Oleh: Ahmad Arif Ginting
TANPA terasa, Ramadhan tahun ini telah memasuki bagian sepuluh terakhir. Dalam hitungan beberapa hari ke depan, umat Islam akan bersua dengan ‘Iedul Fitri. Tentu sangat diharapkan agar Idul Fitri nanti akan dapat menyadarkan semua anak bangsa agar secara perlahan mau menyelami hakikat puasa dan memaknai Idul Fitri secara benar, sehingga hasil yang didapat adalah sebuah kemenangan sejati, bukan capaian yang dangkal dan hampa makna. Proses penyadaran itu berawal dari diri sendiri, melalui pemaknaan dan internalisasi dari nilai-nilai puasa ke dalam jiwa.
Seharusnya Ramadhan ini dijadikan sebagai modal sosial untuk transformasi individual-personal menuju kesalehan sosial-komunal. Dengan kembali kepada fitrah secara individual-personal, sepatutnya setiap pribadi Muslim memperluas kesucian atau fitrah itu dari hubungan manusia dengan Allah Subhanahu Wata’ala kepada kehidupan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, demi meretaskan jalan untuk menyongsong masa depan bangsa Indonesia yang adil, sejahtera, bermartabat dan diridhai Allah Subhanahu Wata’ala. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr.
Kemiskin Berkepanjangan
Beberapa hari lagi, Indonesia akan genap berumur 67 tahun. Namun demikian, salah satu permasalahan mendasar bangsa ini menjelang kemerdekaaan yang ke 67 adalah kemiskinan yang berkepanjangan sehingga tidak salah jika ada yang mengatakan, “Sudah terlalu capek menjadi miskin di republik ini!”. Dalam ungkapan Sri-Edi Swasono, Guru Besar UI (Kompas, 28/7/2012), kemiskinan adalah malapetaka sosial-kultural. Memang mengenaskan, mengapa di Tanah Air kaya raya rakyatnya miskin.
Berdasarkan data dari BPS (Badan Pusat Statistik) pusat, di Indonesia, tingkat kemiskinan rata-rata nasional menurun, dari 13,3 persen (2010) menjadi 12,5 persen (2011). Penurunan jumlah penduduk miskin berlanjut tipis, dari 12,59 persen (Maret 2011) menjadi 12,36 persen (September 2011). Meski menurun, tetap saja jumlah si miskin yang mencapai 31 juta itu masih sangat besar jika dibandingkan dengan Negara-negara jiran tetangga.
Provinsi-provinsi dengan angka kemiskinan sekitar separuh di bawah rata-rata nasional (September 2011) adalah DKI Jakarta 3,64 persen, Bali 4,59 persen, Bangka Belitung 5,16 persen, Kalimantan Selatan 5,35 persen, Banten 6,26 persen, Kalimantan Timur 6,63 persen. Semua menurun sangat tipis dibanding angka Maret 2011, kecuali Kalimantan Selatan.
Sebaliknya, provinsi-provinsi yang angka kemiskinannya lebih dari dua kali lipat rata-rata nasional (September 2011) adalah Papua 31,24 persen, Papua Barat 28,53 persen dan yang lebih dari satu setengah kali lipat rata-rata nasional adalah Maluku 22,45 persen, Nusa Tenggara Timur 20,48 persen, Nusa Tenggara Barat 19,67 persen, dan Aceh 19,48 persen. Tingkat kemiskinan ekstrem provinsi-provinsi ”tertinggal” ini menurun tipis dibanding angka-angka Maret 2011. Angka kemiskinan yang terus menurun tipis ini perlu kita hargai, meskipun persepsi masyarakat sering sebaliknya.
Siapa termasuk orang miskin? Bank Dunia menetapkan ”kemiskinan absolut” bila pendapatan per kapita di bawah 1 dollar AS per hari (Rp 280.000/bulan) dan ”kemiskinan menengah” 2 dollar AS/hari. Sementara Indonesia menetapkan garis kemiskinan per kapita dengan angka tunggal Rp 243.729/bulan. Lalu apakah seseorang ”tidak miskin absolut” bila pendapatannya Rp 250.000/bulan?
