islam. Mudah-mudahan jangan demikian, sebab kalau demikian maka akan putuslah tali persahabatan, akan putus pula tali suka dan duka yang sudah terjalin antara kita semua.
Jangan-jangan nanti jalan kita akan bersimpang dua dengan segala akibat yang menyedihkan. Baiklah kita berpahit-pahit, kadang-kadang antara saudara dengan saudara ada baiknya kita berbicara dengan berpahit-pahit, yakni yang demikian tidaklah dapat kami lihatkan saja sambil berpangku tangan.
Sebab, kalaulah ada sesuatu harta yang kami cintai dari segala-galanya itu ialah agama dan keimanan kami. Itulah yang hendak kami wariskan kepada anak cucu dan keturunan kami. Jangan tuan-tuan coba pula memotong tali warisan ini.” (Seperti dikutip oleh Prof. Umar Hubeis dalam mukaddimah buku Dialog Islam dan Kristen, karya Bey Arifin).
Lembaga-lembaga Kristen/Katolik, seperti Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) atau Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), seyogyanya segera mengambil tindakan terhadap manuver-manuver berlebihan kalangan Kristen yang sangat tidak kondusif untuk membangun kerukunan umat beragama di Indonesia. Wallau a’lam. (KL, 6 Mei 2004).