Lanjutan
5. Kamar Mandi
Kamar mandi adalah tempat orang mandi, baik dengan menggunakan air panas, maupun air dingin, khusus pribadi maupun terbuka untuk umum.
Zaman dahulu kamar mandi adalah pemandian umum yang di dalamnya terdapat air hangat. Kemudian istilah itu dipakai untuk menyebut setiap tempat pemandian walaupun airnya tidak hangat. Berkata al-Mubarakfury di dalam Tuhfatu al-Ahwadzi (2/219),
وَالْحَمَّامَ بِتَشْدِيدِ الْمِيمِ الْأُولَى هُوَ الْمَوْضِعُ الَّذِي يُغْتَسَلُ فِيهِ بِالْحَمِيمِ وَهُوَ فِي الْأَصْلِ الْمَاءُ الْحَارُّ ثُمَّ قِيلَ لِمَوْضِعِ الِاغْتِسَالِ بِأَيِّ مَاءٍ كَانَ
“Al-Hammam (pemandian) adalah tempat untuk mandi dengan menggunakan air panas karena lafazh (al-hamim) maknanya air panas. Kemudian (al-hammam) ini digunakan untuk menyebut setiap tempat untuk mandi secara umum.”
Mayoritas ulama dari kalangan al-Hanafiyah, al-Malikiyah dan asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa shalat di dalam kamar mandi hukumnya makruh, karena dikhawatirkan terdapat najis. Jika dipastikan tidak ada najisnya maka dibolehkan.
Berkata an-Nawawi di dalam al-Majmu’ (3/159);
والأصح أن سبب النهي كونه مأوى الشياطين فتكره كراهة تنزيه وتصح الصلاة.
“Dan pendapat yang benar bahwa sebab dilarangnya (shalat di kamar mandi) karena tempat tersebut digunakan untuk berkumpulnya para syetan, sehingga dimakruhkan shalat di dalamnya, walaupun tetap sah shalatnya.”
Imam Ahmad berpendapat bahwa shalat di kamar mandi tidak sah, ini berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda;
الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ
“Seluruh bumi adalah masjid kecuali kuburan dan kamar mandi.” (HR. at-Tirmidzi, 317; Abu Daud, 492; Ibnu Majah, 745).
Para ulama berbeda pendapat di dalam menghukumi hadits ini, sebagian mengatakan mudhtharib, dan sebagian yang lain seperti Ibnu Hibban dan al-Hakim men-shahihkannya. Ibnu Taimiyah mengatakan sanadnya baik (al-Munawi, Faidhu al-Qadir (3/174)).
6. Kandang Unta
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat di kandang unta. Ulama al-Hanabilah berpendapat bahwa shalat di kandang unta hukumnya tidak sah.
Di antara dalilnya adalah hadits Jabir bin Samrah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata;
أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ قَالَ إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ وَإِنْ شِئْتَ فَلَا تَوَضَّأْ قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ قَالَ نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ قَالَ أُصَلِّي فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ قَالَ نَعَمْ قَالَ أُصَلِّي فِي مَبَارِكِ الْإِبِلِ قَالَ لَا
“Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah ﷺ, “Apakah kami harus berwudhu karena makan daging kambing?” Beliau menjawab, “Jika kamu berkehendak maka berwudhulah, dan jika kamu tidak berkehendak maka janganlah kamu berwudhu.” Dia bertanya lagi, “Apakah harus berwudhu disebabkan (makan) daging unta?” Beliau menjawab, “Ya. Berwudhulah disebabkan (makan) daging unta.” Dia bertanya, “Apakah aku boleh shalat di kandang kambing?” Beliau menjawab, “Ya boleh.” Dia bertanya, “Apakah aku boleh shalat di kandang unta?” Beliau menjawab, “Tidak”.” (HR. Muslim, 539)
Ini dikuatkan dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ;
صَلُّوا فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ وَلَا تُصَلُّوا فِي أَعْطَانِ الْإِبِلِ
“Shalatlah kalian di kandang kambing dan jangan kalian shalat di tempat menderumnya unta.” (HR. At-Tirmidzi, 317. Berkata at-Tirmidzi, ‘Hadits ini Hasan Shahih.’)
Makna (أَعْطَانِ) jamak dari (العطن) artinya tempat yang dekat dengan tempat minumnya unta, dimana setiap unta yang telah meminum itu kembali ke tempat tersebut sambil menunggu unta lainnya bergantian minum.
Jika semua sudah meminum dan berkumpul di situ. Itulah makna (أَعْطَانِ الْإِبِلِ) tempat menderumnya unta. Bahkan kadang-kadang seekor unta tidak cukup minum sekali. Setelah dia istirahat di (أَعْطَانِ) maka dia pergi ke tempat minum yang sama untuk mengulangi meminumnya kedua, ketiga, dan seterusnya (an-Nawawi, al-Majmu’, 3/160).
Hadits di atas menunjukkan adanya larangan untuk shalat di dalam kandang unta. Jika larangan itu dilanggar maka menyebabkan tidak sahnya shalat. Ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh yang berbunyi;
النهي يدل على فساد المنهى عنه
“Setiap larangan itu menunjukkan rusaknya amalan yang dilarang.”
