MENJADI seorang Muslim itu luar biasa. Kehidupannya tak semata berdimensi duniawi tetapi juga ukhrawi. Tidak semata fisik tetapi juga batin. Jadi, adalah benar jika agama yang diterima di sisi-Nya, hanyalah Islam (QS. Ali Imran [3]: 19).
Artinya, seorang Muslim mestinya memiliki rasa percaya diri tinggi (proud be a Muslim), sehingga tidak mudah hanyut dan larut dengan budaya asing yang baik secara filosofi maupun budaya melangkahi (menyelisihi)rambu-rambu dalam Islam. Oleh karena itu perkara yang mesti diperkuat oleh setiap Muslim dalam kehidupannya adalah iman.
Bagaimana memelihara iman? Ibn Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya Fawaidul Fawaid bahwa penting bagi setiap Muslim mengerti konsep iman yang sebenarnya;
“Iman yang sebenarnya adalah hakikat yang tersusun dari (1) pemahaman tentang semua perkara yang dibawa oleh Rasulullah dari segi pengetahuan, (2) pembenaran terhadap semua itu dalam bentuk aqidah, (3) pengakuan terhadap semua itu dalam bentuk ucapan (yakni syahadat), (4) ketaatan terhadap semua itu dalam bentuk cinta dan ketundukan, (5) pengamalan terhadap semua itu secara lahir dan batin, serta (6) melaksanakan dan menyerukan semua itu sebatas kemampuan.”
Iman yang sempurna hanya dapat diraih dengan mengikuti Rasululllah baik secara lahir maupun batin, dan tidak menolehkan mata hati kepada selain Allah dan Rasul-Nya. Hanya kepada Allah kita memohon taufik.
Dengan demikian iman akan benar-benar bernyawa dan memberikan pengaruh besar dalam kehidupan setiap Muslim, sehingga tidak mengenal kata mengeluh, menyerah dan putus asa. Sebaliknya muncul optimisme dan komitmen dalam mengamalkan kebaikan-kebaikan yang ditentukan syariat Islam. Mereka memiliki argumen kuat mengapa selalu bersemangat dalam amal sholeh, ibadah dan jihad.
Pertama, memiliki keyakinan kuat bahwa Mukmin itu disayang Allah.
وَكَانَ بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ رَحِيمٗا
“Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ahzab [33]: 43).
Menurut Ibn Katsir sayang Allah kepada orang beriman itu berlaku di dunia dan akhirat. Di dunia Allah memberikan mereka petunjuk kepada kebenaran yang tidak diketahui oleh orang lain, serta memperlihatkan kepada mereka jalan selain mereka dari para penyeru kekufuan, bid’ah serta pengkikut mereka tersesat dan berpaling dari jalan itu.
Sedangkan kasih sayang Allah kepada Mukmin di akhirat ialah diberikannya rasa aman dari raa kaget yang dahsyat. Kemudian Allah mengutus Malaikat untuk menyampaikan berita gembira perihal keberuntungan surga dan keselamatan dari api neraka. Semua itu karena Allah menyayangi orang-orang yang beriman.
Penjelasan ini memudahkan kita memahami mengapa para Nabi dan Rasul serta orang-orang Mukmin terdahulu tidak tertekan kala menghadapi musibah, juga tidak jumawa kala mendapatkan kebahagiaan. Sikap mereka satu, terus percaya diri, bersemangat dan bergairah dalam mengamalkan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Andai pun mereka dalam ketaatan mendapatkan kesulitan bahkan ancaman, mereka tetap yakin bahwa Allah pasti menolong mereka. Dengan demikian mereka tidak pernah goyah dalam keimanannya.
Kedua, setiap amalan baik dari seorang Mukmin akan berbuah ampunan dan pahala yang besar. Ini adalah alasan logis. Jadi, orang beriman itu dalam melakukan kebaikan selain atas dasar ridho Allah juga memahami secara aqliyah bahwa segala kebaikan yang dilakukan akan kembali kepada dirinya berupa kebaikan pula, bahkan lebih baik dan lebih banyak sesuai dengan kehendak-Nya.
