Sambungan artikel PERTAMA
Begitu jelasnya bunyi sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab! Konsep adil dan adab itu juga sejalan dengan pasal 31 ayat 3 UUD 1945: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
Berikutnya, UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pun menegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Jadi, ada keterpaduan konsep tentang manusia Indonesia ideal – yang menjadi tujuan pendidikan — antara Pancasila, UUD 1945, UU Pendidikan Nasional, dan UU Pendidikan yang tinggi.
Untuk membentuk ”insan mulia” — manusia adil dan beradab, atau manusia bertaqwa – itulah tugas dunia pendidikan di Indonesia. Tujuan itu tidak mungkin diraih tanpa bimbingan wahyu Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT). Maka, logisnya, konsep pendidikan dan keilmuan yang dikembangkan dan diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, sepatutnya tidak bertentangan dengan konsep pendidikan Nabi Muhammad Shalallahu ’alaihi Wassallam– khususnya bagi orang Indonesia yang muslim.
Maka, sesuai dengan istilah penting dalam Pancasila, UUD 1945, dan UU Pendidikan Nasional, seharusnya yang dikembangkan dan diaplikasikan adalah konsep pendidikan adab dan akhlak; bukan konsep pendidikan karakter. Pendidikan adab dan akhlak mengacu kepada al-Quran, Sunnah, dan tradisi pendidikan para ulama Islam, tanpa mengabaikan nilai-nilai positif pada budaya lokal.
Pendidikan adab dan akhlak juga punya suri tauladan (uswah hasanah) yang jelas, yaitu Nabi Muhammad Shalallahu ’Alaihi Wassallam. Tentu bukan tanpa maksud, jika sejak era Bung Karno, dilanjutkan oleh Pak Harto dan seterusnya, perayaan Maulid Nabi Muhammad dilaksanakan di Istana Negara.
Dalam biografinya, Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran, (Jakarta: Kompas, 2006), saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef mengaku pernah mengusulkan kepada Presiden Soeharto agar di Istana Negara juga diadakan Perayaan Natal, bukan hanya Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. Karena usulnya tidak dikabulkan Pak Harto, maka ia mengadakan Perayaan Natal Bersama di Departemen P&K yang dipimpinnya.
Apakah adil dan beradab, jika Nabi Muhammad Shalalallahu ’Alaihi Wassallam diperingati hari lahirnya, tetapi tidak dijadikan sebagai suri tauladan dalam pendidikan dan kehidupan? Padahal, beliau diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. (QS 21:107). Beliau adalah manusia dengan akhlak paling mulia dan sempurna. (QS 68:4).
Jadi, sangatlah adil dan beradab, jika kepada anak-anak muslim diajarkan konsep pendidikan akhlak, dengan Nabi Muhammad saw sebagai contoh utamanya. Siapa manusia yang bisa dijadikan suri tauladan dalam pendidikan karakter? Adakah manusia Indonesia yang berani mengaku ia lebih hebat akhlaknya daripada Nabi Muhammad Shalalallahu ’Alaihi Wassallam?
Epistemologi beradab
Merujuk kepada Pancasila dan UUD 1945, sepatutnya, Filsafat ilmu yang dijadikan sebagai pijakan konsep pendidikan nasional Indonesia harusnya bukan Filsafat Ilmu sekuler, yang mengabaikan atau mengecilkan konsep keilmuan berbasis wahyu (revealed knowledge). Dalam Aqaid Nasafiah dikatakan bahwa sebab manusia meraih ilmu ada tiga: dengan panca indera, khabar shadiq (termasuk wahyu), dan akal sehat.
Adab dalam keilmuan mengharuskan bahwa ilmu wahyu yang bersifat pasti (’ilm), tidak bisa digusur oleh ilmu inderawi (empiris) yang bersifat dugaan dan spekulatif. Misal, teori bahwa manusia Indonesia adalah keturunan Nabi Adam a.s., tidak bisa dikalahkan oleh ”teori” bahwa manusia Indonesia berasal dari ’hominid’ (sebangsa kera).
Sebab, hingga kini, tidak ada seorang manusia pun bisa membuktikan, bahwa kera bisa menjadi manusia. Atau, tidak ada manusia yang bisa membuktikan bahwa dirinya pernah menjadi kera. Pun, hingga kini, belum ada profesor yang kawin dengan kera dan kemudian memiliki anak, 75% kera dan 25% manusia. Silakan buktikan!
Contoh lain adalah pelajaran tentang teori ”kebutuhan manusia”. Hingga kini, masih juga diajarkan, bahwa kebutuhan primer manusia adalah makan, minum, sandang, dan papan. Belum diajarkan di sekolah-sekolah bahwa yang juga termasuk dalam kebutuhan primer manusia adalah berzikir kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Padahal, ayat al-Quran begitu jelas pesannya: ”Ingatlah, dengan berzikir kepada Allah, hati akan menjadi tenang!” (QS 13:28). Jadi, berzikir itu merupakan kebutuhan primer manusia, karena kebutuhan manusia bukan hanya aspek fisik!
Lagu Indonesia Raya mengamanahkan: ”Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!” Logisnya, pemerintah kemudian mengembangkan konsep pembangunan jiwa bangsa, agar bangsa ini sehat jiwa dan raganya; agar jiwanya jauh dari ciri utama manusia Indonesia – yakni MUNAFIK – sebagaimana dipidatokan oleh budayawan Mochtar Lubis, di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977. Kata Mochtar Lubis: “Salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah HIPOKRITIS alias MUNAFIK. Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama…”
Al-Quran menyebut, bahwa ”pembangunan jiwa insan” itu adalah ”tazkiyatun nafs”. Manusia yang beruntung adalah yang membersihkan jiwanya, dan manusia yang celaka adalah yang mengotori jiwanya. (QS 91:9-10). Maka, sungguh tidak adil dan beradab, jika konsep pembangunan jiwa al-Quran tidak diajarkan di sekolah-sekolah dan di perguruan tinggi.
Meskipun bukan secara tegas ditegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Islam, tetapi para perumus Pembukaan UUD 1945, seperti Bung Karno, Bung Hatta, KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, dan sebagainya, telah berjuang agar negara ini berdasar kepada Ketuhanan Yang maha Esa. Apalagi, Pak Jokowi, Pak Muhajir, Pak Nasir, Pak Yudi Latif, dan para pimpinan negeri ini adalah muslim. Semua mereka, dan kita semua, kelak akan berdiri di depan Satu-Satunya Hakim yang Maha adil, yaitu Allah Subhanahu Wata’ala; mempertanggung jawabkan kebijakan dan amal kita.
Indah sekali pesan pujangga besar, Raja Ali Haji dalam Gurindam 12: ”Barangsiapa tiada memegang agama, maka sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama!” Wallahu a’lam bish shawab.*
Penulis guru Pesantren at-Taqwa Depok-Jawa Barat. Kolom CAP adalah kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com