PADA usaha terbaru mereka untuk mencari perhatian, Charlie Hebdo memuat sebuah karikatur melabeli Alan Kurdi, pengungsi berusia 2 tahun yang tubuh mungil tak bernyawanya hanyut ke pantai Turki bulan September lalu sebagai “a groper in Germany” (peraba di Jerman).
Anda tentu ingat cerita Alan. Dia seorang pengungsi Suriah yang tenggelam bersama ibu dan kakaknya dalam usaha mereka mencari kedamaian ke Yunani, berlari dari kekerasan yang mewabah di kampung halaman. Hanya ayahnya, Abdullah Kurdi, berhasil selamat dari perahu tersebut meski beliau telah sekuat tenaga menyelamatkan keluarganya.
Terry Glavin dari National Post (koran Kanada berbasis di Toronto), yang mewawancarai saudara perempuan Abdullah, Teema Kurdi, menuliskan kisah Abdullah seperti berikut: “Sebuah cerita mengerikan dituturkan Abdullah. Bagaimana dia berenang dari satu titik, memastikan anaknya baik-baik saja, kemudian berenang ke titik lainnya untuk melihat anak yang satu lagi, ternyata dia tenggelam… saat kembali ke anak pertama, dia juga tenggelam. Dia selamat, namun tidak dengan istrinya.”
Meski kisah terhempasnya Alan di tepi laut Turki menjadi gambaran tentang krisis pengungsi baru-baru ini, Alan hanyalah satu dari ratusan pengungsi yang menderita nasib yang kurang beruntung dan di saat yang sama, banyak negara-negara Barat – yang bisa dibilang, telah dan akan terus mengirim berkapal-kapal imigran jahat (alias penjajah) – menutup pintu dan menolak bertanggung jawab akan agenda imperialis mereka di Timur Tengah di masa lalu dan masa sekarang.
Namun untuk para kartunis di Charlie Hebdo, ini hanyalah sebuah kesempatan untuk menyalahgunakan kedudukan mereka dan mengejek mereka yang tertindas untuk mendapatkan uang.
Komik terbaru mereka menggambarkan pria dengan mata melotot dan lidah menjulur mengejar-kejar wanita dengan tangan terulur. Kalimat yang mereka tuliskan, “Apa yang Alan kecil lakukan jika dia tumbuh dewasa? Peraba pantat di Jerman,” mengaitkan Alan kepada serangkaian kejadian pelecehan seksual baru-baru ini, yang dituduhkan kepada para pengungsi dan migran di Cologne, Jerman.
Komik yang diterbitkan Charlie telah membuka luka perih yang masih belum sembuh benar dari mereka yang menderita dari krisis pengungsi – terutama ayah Alan, yang bereaksi sebagai berikut:
“Sejujurnya, setelah melihat gambar ini, saya tidak bisa menahan air mata. Saya tidak bisa menjelaskan kepedihan yang saya alami saat itu. Apa yang mereka lakukan sangat mengerikan. Ini penghinaan atas kenangan akan anak saya. Alan baru berusia 2 tahun saat hidupnya berakhir. Para redaksi harusnya menghormati Alan, menghargai saya dan keluarga saya. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Majalah ini seharusnya menghargai kenangan tentang para korban – terutama anak-anak.”
Ratu Yordania, Rania, yang ikut berang dengan ulah majalah tersebut menuliskan pendapatnya di Twitter: “Alan bisa saja tumbuh menjadi dokter, (atau) guru, (ataupun) seorang ayah yang penyayang.” Tak lupa Ratu Rania memuat karikatur balasan dari kartunis Yordania, Osama Hajjaj, yang menggambarkan Alan kecil tumbuh menjadi dokter.
Namun ini bukan pertama kalinya para pegawai di Charlie Hebdo – yang disokong oleh pemerintah Perancis (senilai $1,2 juta, lebih tepatnya) dan sepasukan pengikut mereka yang rasis – menciptakan gambar penuh kebencian berdasarkan foto Alan yang menyesakkan dunia tersebut.
Memang benar, merekalah dalang komik yang mengambarkan sosok seperti Yesus berjalan di atas air, di sebelah kaki-kaki kecil yang mencuat di atas permukaan dengan caption, “Umat Kristiani berjalan di atas air” dan “Bocah Muslim tenggelam,” dan sebuah punchline, “Bukti bawa Eropa adalah umat Kristiani.”
