Ustadz terhormat. Saya seorang isteri yang bekerja di perusahaan swasta. Hasilnya saya tabung. Bagaimana caranya menzakati tabungan seorang isteri? Apakah dipisah dengan harta suami. Apakah setiap tahun harus dikeluarkan? Dan ketika kita bersedekah atau zakat, apakah harus izin suami?
Anda patut bersyukur diberi anugerah Allah kelapangan rezeki dan hidayah untuk menunaikan hak Allah pada rezeki tersebut. Namun memang wajar menjadi pertanyaan, apakah harta istri harus dipisah dengan milik suami?
Mengacu pada watak dasar zakat, bahwa itu merupakan kewajiban individu yang memenuhi syarat, baik laki-laki maupun perempuan. Pada sisi lain, hubungan perkawinan jelas tidak berarti peleburan hak milik antara suami dan istri, yang ada adalah bahwa suami wajib memberikan sejumlah hartanya yang wajar kepada istri sebagai nafkah. Sebaliknya, istri sama sekali tidak punya kewajiban untuk memberikan sejumlah harta kepada suami. Dengan demikian, harta istri adalah hak miliknya secara penuh. Konsekuensinya terkait dengan zakat, maka masing-masing merupakan pihak yang dikenai beban hukum (mukallaf) secara terpisah. Namun bila realitanya telah bercampur –dalam satu rekening misalnya-, maka bila masih dapat diperhitungkan secara tersendiri dipisah dan jika tidak, maka tidak perlu dipisah.
Bila konsep tersebut diaplikasikan pada persoalan Anda, maka jelas tabungan aAnda adalah harta Anda pribadi, sekaligus tabungan tersebut adalah harta yang telah terpisah dari harta suami. Selanjutnya, Anda tinggal mengecek kapan tabungan itu mencapai jumlah yang setara dengan harga emas 85 gr. Bila belum pernah, maka Anda belum wajib zakat dan jika pernah, maka sejak tanggal itu (haul) harta anda dihitung. Artinya, bila satu tahun kemudian saldo tabungan Anda ditambah dengan uang tunai yang Anda miliki setara atau lebih dari nilai 85gr emas, maka Anda wajib menzakatinya saat itu dengan kadar 2,5% dari harta tersebut.
Adapun mengenai izin dari suami, maka tidak ada kewajiban dalam hal penunaian zakat ini, sebab sudah sangat jelas bahwa harta istri adalah hak mutlak miliknya. Walaupun demikian, mengkomunikasikan hal ini kepada suami merupakan penghormatan dan etika yang indah dalam berinteraksi.
Dalil yang menjadi dasar pendapat ini adalah apa yang disampaikan Rasulullah kepada para wanita, di antaranya:
1. Setelah khuthbah ied Rasulullah menganjurkan para wanita untuk bersedekah dan mereka pun langsung melakukannya, tanpa izin dahulu kepada suami mereka. Dalam hadis Ibnu ‘Abbas ia berkata: ”Pada suatu hari Nabi SAW shalat Idul Fithri dua rakaat. Ia tidak shalat sebelum maupun sesudahnya. Kemudian (setelah khutbah) beliau mendatangi tempat para wanita, sementara Bilal menyertainya. Beliau memerintahkan mereka untuk bersedekah. Maka mulailah mereka melemparkan perhiasan mereka (ke kain yang dibentangkan Bilal untuk menampung sedekah), ada wanita yang melemparkan anting-anting dan kalungnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
2.Asma’ bint Abu Bakr diizinkan Rasulullah untuk bersedekah dari harta pemberian suaminya, yaitu Zubair ibn al-’Awwam. Asma’ bercerita: ”Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki harta kecuali apa yang diberikan Az-Zubair kepadaku. Apakah boleh aku menyedekahkannya?’ Beliau bersabda: ‘Bersedekahlah. Jangan engkau kumpul-kumpulkan hartamu dalam wadah dan enggan memberikan infak, niscaya Allah akan menyempitkan rezekimu’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Berdasar ketegasan dan kesahihan dalil ini, maka tidak diragukan bahwa sedekah atau zakat pada dasarnya tidak perlu izin dari suami. Bila pun izin, maka yang demikian lebih baik sebagai apresiasi kepada kepemimpinannya. Wallahu a’lam.