WANITA karir, kini semakin mudah ditemukan. Hal ini terjadi karena banyaknya lowongan pekerjaan yang mudah dimasuki oleh kaum perempuan dibandingkan laki-laki. Juga ditopang oleh beberapa program pemerintah untuk membuat kesetaraan antara kaum perempuan dan laki-laki, misalnya Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13/2003.
Alasan saat ini menjadi wanita karir semakin diminati kaum hawa adalah karena tuntutan kondisi ekonomi keluarga juga demi peningkatan status sosial.
Di jaman sekarang, semua kebutuhan hidup serba mahal, baik itu kebutuhan sandang, pangan atau papan. Ditambah lagi dengan kebutuhan jasa seperti pendidikan, juga kesehatan yang kian hari kian sulit dijangkau. Hal ini memaksa kaum hawa untuk ikut terjun ke dunia kerja. Apalagi wanita dinilai lebih teliti dan patuh pada bos atau perusahaan, sehingga seolah ada nilai lebih jika kita (maaf) “mengekspor” TKW.
Hanya saja, salah satu dampak dan fakta yang tak bisa dibantah, munculnya kemandirian ekonomi kaum perempuan adalah mereka kadang mudah menuntut perceraian.
Berdasarkan data BPS DKI tahun 2009 menunjukkan peningkatan angka perceraian guru PNS di Jakarta. Penyebab utamanya rata-rata karena gaji istri lebih besar dibanding suami.
Di saat yang bersamaan kebanyakan wanita karir pun mendapatkan perlakuan yang diskriminatif, kekerasan, pelecahan seksual. Hal ini terjadi karena memang kapitalisme tidak akan pernah ‘adil’ kepada perempuan. Di satu sisi, mereka menggembar-gemborkan tentang kesetaraan perempuan, namun pada faktanya masih banyak penindasan kapitalisme kepada kaum perempuan.
Indonesia sebagai negara mayoritas penduduk beragama Islam sudah seharusnya mengenal bagaimana sebenarnya Islam memandang hal ini. Islam sebagai agama yang sempurna, juga mengatur perempuan.
Dalam Islam, ibu berperan sebagai ummu wa rabbatul bait, ibu dan pengurus rumah tangga. Peran ini hukumnya wajib. Jadi, para ibu diharuskan melakukan hal tersebut sebelum melakukan hal lain.
Bekerja untuk memenuhi nafkah adalah kewajiban para suami sebagai penerapan Qur’an Surah (QS) Ath-Tholaq ayat 7 dan QS: Al-Baqarah 233, yang artinya, ”Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”
Sekalipun penghasilan istri melebihi suami, mereka tidak bisa bertukar peran. Kewajiban bekerja bagi suami adalah bentuk realisasi fungsi mereka sebagai pemimpin sehingga kendali rumah tangga pun utuh dalam kepemimpinannya.
Islam memandang keluarga adalah institusi yang sangat penting baik bagi anggota keluarga maupun negara. Allah tidak memandang seseorang dari derajat ataupun pendapatan yang didapat, semuanya sama di hadapan Allah, yang membedakan kita hanyalah taqwa. Sebab taqwalah yang menjaga hubungan dengan Allah, Sang Khaliq, sehingga keluarga akan mengejar ridho Allah dalam setiap langkahnya.
Hal ini hanya akan terwujud jika masyarakat dan negara kondusif serta mendukung kaum hawa untuk meraih derajat taqwa dengan melaksanakan Al Qur’an dan Sunah Rasul seperti yang pernah dicontohkan.
Yang tak kalah menarik, saat ini draft Rancangan Undang Undang (RUU) Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) juga tengah digodok pihak DPR, yang salah satu poin nya adalah kemandirian perempuan dan wanita bekerja di luar rumah. Tentu, jika rancangan ini disahkan, akan makin banyak lagi wanita bekerja di luar rumah dan di sektor publik. Nah, mungkinkah kelak akan banyak lagi peningkatan angka perceraian? Wallahu’alam bish shawab.*
Penulis: Tati Nurhayati
Ibu Rumah Tangga, tinggal di Bandung