Hidayatullah.com–Waktu setempat di Kairo sudah menunjukkan jam enam sore. Artinya waktu berbuka puasa hanya tersisa sekitar 45 menitan saja lagi. Jalan-jalan sediki demi sedikit sudah mulai sepi dari hiruk-pikuk lalu lintas.
Tranportasi angkutan umum juga sudah mulai susah ditemukan. Untuk bisa berbuka puasa dan shalat taraweh di Masjid Husein, akhirnya saya pun memutuskan untuk memilih jalur estafet angkutan umum agar sampai di Darosah.
Begitulah Mesir ketika menjelang buka puasa. Jalan-jalan yang biasanya selalu dipadati oleh mobil, tiba-tiba kosong dan sepi. Suasana jalan ketika buka puasa sudah seperti suasana di sepertiga malam. Sebagian manusia tertuju ke tempat-tempat maidah ar-rahman, sajian gratis berbuka puasa untuk umum. Sebagian yang lain berbuka puasa di rumah atau acara masing-masing.
Seperti biasa dari tahun ke tahun, halaman Masjid Husein selalu dipadati orang Mesir. Mereka berkumpul dengan keluarga dan kerabat-kerabatnya untuk berbuka puasa bersama. Kelompok-kelompok lesehan kecil memenuhi halaman Masjid Husein yang biasanya dipadati oleh turis.
Shalat Taraweh di Masjid Husein tidak seperti shalat Taraweh di Masjid Al-Azhar yang terletak berseberangan jalan. Masjid Husein memilih shalat Taraweh dengan delapan raka’at, seperti kebanyakan masjid lainnya di Mesir. Sedangkan Masjid Al-Azhar memilih shalat Taraweh dengan dua puluh raka’at. Selain cuman delapan raka’at, Masjid Husein ternyata juga tidak mengkhatamkan satu juz al-Qur’an ketika shalat Taraweh, melainkan sang imam hanya membaca beberapa ayat saja. Sehingga shalat Taraweh pun cepat selesai.
Usai shalat Taraweh di Masjid Husein, sesuai dengan rencana, saya lalu beranjak menuju Wikalah Al-Ghuri, salah satu monumen sejarah seni dan budaya yang terpenting di Mesir. Sudah menjadi kegiatan rutin setiap bulan Ramadhan, Wikalah Al-Ghuri menyuguhkan pertunjukan-pertunjukan seni yang dibuka untuk umum. Tahun ini, pertunjukan diadakan setiap hari Sabtu, Senin dan Rabu, dimulai dari jam 9 malam.
Wikalah Al-Ghuri adalah salah satu pusat kesenian dan budaya di Mesir yang berada di bawah Kementerian Kebudayaan Mesir. Peranan Wikalah Al-Ghuri dalam bidang kebudayaan dimulai pada tahun 1959.
Senin malam ini, di salah satu tempat pertunjukan yang saya datangi, Wikalah Al-Ghuri menyuguhkan penampilan Tanoura, tari sufi ala Mesir. Sementara tahun lalu, di tempat pertunjukan yang berbeda lagi, saya menyaksikan penampilan campuran seni musik Mesir Islam, Mesir Kristen Koptik dan nasyid Indonesia yang ditampilkan oleh grup nasyid Dai Nada.
Meski sedikit terlambat, alhamdulillah pertunjukan Tanoura baru-baru saja dimulai. Di atas panggung yang lumayan cukup luas, penari dan penabuh gendang berkolaborasi dengan serasi. Dari awal masuk panggung, sang penari terus memutar badangnya menebarkan pakaian rok panjang yang dikenakannya. Sementara itu pembaca syair, pemain musik dan penabuh rebana mengambil tempat di lantai dua.
Entah berapa kali banyaknya kelompok Tanoura yang tengah beraksi di atas panggung itu mendapatkan tepuk tangan penonton. Di dalam bangunan tua klasik yang tidak begitu luas itu, sekitar seratusan lebih penonton antusias menyaksikan pertunjukan. Bahkan tempat duduk yang disediakan panitia penyelenggara tidak mencukupi menampung penonton, sehingga yang terlambat datang hanya bisa menyaksikannya sambil berdiri. Selain orang-orang Mesir, turis-turis asing juga turut menikmati setiap putaran penari Tanoura.
Sekitar jam 10.30, akhirnya pertunjukan pun usai. Namun meski pertunjukan sudah selesai, penonton juga disuguhkan pameran kecil beberapa karya seni lukis dan atribut-atribut khas Mesir.
Ternyata Ramadhan di Mesir, selain bulan di mana para dermawan banyak yang mendermakan hartanya, juga merupakan bulan untuk melestarikan seni budaya klasik.*/ Sadzali, Mesir