SEORANG laki-laki berbaju koko tampak cemas. Ia memutar kepalanya ke kanan dan kiri untuk memastikan apakah sajian makanan di depannya telah halal untuk dicicipi. Jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB. Tanda waktu berbuka puasa untuk daerah Jakarta telah lewat tiga menit dari waktu yang digariskan.
“Sudah adzan belum, Bu?” tanyanya kepada ibu penjaga warteg tempatnya memesan.
“Belum Pak, saya juga lagi nunggu,” jawab sang Ibu juga harap-harap cemas.
Memastikan waktu berbuka di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta, memang tidak mudah. Memasuki hari kesebelas Ramadhan ini, sebagian supir angkot masih memilih acuh terhadap kewajibannya. Pria berbaju koko itu tentu tidak bisa menjadikan para supir yang sedang menghisap rokok di kendaraannya sebagai petunjuk waktu berbuka.
“Dia mah emang gak puasa, Pak,” kata seorang Ibu penjaga warteg di depannya.
Ternyata ia tidak sendiri. Kondisi serupa juga dialami para penumpang lainnya. Mereka terpaksa harap-harap cemas antara tertinggal mendengar adzan atau memang waktu belum meminta agar panggilanNya keluar menyapa para penumpang tujuan Ibu kota.
Bagi para supir maupun penumpang yang menjalankan ibadah puasa bisa jadi Terminal Kampung Rambutan adalah tempat “uji nyali” sesungguhnya. Di sini hampir tidak ada beda antara bulan puasa dengan bulan lainnya. Ketika suara azan bergemuruh, para supir masih sibuk mencari penumpang. Senja berwarna merah bagi mereka sama saja dengan cerahnya matahari di siang hari.
Belum lagi pemandangan berbagai toko makanan dan kedai kopi yang lebih memilih “menantang” Allah. Mereka tetap membuka dagangannya tanpa sehelai tirai pun.
Memang ada satu-dua restoran yang tetap melindungi jatidiri pembeli lewat bentangan kain di pintu masuk. Tapi mereka tetap memamerkan aneka makanannya untuk memastikan calon pembeli bahwa mereka tetap “berbuka” meski memasuki bulan puasa.
Jadi amat mudah mengenali siapa saja para penumpang yang tetap menyantap makanan di siang hari.
Hal sama juga dapat ditemukan di pintu gerbang terminal. Para penjaja makanan dan minumam ringan masih terlihat hilir mudik melakukan transaksi jual beli dengan masyarakat sekitar. Tidak sedikit para pembeli adalah supir dan para kondektur yang langsung memakan di tempat gorengan hangat di tangannya.
Di Terminal Kampung Rambutan sendiri ada dua tempat ibadah bagi umat Muslim, yakni sebuah Masjid dan satu buah mushola. Masjid ini bernama Nurul Amanah. Tempatnya di pinggir terminal, tapi masih dalam kawasan terminal terbesar kedua di Jakarta Timur itu. Sedangkan Mushola berada di atas bangunan terminal. Tepat di atas lelaki berbaju koko tadi dan deretan kursi calon penumpang menunggu jemputan.
“Ada sih Pak mushola di atas,” jawab sang ibu atas niat sang lelaki tadi untuk mencari tahu adzan.
Memang adzan di terminal Kampung Rambutan tidak begitu nyaring terdengar. Suaranya melebam, seperti bom yang meledak tapi dari jarak jauh. Para penumpang harus memasang telinga untuk mengetahui waktu maghrib telah hadir menyapa.
Kondisi ini diperparah dengan minimnya alat komunikasi dari petugas terminal untuk menginformasikan waktu berbuka. Sebenarnya tetugas bisa lebih aspiratif atas keingingan para penumpang dengan mengalihkan speaker informasi untuk memberitahu mereka yang tengah berpuasa..
Hingga waktu pukul 18.03 WIB, para penumpang masih belum berani memutuskan untuk berbuka. Lelaki berbaju koko itupun baru meneguk air ketika sang ibu penjaga warteg menyetel radionya. Dari radio lawas tersebut, kumandang adzan nyaring terdengar.
Suaranya menggelegar. Nama kebesaran Allah pun menyeruak bersamaan dengan santapan berbuka. Dan beberapa menit kemudian, baru kumandang adzan dari Musholla menyusul.*