BELAKANGAN ini kata ‘kebebasan’ menempati rating tertinggi dalam kamus kehidupan manusia. Dengan daya menarik yang dipunyai, di mana-mana jamak orang meneriakkan yel-yel kebebasan (freedom) dan kemerdekaan (liberty/liberal).
Entah apa sebenarnya yang mereka inginkan dari slogan tersebut. Tapi nyatanya sejumlah media mainstream yang notabene sekular tak pernah sepi dari propaganda kebebasan dan kemerdekaan itu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Offline 1.5, kata ‘kebebasan’ artinya kemerdekaan. Sedang kata ‘bebas’ berarti: lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat dengan leluasa). Ia juga bisa dimaknai tidak terikat atau terbatas oleh aturan. Bebas juga bisa diartikan merdeka (tidak dijajah, diperintah, atau tidak dipengaruhi oleh negara lain atau kekuasaan asing).
Meminjam istilah Dr Syamsuddin Arif, para pengusung kebebasan itu lalu menyandarkan alasan mereka pada sebuah konsensus yang merujuk kepada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) atau yang lebih populer dengan sebutan Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka berkilah, dengan kebebasan yang terjamin sebagai hak asasi tersebut, berarti setiap individu punya kemerdekaan dan kebebasan “dari” dan “untuk” melakukan sesuatu (Baca: Islam Versus Kebebasan/Liberalisme, Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 2000.
Berdasar keterangan di atas yang ditambah dengan hegemoni Barat yang makin menggurita, tak jarang menjadikan sebagian umat Islam keliru memahami kebebasan tersebut. Yaitu menjadikan manusia sebagai sumber nilai serta ukuran kebenaran dan kebaikan. Parahnya, di saat yang sama pemahaman sekular tersebut sekaligus menegasikan agama dari ranah publik. Kebebasan menurut Barat adalah kebebasan yang tak terikat oleh aturan agama. Sebab agama bagi mereka, hanyalah mengikat dan mamasung ‘kreatifitas” hidup mereka.
Lebih jauh mereka berkata, batasan kebebasan tersebut bersifat relatif, tergantung pada penafsiran individu dalam memahami kebebasan yang dimaksud. Bahkan dalam tataran praktis, kebebasan itu berwujud kesepakatan (konsensus) publik semata. Akibatnya, ibarat bola liar, makna kebebasan tersebut kian menggelinding tanpa arah dan batasan yang memagari. Ia makin menjadi-jadi dengan dalih asalkan orang lain dan publik tidak terganggu oleh perbuatan mereka.
Berbeda dengan Barat, kebebasan dalam agama Islam adalah kebebasan yang bertolak dari nilai-nilai agama sebagai panduan hidup manusia. Kebebasan hakiki adalah kebebasan yang kelak mengantar pelakunya kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat. Kebebasan yang benar adalah kebebasan yang berselaras dengan iman, ilmu, dan adab sebagai pondasi perilaku seorang beriman.
Bagi seorang Muslim, puncak penghambaan seorang hamba adalah ketika ia menyatakan ketidakberdayaan dirinya di hadapan kuasa Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt). Semakin ia mempermalukan dirinya yang hina, justru mengantar pemilik jiwa tersebut kian mulia di sisi Allah.
Demikian halnya ketika bicara konsep kebebasan manusia. Ia dikatakan sosok yang merdeka ketika berhasil memastikan dirinya melebur tanpa syarat dalam garis aturann Allah dan Rasul-Nya.
Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan, makna ‘kebebasan’ lebih tepatnya terdapat dalam konsep ikhtiyar yang merupakan tindakan untuk terbebas dari keburukan dan bukan terletak dalam terminologi hurriyyah (kebebasan) yang merupakan kondisi bebas dan lepas begitu saja (Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena To The Metaphysics of Islam, Kuala Lumpur: Prospecta, 1995).
Terkait dengan ikhtiar, seorang Muslim diminta membuat pilihan antara yang baik atau yang buruk. Kata ‘ikhtiar’ sendiri masih seakar kata dengan ‘khair’ yang berarti baik. Hal ini menyiratkan pesan, kebebasan untuk memilih tersebut harus sejalan dengan kebaikan. Sedang dalam agama Islam, kebaikan itu berasal dari apa yang telah diajarkan oleh al-Qur’an, Sunnah, Ijma (konsensus) ulama, sesuai dengan pemahaman orang-orang shaleh terdahulu.
Kebebasan yang benar niscaya berujung kepada kemuliaan seorang hamba yang berparameter kepada takwa dan amal shaleh. Kebebasan yang hakiki adalah kebebasan yang menjadikan pelakunya sebagai sosok pribadi yang adil dan beradab. Bukan sebaliknya, malah mengantar kepada keburukan (sayyi`ah) dan kebobrokan (dzhulm) yang kian merajalela di tengah masyarakat.*/Masykur Abu Jaulah