إِنَّ ٱلۡمُسۡلِمِينَ وَٱلۡمُسۡلِمَٰتِ وَٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡقَٰنِتِينَ وَٱلۡقَٰنِتَٰتِ وَٱلصَّٰدِقِينَ وَٱلصَّٰدِقَٰتِ وَٱلصَّٰبِرِينَ وَٱلصَّٰبِرَٰتِ وَٱلۡخَٰشِعِينَ وَٱلۡخَٰشِعَٰتِ وَٱلۡمُتَصَدِّقِينَ وَٱلۡمُتَصَدِّقَٰتِ وَٱلصَّٰٓئِمِينَ وَٱلصَّٰٓئِمَٰتِ وَٱلۡحَٰفِظِينَ فُرُوجَهُمۡ وَٱلۡحَٰفِظَٰتِ وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغۡفِرَةٗ وَأَجۡرًا عَظِيمٗا ٣٥
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab [33]: 35).
Ayat di atas adalah wujud impelementasi dari keimanan, yakni tetap dalam ketaatan, berpikir, berucap dan bertindak benar, sabar, khusyuk, bersedekah, berpuasa, memelihara kehormatan, dzikir, yang pada akhirnya selain mendatangkan kebaikan yang lebih baik dari sisi-Nya, juga ada jainan ampunan dan pahala yang besar.
So, Mukmin itu melakukan kebaikan tanpa kenal cuaca. Kapan dan dimana selalu mengamalkan kebaikan-kebaikan. Kebaikan jenis apa, minimal seperti yang termaktub pada ayat 35 Surah Al-Ahzab tersebut. Dengan demikian, akan ada dorongan kuat bahwa dirinya mesti terus bergairah dalam Iman dan Islam.
Ketiga, mantab dengan keyakinan وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبٗا “Cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan” (QS. Al-Ahzab [33]: 39).
Penjelasan tentang bagaimana perhitungan Allah amat jelas, bahwa tidak ada satu pun hal kecil atau besar yang dilakukan umat manusia yang terlewat dari catatan Allah Ta’ala.
وَكُلُّ شَيۡءٖ فَعَلُوهُ فِي ٱلزُّبُرِ ٥٢ وَكُلُّ صَغِيرٖ وَكَبِيرٖ مُّسۡتَطَرٌ ٥٣
“Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan. Dan segala (sesuatu) yang kecil maupun yang besar (semuanya) tertulis.” (QS. Al-Qamar [54]: 52 – 53).
Ibn Katsir menjelaskan bahwa semua amal perbuatan manusia tertulis di dalam kitab-kitab para Malaikat yang tidak satu pun ada yang terlewat, tertinggal apalagi terlupa, baik yang kecil maupun yang besar. Semua telah dihitung dengan seksama tanpa eror.
Oleh karena itu seorang Mukmin senantiasa berhati-hati dalam berbuat. Sebab, jika tidak, bisa jadi hitungan amalannya akan lebih banyak yang buruk daripada yang baik.
Rasulullah pernah menasehati istrinya Aisyah radhiyallahu anha, “Wahai Aisyah, jauhilah olehmu dosa-dosa kecil, karena ia pun akan mendapat tuntutan dari Allah” (HR. An-Nasa’I dan Ibn Majah).
Tiga dasar inilah yang menjadikan spirit orang beriman dalam melakukan kebaikan tidak akan pernah luntur, lekang ditelan masa. Maka jangan heran, jika pada usia yang sangat tua pun, Nabi Zakariya tetap memohon kepada Allah dan yakin Allah pasti menolongnya. Demikian pula dengan Nabi Ibrahim yang tiada henti memohon diberikan keturunan. Termasuk sahabat Rasulullah, Abu Ayub Al-Anshari yang meski telah berusia 86 tahun tetap berupaya mengisi hari-harinya dengan jihad di jalan Allah.*