Miskin bukan lagi persoalan keberadaan pada garis atau di bawah garis kemiskinan yang dibuat ekonom dan statistikus konvensional. Seseorang terpojok miskin tatkala ia melihat iklan-iklan di televisi menayangkan kemewahan yang tidak terjangkau daya belinya. Gebyar-gebyar kemewahan mengepung kemiskinannya, yang menjadikan nestapa dalam keperihan hati. Pegawai-pegawai negeri dan swasta pun menjadi miskin oleh iklan-iklan rumah dan apartemen mewah metropolitan yang menggugah kecemburuan sosial dan menumbuhkan ”minderisasi” (inferiorization), sementara cicilan rumah sederhana mereka menjadi beban berkepanjangan.
Capek menunggu bisa berujung pada apatisme kepasrahan atau sebaliknya malah membangkitkan protes brutal. Sikap beringas yang bangkit bisa menjadi awal disintegrasi sosial yang menakutkan.
Tragedi Markiah -beberapa waktu lalu- adalah contoh apatisme kepasrahan, fenomena self-isempowerment, pelumpuhan diri mengerikan yang melanda keluarga miskin ini. Janda tiga anak ini mengalami capek miskin berkepanjangan, tanpa harapan melihat cahaya di ujung kegelapan. Kemiskinan mendorongnya bunuh diri, terjun ke Sungai Cisadane sambil menggendong anaknya yang masih balita, meninggalkan dua anaknya menjadi yatim piatu.
Ramadhan dan Kemerdekaan RI
Dalam konteks keindonesiaan, Ramadhan memiliki makna sangat istimewa dan membawa keberkahan tersendiri bagi bangsa ini; proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan pada hari Jum’at tanggal 9 Ramadhan 1364 H. Sungguh, bukanlah sebuah kebetulan jika ternyata Allah menganugerahkan kemenangan demi kemenangan kepada umat Islam pada bulan Ramadhan.
Ramadhan tahun ini seperti mengulang sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia. Peringatan ke-67 tahun Indonesia Merdeka tahun ini bertepatan dengan tanggal 28 Ramadhan 1433 H juga jatuh pada hari Jumat yang merupakan sayyid al ayyam (hari terbaik dalan satu pekan). Hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia tercinta hampir bersamaan dengan kemerdekaan dan kelahiran kembali setiap insan beriman usai berpuasa sebulan lamanya.
Secara politik, para ahli sejarah mencatatkan bahwa sejak sebelum masa-masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, para tokoh pergerakan nasional kerapkali memanfaatkan momentum Idul Fitri sebagai media untuk menyatukan seluruh elemen kekuatan bangsa guna menghadapi ancaman penjajah dan mengatasi multi krisis pada waktu itu.
Pada masa-masa itu, bangsa Indonesia tidak sekadar mendapat ancaman dari penjajahan Belanda kemudian Jepang yang bermaksud menguasai Indonesia selepas membantu Indonesia dalam mengusir Belanda, tetapi juga ancaman krisis ekonomi dan politik akibat perpecahan di kalangan tokoh pergerakan nasional. Puncaknya, pada tahun 1946, sejumlah tokoh pergerakan nasional berhasil mendorong Presiden Soekarno untuk merayakan Idul Fitri dengan mengundang tokoh-tokoh pergerakan yang berasal dari latar belakang dan pendirian politik yang berbeda-beda. Dengan itu Idul Fitri tidak hanya menjadi momentum untuk saling memaafkan, namun juga sebagai ajang untuk menegaskan kesadaran agar menerima keragaman dan perbedaan tapi tetap dalam semangat persatuan dalam menghadapi ancaman bersama segenap anak bangsa.
Semangat rekonsiliasi yang diwariskan para tokoh pergerakan nasional tahun 1946 itu sangat relevan dalam konteks Indonesia sekarang ini. Seperti di masa lalu, ancaman yang mendera bangsa ini adalah menguatnya polarisasi baik di kalangan masyarakat maupun elit politik, dimana krisis politik itu berdampak pada krisis pengelolaan negara, meruyaknya korupsi di mana-mana, tampaknya benih-benih separatis melalu pemekaran daerah yang asal-asalan, kemiskinan yang semakin menggurita, penegakkan hukum yang masih lemah dan terkesan tebang pilih, maraknya kasus-kasus mesum dan pornografi dan masalah lainnya. Ini semua adalah ancaman serius yang tak kalah berbahayanya dari ancaman penjajahan di zaman dulu.
