Pada Ramadhan 1437 H ini, sejumlah mahasiswa LIPIA Jakarta mengikuti program dai Ramadhan. Di antaranya Hamka al-Faruq. Ia mendapat tugas di pedalaman Sumatera Utara. Berikut kisah pertamanya yang dituturkan untuk hidayatullah.com.
DESA Saragih Timur, Kecamatan Manduamas, Kabupaten Tapanuli Tengah, itulah tempat dimana saya ditugaskan untuk berdakwah selama bulan Ramadhan.
Program dai ini digelar atas kerja sama Kementerian Agama RI-Atase Agama Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta dengan pembiayaan dari Raja Salman.
Dari Bandara Internasional Kualanamu Medan, dibutuhkan waktu sekitar 10 jam perjalanan darat untuk sampai di Saragih Timur. Tak jauh lagi dari perbatasan Provinsi Aceh.
Muslimin di desa ini jumlahnya minoritas. Hanya sekitar 25-30 persen dari pemeluk agama mayoritas, Nasrani. Umat Islamnya pun sangat jauh dari pemahaman agama. Hal itu bisa diukur ketika tiba waktu shalat; tidak ada suara adzan. Sementara masjid dipenuhi debu.
Masjid beton berdinding krem dan atap hijau kebiru-biruan ini belum punya nama. Saya disuruh warga setempat untuk mencarikan namanya. Masjid satu-satunya di Saragih Timur ini memang baru rampung pembangunannya sehari sebelum Ramadhan.
Hari pertama bertugas, pas 1 Ramadhan 1437 H. Saya merangkap semua “jabatan” di masjid. Mulai dari takmir, muadzin, iqamat, hingga imam sekaligus makmum. Alias seorang diri.
Seiring waktu, masjid mulai didatangi anak-anak Muslim Desa Saragih Timur. Saya pun mengajari mereka tentang dasar-dasar agama.
“Biarpun Tanpa Suara”
Semangat anak-anak untuk belajar Islam begitu tinggi dan patut diacungi jempol. Sehingga saya harus meladeni mereka selama lima waktu shalat. Mulai dari baca buku Iqro’, belajar bacaan dan gerakan shalat, adzan, dan lain-lain sebagainya. Setiap hari begitu.
Memasuki hari ketiga bulan suci Ramadhan, Rabu (08/06/2016), Alhamdulillah! Sudah ada di antara anak didik kami yang bisa adzan, iqomah serta menghafal Surat al-Fatihah. Maka saya serahkan “jabatan” muadzin kepada meraka.
Jumlah para murid pun sudah mencapai sekitar 20 anak, laki-laki dan perempuan.
Saya lalu mendatangi beberapa jamaah yang hadir untuk menggantikan saya menjadi imam. Tapi semuanya menggelengkan kepala tanda tak bisa.
“Imam saja lah, Ustadz, biarpun suara tak kedengaran,” kata seorang jamaah dengan dialek suku Pakpak yang sangat kental, seakan disetujui oleh semua jamaah.
Sempat juga seorang makmum berkata, “Jangan dipaksa jadi imam, Ustadz, kalau nggak mampu. Kalau memang Ustadz nggak mampu lagi, ya, kami baliklah ke rumah dulu.” Ungkapan polos itu membuat saya terharu.
Akhirnya saya pun mengimami shalat isya dan tarawih dengan suara yang nyaris tak terdengar, padahal sudah dipaksakan. Setelah shalat tarawih rampung, terlihat dari wajah para jamaah rasa puas dan bahagia.
Seorang ibu paruh baya datang mendekat pada saya lalu berkata, “Ustadz, minum asam campur kecap biar suaranya kembali pulih.” Ibu-ibu lain pun menyebutkan juga resep-resep “mengembalikan suara” yang tak bisa saya hafal semua.
Gara-gara ke Pasar
Ada cerita lain yang menggambarkan betap minimnya dakwah di Desa Saragih Timur. Pada hari Selasa (07/06/2016), di masjid ini tidak digelar shalat zhuhur.
Sebabnya karena saya pergi berbelanja keperluan sehari-hari di pasar. Kemudian saya shalat zhuhur di masjid dekat pasar.
Jadinya, pas saya datang ke masjid tempat tugas, para jamaah sudah pada pulang ke rumahnya masing-masing. Padahal mereka belum shalat karena tak ada imam. Saya merasa bersalah sekaligus prihatin.
Di Kecamatan Manduamas maupun Desa Saragih Timur, perangkat pemerintahannya hampir semuanya non-Muslim. Seperti Kepala Desa, Kepala Camat, dan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA).
Salah satu perangkat kecamatan yang Muslim adalah Kapolsek Manduamas, AKP Enda Iwan Iskandar Tarigan, SH. Dia yang memberikan bantuan buku Iqro’ dan sajadah ke masjid tersebut. Sekaligus dia partner saya dalam berdakwah di sini.