Oleh: Imam Nawawi
NEGERIKU tidak pernah berhenti diterpa badai. Badai intoleransi, kemanusiaan, dan keamanan. Negeriku juga kerap diterpa badai pemberitaan yang bobrok, mulai dari korupsi, perzinahan, hingga pembenaran aliran-aliran sesat dalam Islam. Prahara hampir setiap saat mewarnai kehidupan negeriku.
Tetapi, menyaksikan sejarah negeri ini, dengan ketinggian nilai ajaran yang sudah berabad-abad lamanya dinaungi cahaya Islam, tidak ada satupun kebiasaan dari penduduk negeri ini yang suka berkelahi, apalagi perang layaknya bangsa Eropa yang hobi sekali bermain senjata hingga saat ini.
Sangat berbeda dengan kondisi sekarang, dimana sebagian penduduk negeri ini masih sering beradu kekuatan yang pemerintah sebut sebagai kerusuhan. Sebagian menilai itu sebagai wujud nyata pergeseran nilai. Namun, dalam dangkalnya wawasan yang kuhimpun, sungguh ini terjadi karena rekayasa para pecandu prahara.
Film Kekerasan
Jaman orangtua, atau lebih tepatnya kakek buyut kita di era TV belum massif, tidak ada generasi muda yang suka tawuran dan hobi narkoba. Bagaimana mau tawuran, mereka semua sibuk membantu orangtua bekerja. Sore hari mengaji. Sekarang, pagi sampai pagi TV terus menghantui.
Jamie Foxx, aktor utama film Django Unchained berpendapat bahwa, “Kita tidak bisa mengabaikan masalah ini. Saya tidak setuju bila ada orang yang mengatakan kekerasan di film tidak akan mempengaruhi sikap seseorang,” kata Foxx seperti dilansir laman BBC pada 17 Desember 2012.
Jamie Foxx benar. Negeri ini pernah kena badai Smackdown. Reza Ikhsan Fadilah (9) murid kelas III SD di Kabupaten Bandung meninggal gara-gara praktik Smackdown di tahun 2006 silam. Sedikit lebih ringan dari Reza, Ade Septian Hunga (7), murid kelas IIA SD Bernardus 01, Jalan Dr Sutomo juga menjadi salah satu korban dampak tayangan gulat gaya bebas Amerika. Ia mengalami cedera serius.
Dengan kata lain, televisi dengan beragam sajiannya yang seolah menghibur, memberikan dampak serius terhadap pola pikir dan perilaku generasi negeri ini. Dan, ini sesuai dengan satu postulat yang mengatakan, “Kebatilan yang terus-menerus dipresentasikan, pada akhirnya akan dianggap sebagai kebenaran.”
Pergaulan Bebas
Belum ada penelitian historis mengapa pergaulan bebas bisa masuk dan mewabah di negeri ini. Tetapi, untuk memahami mengapa pergaulan bebas mewabah di bumi pertiwi, analisanya sederhana dan bisa diterima akal sehat.
Pertama, sebagian besar penduduk kita menonton film-film yang mempertontonkan adegan pelukan, ciuman dengan siapapun. Biasanya dibungkus dengan istilah cinta, persahabatan dan kasih sayang. Akibatnya, seperti yang sekarang kita saksikan, generasi muda bangsa sudah biasa dengan gaya hidup bebas, termasuk bebas bergaul.
Laman detik.com pernah melaporkan pada November 2013 bahwa temuan sebuah survei menunjukkan lebih dari 80 persen remaja merasa butuh lebih banyak informasi soal kehamilan dan kontrasepsi. Hanya 76 persen yang merasa butuh informasi soal HIV-AIDS. Lebih takut hamil dibanding kena HIV?
Dengan kata lain, nilai-nilai agama, norma sosial dan integritas telah tercerabut dari sebagian besar diri generasi kita. Mereka tidak takut bahwa perbuatan zina itu diancam neraka dan terkategori dosa besar. Bahkan virus HIV pun mereka tidak takut. Mereka hanya takut dirinya hamil. Dan, jika hanya hamil yang ditakutkan, maka perzinahan pasti akan terus mewabah.
Intoleransi
Setelah upaya-upaya melalui dunia hiburan, dalam ranah hukum, politik dan kebudayaan pun, pecandu prahara negeri ini terus menjalankan aksinya. Isu intoleransi menjadi andalan memojokan Muslim. Dan, Tolikara menjadi yang ter-update dalam kisruh jenis ini. Dan, kembali lagi, sejauh yang jadi korban adalah umat Islam, pembelaan tidak begitu lantang disuarakan, terutama dari pejabat negara.
Publik sudah memahami bagaimana ketidakwajaran dalam menyikapi isu intoleransi ini. Tetapi, kalau kita melihat apa yang Hamka sampaikan, teranglah bagi kita bahwa isu intoleransi dipaksakan masuk ke negeri ini agar prahara tak pernah berhenti.
“Biarkan mereka (orang Kristen) menyerbu ke tanah-tanah wilayah orang Islam, sebab negara kita negara kesatuan. Dan jangan dihalangi. Kalau kita halangi, kitalah yang disalahkan. Dan mereka akan menyebar berita ke pers-pers luar negeri bahwa kita yang salah Tetapi mereka leluasa membakari kedai-kedai dan toko-toko orang Islam di Ambon” (Hamka, Dari Hati ke Hati, hlm. 167).
Sama dengan Tolikara, banyak ditemukan fakta aneh, di mana bendera Bintang David cukup marak di sana. Padahal, kalau mau dipikir, dari mana penduduk sana tahu tentang Israel, apalagi sampai menggambarnya.
Jelas, ada indikasi kuat bahwa Indonesia sedang menjadi target utama kelompok asing. Hamka pun sudah mencium hal tersebut. Dan, fakta Tolikara cukup naif jika hanya disikapi secara hukum tanpa ada upaya serius pemerintah mematikan akar atau sumber dari memanasnya Tolikara.
Jika pemerintah berhadapan dengan tahun 60-an, pura-pura tidak tahu tetap aman. Tetapi, di masa sekarang, kepura-puraan tidak bisa disembunyikan meski dengan argumentasi penuh data dan rasionalisasi.
Logikanya sederhana, mustahil penduduk negeri ini suka berkisruh kecuali dipengaruhi oleh pihak-pihak lain yang tentu memiliki niat busuk terhadap negeri tercinta Indonesia. Apalagi sejarah membuktikan bahwa adu domba itu adalah taktik Belanda dalam memecah kekuatan bangsa Indonesia.*
Penulis pembina Komunitas Muda – Depok