Adzan bukan sekadar penanda waktu shalat. Ini adalah bagian dari peradaban Islam yang mulia
Hidayatullah.com–Para Sahabat Rasulullah ﷺ suatu saat berkumpul. Mereka bermusyawarah dengan Nabi mengenai bagaimana memberikan tanda kepada masyarakat tatkala datang waktu shalat.
Ada yang menyampaikan menabuh genderang seperti orang-orang Yahudi. Ada pula yang mengusulkan memukul lonceng seperti orang-orang Nasrani.
Lalu ada seorang sahabat bernama Abdullah bin Zaid yang pernah bermimpi ditalqin kalimat-kalimat adzan dan iqamah. Ia pun pergi menuju Rasulullah ﷺ lalu menceritakan perihal mimpi itu.
Setelah mendengar apa yang diceritakan Abdullah, Rasulullah ﷺ menyetujuinya. Beliau kemudian memerintahkannya untuk mengajarkan kepada Bilal bin Rabah. Akhirnya Bilal menyerukan adzan dengan kalimat-kalimat yang diajarkan itu. Demikianlah proses disyariatkannya adzan. (Syarh al-Yaqut an-Nafis, hal 219).
Baca: Adzan Pertama Sejak 86 Tahun Berkumandang dari 4 Menara Masjid Hagia Sophia
Para ulama akhirnya mendefiniskan bahwa adzan adalah perkataan khusus dan dengannya diketahui waktu shalat. (Hasyiyah at-Tarmasi, 2/448). Meski demikian, adzan bukanlah sekadar tanda waktu shalat tiba. Ini juga bagian dari syiar Islam.
Pendapat utama dalam Mazhab asy-Syafi’i menghukumi adzan termasuk sunnah. Namun ada pendapat kedua yang menyatakan bahwa hukumnya fardhu kifayah, karena adzan merupakan syiar Islam. Jika demikian ketika seluruh penduduk sebuah negeri sepakat untuk meninggalkannya, maka mereka harus diperangi. (Mughni al-Muhtaj, 1/319).
Suara Keras dan Merdu
Sebagai syiar, maka disunnahkan muadzin (pelantun adzan) memiliki suara yang tinggi sehingga bisa didengar dari jarak yang cukup jauh. Oleh sebab itu, ketika Abdullah menyampaikan mimpinya mengenai kalimat-kalimat adzan kepada Rasululullah ﷺ, maka beliau bersabda, “Sampaikan kepada Bilal, sesungguhnya suaranya lebih tinggi daripada suaramu.” (Riwayat Ahmad).
Selain memiliki suara yang kuat hingga bisa didengar dari jarak yang jauh, disunnahkan juga muadzin memiliki suara yang merdu. Rasulullah ﷺ pernah memerintahkan dua puluh orang untuk mengumandangkan adzan, dan beliau kagum dengan suara Abu Mahdzurah. (Riwayat Ibnu Khuzaimah).
Ketika peristiwa Fathu-Makkah terjadi, Rasulullah ﷺ memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan di atas Ka’bah. Orang-orang musyrik pun marah besar, hingga mereka meniru adzan Bilal dengan bermaksud untuk mengejek. Di antaranya Abu Mahdzurah, yang memiliki suara paling merdu di antara yang lain.
Baca: Zionis ‘Israel’ Telah 298 Kali Larang Adzan di Masjid Ibrahimi
Mendengar kumandang adzan yang bermaksud mengejek itu, Rasulullah ﷺ memerintahkan para Sahabat untuk memanggil Abu Mahdzurah. Lelaki ini mengira hendak dibunuh. Namun ternyata Nabi mengusap kening serta dadanya dengan telapak tangannya yang mulia. Kemudian Abu Mahdzurah berkata, “Demi Allah, maka hatiku saat itu dipenuhi dengan keimanan dan keyakinan, dan saya tahu bahwa beliau adalah utusan Allah.”
Rasulullah ﷺ kemudian mengajarkan adzan kepada Abu Mahdzurah dan memilihnya sebagai muadzin bagi penduduk Makkah. Saat itu Abu Mahdzurah berumur 19 tahun. Kelak anak-anaknya juga mewarisi posisinya sebagai muadzin di Makkah. (Hasyiyah at-Tarmasi, 2/514).
Menurut Imam asy-Syarbini, sunnahnya memilih muadzin yang memiliki suara bagus adalah agar hati orang yang mendengar menjadi lembut dan condong untuk menjawabnya. Juga karena seorang penyeru hendaklah memiliki ucapan yang manis. (Mughni al-Muhtaj, 1/324).
Adzan yang merdu bahkan bisa menjadi wasilah datangnya hidayah. Raja Frederick II (penguasa Jerman, Italia, dan Sisilia), meski seorang Nasrani, ia meminta izin kepada Sultan al-Kamil al-Ayyubi untuk menginap satu malam di Kota al-Quds. Tujuannya hanya ingin mendengarkan merdunya suara adzan di kota itu. (Mufarrij al-Kurub, 3/244-245).
Detak Nadi Kehidupan
Mengumandangkan adzan juga disunnahkan di tempat yang tinggi, seperti menara dan atap. Menurut Imam Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i, di samping hal ini mengikuti Sunnah, juga agar suara adzan menjangkau tempat yang jauh.
Disebut mengikuti sunnah berdasarkan Hadits dari ‘Aisyah RA, “Tidak ada jarak di antara adzan Bilal dan Ibnu Ummi Maktum kecuali jika salah satu dari mereka turun maka lainnya naik.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Sebagaimana juga dalam Hadits bahwasanya seorang wanita Bani Najjar mengatakan, “Rumahku adalah rumah yang paling tinggi di antara rumah-rumah yang berada di sekitar masjid, dan Bilal adzan di atasnya ketika fajar.” (Riwayat Abu Dawud).
Sedangkan menara, awal mula dibangun di Masjid Nabawi oleh Khalifah al-Walid I di masa Bani Umayah.. Dan Khalifah Umar bin Abdil Aziz kemudian membangun menara Masjid Nabawi di keempat sudutnya. Sedangkan di Makkah, yang pertama kali membangun menara adalah Abu Ja’far al-Manshur, khalifah kedua Bani Abbasiyah. (Hasyiyah at-Tarmasi, 2/ 516).
Selanjutnya menara tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk mengumandangkan adzan. Di menara masjid-masjid di seluruh wilayah Muslim di malam hari dinyalakan lilin-lilin sebagai penerangan, sebelum masa digunakannya listrik. (Ifadah Dzawil Awham, hal 67).
Ketika menara terang dengan lampu-lampu, maka para penduduk merasa tenang. Sedangkan para musafir menjadikannya sebagai tanda, demikian juga kapal-kapal menjadikan menara masjid yang berada di pesisir sebagai mercusuar.
Adzan juga memiliki fungsi sosial. Sebagai contoh, dengan adanya adzan fajar, maka dimulailah aktivitas kehidupan masyarakat. Kumandang adzan Zhuhur membuat situasi menjadi tenang, dan masa istirahat berlangsung hingga waktu Ashar. Kemudian setelah itu aktivitas berlangsung kembali hingga waktu Maghrib. Datangnya waktu Isya’ menandakan segala aktivitas mulai berhenti. (Muhadharat fi Tarikh al-Alam al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyah, hal 149 dan 151).
Jelas sudah bahwa adzan bukanlah sekadar penanda waktu shalat. Ini juga merupakan syiar serta sudah menjadi bagian dari peradaban umat Islam sejak dahulu, sekarang, dan terus di masa yang akan datang.*