Dan tentu saja, dari waktu ke waktu, tabloid ini cepat berlindung atas kelakuan mereka dibalik selimut ‘kebebasan berpendapat’ untuk mempertahankan koar-koar penuh kebencian mereka. Sayangnya selimut itu tidak cukup besar bagi siapa saja.
Secara global (dan terutama di Prancis), konsep ‘kebebasan berpendapat’ telah menjadi sebuah alat untuk menindas mereka yang tertindas. Jadi begini, di sebuah negara dimana melakukan demo solidaritas kepada Palestina adalah hal illegal, sekelompok pria Prancis kulit putih membuat kartun-kartun yang menijikkan, rasis, dan xenophobic tentang salah satu orang paling tertindas dalam sejarah Perancis (keturunan Arab dan Muslim) tidak hanya sebagai penerapan ‘kebebasan berpendapat’ yang innocent, namun juga secara terbuka melakukan pidato kebencian. Ini adalah penindasan kelas berat yang secara ironis mengatasnamakan hak asasi manusia.
Di Prancis dan banyak negara-negara Barat lainnya, ‘kebebasan berpendapat’ hanya diberikan kepada mereka yang berkuasa. Minoritas dan kalangan tertindas dirampas hak-haknya untuk berdemo, menggunakan pakaian yang sesuai dengan ajaran agama mereka, atau sekadar menyuarakan pendapat mereka yang bertentangan dengan para penindas.
Muslim adalah kelompok paling tertindas di Perancis, bahkan setelah Perancis mencabut kontrol mereka atas bekas tanah jajahan di Afrika Utara, para Muslim yang tinggal di Perancis dipaksa untuk tinggal di kawasan kumuh (disebut banlieues), dimana mereka menghadapi diskriminasi dalam hal pekerjaan, perumahan, dan pendidikan.
Muslim – terutama Muslimah – telah menghadapi kejahatan bermotif kebencian yang jumlahnya meningkat hingga 80% dalam setahun terakhir, serta serangkaian hukum sepihak yang diberlakukan, mulai dari pelarangan jilbab, melarang pilihan makanan Halal untuk anak-anak Muslim, penutupan paksa ratusan masjid dan para politikus Perancis diberikan carte blanche (izin untuk melakukan apa saja sekehendak hati) untuk memuntahkan komentar keji yang ditujukan kepada seluruh komunitas Muslim.
Pada situasi kefanatikan terorganisir terhadap kaum minoritas yang tertindas, para politikus menjadi sangat selektif mengenai siapa saja yang dapat menikmati kebebasan berpendapat, serta siapa yang difitnah dan diadili karena melakukan pidato penuh kebencian.
Dimana mereka yang mem-posting hashtag #JeSuisCharlie (hashtag di media sosial, berarti ‘Namaku Charlie’ yang bersimpati atas serangan ke kantor Charlie Hebdo), pengguna bendera Perancis sebagai profile picture, dan para pengibar bendera kebebasan berpendapat saat seorang bocah berusia 16 tahun ditahan Polisi karena memparodikan kartun Charlie Hebdo dengan mengganti gambar “Qur’an” yang ditembus peluru di tabloid tersebut dengan sampul Charlie Hebdo? Bukankah mereka pendukung kebebasan berpendapat?
Para Muslim dan keturunan Arab yang melakukan protes, entah itu karena kejahatan perang Israel atau serangan Perancis terhadap komunitas Muslim, disebut melanggar peraturan dan biasanya diperlakukan dengan brutal oleh pihak kepolisian.
Dimana kemarahan mereka saat eksekutif di Charlie Hebdo memecat seorang kartunis karena alasan ‘anti-semit’ karena menulis sebuah kalimat mengejek Jean Sarkozy, putra mantan Presiden Perancis Nicholas Sarkozy yang pindah agama menjadi Yahudi karena alasan keuangan? Para penulis kemudian didenda atas alasan ‘menyulut kebencian dan rasisme’, sesuatu yang mengecualikan Islamophobia. Saya rasa mereka yang berlindung di bawah selimut ‘kebebasan berpendapat’ yang eksklusif menarik selimut mereka terlalu tinggi hingga menutupi mata dan telinga mereka.*/Hoda Katebi, hijab fashion blogger berbasis di Chicago serta penulis buku Teheran Streetstyle. Tulisan dimuat di muslimgirl.net 30 Januari