Belakangan ini masyarakat Indonesia khususnya, mengenal istilah baru bernama gender. Ia biasa ditemui dalam pembahasan kajian psikologi atau humaniora. Bahkan ada juga Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU-KKG).
Istilah ini dipopulerkan oleh mereka yang mengaku sebagai pejuang feminisme (kewanitaan). Secara bahasa, kata gender adalah hasil serapan dari beberapa bahasa Asing, di antaranya “gendre,” “genre,” atau “gener.” (Merriam-Webster 11th Collegiate Dictionary, Ver. 3.0; Merriam-Webster, Inc., 2003).
Sedang kamus Oxford University Press (2010) menuliskan “The fact of being male or female, especially when considered with reference to social and cultural differences, not differences in biology.”
Dalam bahasa Melayu (Malaysia), kata seks (dari sex) dan gender hanya memiliki satu padanan kata yaitu jantan atau betina. Bahasa Arab juga demikian, seks diterjemahkan menjadi al-jins, sedangkan gender diterjemahkan dengan kata al-jinsaniyyah.
Seorang pembela feminism, Dr Musdah Mulia, mengatakan, gender merupakan sesuatu yang dibentuk secara sosial dan bukan sesuatu yang kodrati dalam diri manusia. (Musdah Mulia, Muslimah Sejati Menempuh Jalan Islami Meraih Ridha Ilahi, Jakarta: Penerbit MARJA, 2011).
Selanjutnya, istilah gender berarti ciri atau sifat yang dihubungkan dengan jenis kelamin tertentu, baik berupa kebiasaan, budaya, maupun perilaku psikologis, bukan perbedaan secara biologis.
Sederhananya, terkadang gender disebut sebagai “jenis kelamin” sosial, apakah ia maskulin atau feminim. Sedang seks dimaknai sebagai jenis kelamin biologis sejak lahir yakni laki-laki atau perempuan berdasar alat kelamin yang dimiliki.
Ensiklopedia Feminisme menyebut gender terbentuk secara kultural yang ada pada laki-laki (maskulin) atau perempuan (feminim). Bahwa jenis kelamin adalah biologis dan perilaku gender adalah konstruksi sosial. (Buku terjemah dari Maggie Humm, Dictionary of Feminist Theories).
Dalam syariat Islam, istilah gender ini mulai bermasalah ketika mengalami pembiasan makna dalam penggunaannya. Salah satunya dikatakan, perbedaan lelaki dan wanita adalah natural dan dari perbedaan alami tersebut timbul perbedaan bawaan berupa atribut maskulin dan feminim yang melekat padanya secara alami. Seharusnya dalam menyikapi perbedaan yang ada bukan dengan menghilangkannya, melainkan dengan menghapus diskriminasi dan mencipatakan hubungan yang serasi.
Lebih jauh para pejuang gender tersebut mulai berani mempertanyakan aturan, kebiasaan, penilaian, serta perlakuan yang selama ini menurut mereka terjadi ketimpangan dan diskriminasi antara lelaki dan perempuan.
Puncaknya, penyimpangan seks dianggap sebagai hal modern dan sesuai dengan hak asasi manusia. Sebagaimana tak sedikit yang menuduh para ulama berperan dalam merekayasa hegemoni lelaki di atas kaum perempuan (Lihat Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, Inc., 1999).
Sebagai agama universal, syariat Islam mengatur segala urusan kehidupan manusia. Dalam pandangan agama, laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama. Mereka berdua hanya dibedakan pada peran dan perilaku saja sebagai fitrah manusia sedang tujuan penciptaan keduanya sama. Sebagaimana surga yang dijanjikan juga sama bagi lelaki dan perempuan.
Sebaliknya, ketika kaum feminis mempermasalahkan perbedaan tersebut sebagai bentuk ketidakadilan, maka mereka menuntut kesetaraan dan penghapusan batas-batas gender. Akibatnya wanita justru kehilangan moral dan tabiat kewanitaannya. Hukum agama lalu dibenturkan dengan budaya setempat yang dipaksakan oleh kaum feminis tersebut.
Anti Syariat
Dalam hal ini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi mengkritik pemikiran dan fenomena tuntutan kesetaraan gender. Menurutnya, istilah gender kini telah berubah dari istilah aslinya.
Sementara itum setiap kata mengandung makna dan setiap makna mengandung konsep. Serangkaian atau jalinan konsep suatu dalam peradaban dapat membentuk suatu pandangan hidup atau worldview.
Kini, segelintir cendekiawan muslim telah mengubah konsep kunci dalam Islam. Demi menjustifikasi konsep gender, jumlah hak waris laki-laki dan wanita harus sama; karena kesetaraan gender fiqih dianggap maskulin; karena gender pula hadist-hadits tentang wanita yang negatif dianggap misoginis; untuk membela kesetaraan gender peranan suami dikalahkan oleh isteri atau disamakan. Jika ini terus terjadi maka masa hegemoni terhadap pemikiran umat semakin dahsyat.
Menurut Hamid, kaum feminis bahkan telah masuk ke ranah hukum agama sedang mereka sendiri lupa (tidak merujuk) kepada pendapat ulama-ulama sebelumnya. Kaum feminis mengaku memperjuangkan kemuliaan wanita sedang mereka sendiri tidak paham arti kemuliaan dalam ajaran agama Islam (Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis, Ponorogo: CIOS, 2010).*/Masykur Abu Jaulah.(BERSAMBUNG)