An-Nawawi di dalam al-Majmu’ (3/161) menyebutkan bahwa jika seseorang shalat di tempat menderumnya unta atau kandang kambing kemudian tersentuh sesuatu dari kencing atau kotorannya maka shalatnya menjadi batal.
Dan jika dia menggelar sesuatu yang bersih (tikar atau sajadah) kemudian shalat di atasnya atau dia shalat di tempat yang bersih dalam kandang tersebut maka shalatnya sah.
Di dalam hadits di atas terdapat larangan shalat di tempat menderumnya unta dan tidak terlarang shalat di kandang kambing. Larangan tersebut tidak terkait dengan najis, tetapi lebih disebabkan kekhawatiran terkenanya amukan unta.
Dan itu tidak terjadi pada hewan kambing karena kambing adalah hewan yang tenang. Dari situ bisa dipahami bahwa larangan shalat di tempat menderumnya unta hukum makruh, bukan haram berdasarkan alasan di atas.
Sebagian ulama menyebut alasan dilarangnya shalat di kandang unta karena sebagai tempat tinggalnya syetan. Dan seringkali unta tersebut mengeluarkan kotoran sehingga menyebabkan tidak khusyu’nya shalat.
Hal ini dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda;
مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا رَعَى الْغَنَمَ فَقَالَ أَصْحَابُهُ وَأَنْتَ فَقَالَ نَعَمْ كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ
“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan dia menggembalakan kambing”. Para sahabat bertanya: “Termasuk engkau juga?” Maka Beliau menjawab: “Ya, aku pun menggembalakannya dengan upah beberapa qirat (keping dinar) milik penduduk Makkah”.” (HR. al-Bukhari, 2102).
7. Atap Ka’bah
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat di atas atap Ka’bah.
Pendapat pertama mengatakan bahwa shalat di atas atap Ka’bah hukumnya sah tetapi makruh. Ini pendapat al-Hanafiyah dan asy-Syafi’iyah.
Mereka beralasan bahwa yang dimaksud kiblat adalah tempat dan ruangan udara yang di atasnya hingga ke arah langit. Bukan bangunannya, karena kalau bangunan Ka’bah dipindahkan ke tempat lain, tetap tidak boleh menghadap kepadanya.
Begitu juga, jika seseorang shalat di atas gunung atau bangunan yang sangat tinggi melebihi bangunan Ka’bah, maka shalatnya dianggap sah walaupun di depannya tidak ada bangunan Ka’bah.
Pendapat kedua mengatakan bahwa shalat di atas atap Ka’bah hukumnya tidak sah. Ini pendapat al-Hanabilah. Mereka beralasan bahwa orang yang shalat di atas atap Ka’bah tidak menghadap ke kiblat, tetapi menghadap ke arah lain.
Bagaimana Hukum Shalat di dalam Ka’bah?
Mayoritas ulama dari kalangan al-Hanafiyah, asy-Syafi’iyah, pendapat dari al-Malikiyah dan riwayat dari al-Hanabilah mengatakan bahwa shalat di dalam Ka’bah hukumnya boleh, baik shalat fardhu maupun sunnah. Mereka berdalil dengan beberapa ayat al-Qur’an dan hadist, diantaranya,
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”.” (QS: al-Baqarah: 125).
Ayat di atas terdapat perintah untuk membersihkan Ka’bah dan perintah ini tidak mempunyai arti kalau bukan untuk shalat, maka shalat di dalam Ka’bah hukumnya boleh.
Hadist dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْكَعْبَةَ هُوَ وَأُسَامَةُ وَبِلَالٌ وَعُثْمَانُ بْنُ طَلْحَةَ الْحَجَبِيُّ فَأَغْلَقَهَا عَلَيْهِ ثُمَّ مَكَثَ فِيهَا قَالَ ابْنُ عُمَرَ فَسَأَلْتُ بِلَالًا حِينَ خَرَجَ مَا صَنَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ جَعَلَ عَمُودَيْنِ عَنْ يَسَارِهِ وَعَمُودًا عَنْ يَمِينِهِ وَثَلَاثَةَ أَعْمِدَةٍ وَرَاءَهُ وَكَانَ الْبَيْتُ يَوْمَئِذٍ عَلَى سِتَّةِ أَعْمِدَةٍ ثُمَّ صَلَّى
Rasulullah ﷺ masuk ke Ka’bah bersama-sama dengan Usamah, Bilal, dan Usamah bin Thalhah al-Hajabi, lalu dikuncinya pintu dan mereka ditinggal di dalam beberapa lama. Ibnu ‘Umar berkata; Aku bertanya kepada Bilal ketika ia keluar, “Apa yang diperbuat Rasulullah ﷺ di dalam?” Bilal menjawab, “Beliau berdiri shalat antara dua tiang, yang satunya sebelah kiri dan yang satunya lagi sebelah kanan serta tiga tiang berada di belakangnya. Ketika itu Ka’bah mempunyai enam tiang, lalu beliau shalat di situ.” (HR: Muslim, 2358)
Hadist di atas menunjukkan secara jelas akan kebolehan shalat di dalam Ka’bah, karena Rasulullah ﷺ pernah melakukannya, dan tidak ada dalil yang menerangkan bahwa itu hanya untuk Rasulullah ﷺ sehingga berlaku umum untuk umatnya.*/Dr Ahmad Zain an-Najah, Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)