Lantas, bagaimana cara kita menyikapi kemiskinan yang masih berkepanjangan saat ini? Prof. Sri-Edi dengan tegas mengatakan, “Kemiskinan dan pengangguran tidak seharusnya diatasi dengan semata-mata menunggu trickle-down effect atau kepyuran ke bawah dari investor besar. Merupakan kejahatan moral menganggap orang miskin hanya berhak atas rembesan. Memburuknya indeks Gizi dari 38 persen (2010) menjadi 41 persen (2011) adalah peningkatan kesenjangan kaya-miskin yang mencemaskan. Paradigmatik kebijakan menggenjot pertumbuhan bukanlah jaminan terberantasnya kemiskinan dan pengangguran. Diperlukan pemikiran cerdas ekstraordiner-kontemporer, meninggalkan konvensionalisme. Direct attack on poverty—pemberdayaan kilat di pos-pos daya meningkatkan kemampuan produktif, terampil mencipta atau menyambut pekerjaan menjadi pilihan.
Pembangunan dengan semangat pasar bebas dan perdagangan bebas yang memiskinkan kehidupan dan melumpuhkan semangat hidup rakyat harus distop. Sesuai paham strukturalisme ekonomi nasional kita harus banting setir beralih ke pemikiran: let us take care of employment, employment will take care of growth, tegas melaksanakan tujuan konstitusi: ”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Zakat itu Menghidupkan
Sesungguhnya, tingkat kemiskinan itu tidak akan berpengaruh apa-apa bagi negeri ini jika para aghniya (Muslim yang berpunya) itu memahami urgensi ber-ZISWAF (zakat, infaq, sadhaqah dan waqaf) lalu mengejawantahkannya dalam kehidupan sosial mereka. Sebab, zakat itu, juga sumber filantrofi islam lainnya (infaq, sadhaqah dan waqaf) mampu menghidupkan kembali optimisme yang telah berada di titik nadir, seperti yang sedang terjadi di negeri ini. “Zakatuka hayatuhum”, demikian fuqaha kontemporer mengatakan.
Dalam karyanya “al takafu al ijtima’I fi al islam”, almarhum Dr. Abdullah Nashih ‘Ulwan menjelaskan bahwa Islam menuntunkan tentang solidaritas dan semangat berbagi yang dipikulkan ke atas pundak masyarakat -baik secara personal maupun kolektif- dan negara. Solidaritas di sini tidak terbatas pada masalah pemenuhan kebutuhan pokok saja atau yang lebih dikenal dengan “bantuan financial” atau “jaminan Sosial”. Tapi mencakup penguatan akidah, pengokohan hati nurani, pembentukan jati diri, dan kepribadian serta perilaku social dalam tata hubungan keluarga, masyarakat, dan kemanusiaan secara universal.
Tujuan puncaknya adalah meraih hidup mulia dan bahagia disini (dunia) dan di sana (akhirat) nanti. Ada delapan aktivitas sosial sebagai sasaran solidaritas Islam; perlindungan dan pengasuhan anak, memelihara anak yatim, mengayomi anak terlantar, memelihara para pengidap penyakit dan memberdayakan penyandang cacat, membimbing penderita kelainan jiwa, melindungi para janda, melindungi para orang lansia dan golongan lemah lainnya.
Hal itu bisa dimulai dari level keluarga. Dalam setiap keluarga besar pasti ada yang kaya, menengah dan miskin. Jika keluarga yang kaya dan menengah mau membagikan sebagian harta mereka untuk meringankan kesulitan ekonomi yang miskin, niscaya tak ada keluarga yang hidup serba kekurangan di tengah-tengah masyarakat. Semoga. Wallahu a’lam bi al shawab.*
Penulis adalah livelihood program officer Qatar Charity Indonesia Cabang Aceh