DALAM beberapa bulan terakhir ini, masyarakat menjadi begitu familiar dengan sebuah kata sekaligus kota nun jauh di Sulawesi Tengah, Poso.
Sebuah kota elok dan dikelilingi bukit dan pegunungan hijau nan subur.
Namun, Poso tiba-tiba menjadi begitu menarik sejak peristiwa empat belas tahun silam, tepatnya di tahun 2000 saat tragedi berdarah di tempat itu yang mulai terungkap di hadapan publik.
Masyarakat yang asalnya tak mengenal Poso, berubah menjadi akrab dengan satu kata ini. Media-media umum begitu sering memberitakan tentang Poso, bukan pada berita yang menyenangkan. Tetapi hanya sebagai “sarang teror”.
Poso hanya dikesankan sebagai basis Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dinilai melawan pemerintah dan muncul pula lembaga “pahlawan” bernama BNPT dan Densus 88.
Apalagi “serangan” media pada masyarakat tak berimbang, untuk sekedar bisa mencoba sedikit bijak dalam menyikapi permasalahan Poso, belum pernah saya temui. Umumnya, media massa nasional hanya “berpihak” pada polisi atau BNPT.
Terlepas dari latar belakang munculnya gerakan yang menamakan dirinya MIT, yang sangat mungkin sebagai bentuk pembelaan diri dari problem masa lalu yang tak tersolusikan secara adil, ada hal lain yang sebenarnya menggelitik.
Indonesia adalah sebuah negeri dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Banyak pula ormas Islam yang berjuang untuk menerapkan syariah agar mengejewantah dalam kehidupan. Ada pula ormas yang bertujuan mulia untuk melanjutkan kehidupan Islam, menerapkan aturan Allah secara kaffah tak terbatas hanya di negeri Indonesia. Tapi mendunia dan bersifat internasional.
Tapi entah mengapa saat Poso bergolak tak banyak yang bersuara, hatta kelompok aktivis kemanusiaan dan HAM.
Ketika masyarakat Poso banyak dikorbankan dengan tuduhan terorisme, tak ada massa/ormas/LSM bahkan media massa bisa berlaku adil.
Sebagaimana tak ada suara keras takala saudara seiman kita di Jalur Gaza dijajah Zionis-Israel ataupun Rohingya dibantai milisi Buddha.
Tak kita temukan demonstrasi memprotes tindakan aparat pemerintah atas kedholimannya saudara-saudara kita di Poso yang selalu diteror tuduhan teroris.
Faktanya di sini – bangsa yang katanya sebuah negeri yang dikenal ramah penduduknya dan penuh kekeluargaan– banyak pemudanya diculik, ditangkap tanpa prosedur hukumdan banyak LSM diam saja. Bandingkanlah jika ada aparat digebuki polisi atau tentara, hampir semua pers meliput hingga pihak polisi/aparat tertekan.
Sama tidak adilnya ketika Guntur Romli menjadi korban aksi FPI, semua media menjadikan aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) menjadi fokus utama. Sebaliknya jika anggota FPI digebuki dan menjadi korban. Media menganggap tak terjadi apa-apa.
Bukankah mereka juga manusia yang layak dibela?
Sama halnya yang terjadi di Poso. Yang belum tentu apa yang dituduhkan dengan label “teroris” benar adanya. Sementara penanganan terhadap mereka banyak yang terindikasi “extra judicial killing”.
Banyak di antara mereka yang langsung dieksekusi di luar prosedur yang semestinya.
Bukankah kita selalu mengenal persaudaraan dan pembelaan hak asasi tanpa tak dibatasi oleh kelompok?
Coba, bagaimana jika di Poso itu adalah anggota Syiah atau Ahmadiyah, bagaimana reaksi media dan LSM?
Semoga semua pihak, khususnya umat Islam saling bahu- membahu di atas landasan akidah yang kokoh, dan banyak aktivisnya turun tangan bergerak, hingga tak ada lagi kedholiman di Indonesia ini. Khususnya kedhaliman yang menimpa umat Islam.
Poso akan kembali indah dan elok. Tak dijadikan lagi sebagai proyek banyak kepentingan, apalagi sampai tersandera dengan label terorisme. Wallahu’alam.*
Pengirim:
U Nayla Zahra, peminat kajian sosial