Dukumen bernama ‘Xinjiang Police File’ berisi 2.800 tahanan Uighur, diperoleh setelah peretas berhasil mengambil database kepolisian Xinjiang, ada korban yang ditangkap karena belajar Islam dan menyimpan jilbab
Hidayatullah.com | KUMPULAN dokumen yang bocor dan dikenal sebagai “Xinjiang Files” mengungkap pelanggaran hak asasi manusia berat terhadap minoritas Ughur di kawasan itu. Para ahli menilai dokumen tersebut hampir pasti asli, kutip DW.
Dokumen-dokumen dan foto-foto yang dibocorkan menyoroti metode brutal yang digunakan oleh pemerintah China terhadap minoritas Muslim Uighur di wilayah barat laut Xinjiang. Menurut dokumen-dokumen itu, pemerintah China menerapkan kebijakan tembak mati untuk warga Uighur yang berani melarikan diri dari kamp penahanan.
Foto-foto itu diambil pada paruh pertama tahun 2018 di pusat-pusat penahanan dan kantor polisi di daerah Konasher – disebut Shufu dalam bahasa China – di prefektur Kashgar. Dokumen-dokumen itu juga bertentangan dengan pernyataan resmi pejabat pemerintahan, bahwa warga Uighur secara sukarela memilih untuk menghadiri “pusat-pusat pembinaan” tersebut.
Berkas yang dijuluki “Xinjiang Police File” itu didapat setelah para peretas berhasil masuk ke database kepolisian di Xinjiang dan kemudian menyerahkan seluruh buktinya kepada peneliti dan aktivis asal Amerika Serikat, Dr Adrian Zenz.
Kementerian Luar Negeri China menolak dokumen-dokuman bocoran itu sebagai ” bahan yang difabrikasi ” oleh “kekuatan anti-China yang menodai Xinjiang.” Juru bicara Kementerian Luar Negeri Wang Wenbin mengatakan media-media tengah “menyebarkan kebohongan dan rumor.”
Namun Adrian Zenz, menyatakan bahwa dokumen-dokumen tersebut hampir tidak mungkin untuk dipalsukan. Dia mengatakan menerima kiriman itu dari sumber anonim yang meretas data-data resmi di Xinjiang.
“Selalu mungkin untuk memalsukan dokumen. Tapi jauh lebih sulit untuk memalsukan gambar, bahkan lebih sulit lagi untuk memalsukan jumlah materi gambar sebanyak ini dan jenis materi gambar seperti ini,” kata Adrian Zenz kepada DW.
Dia mengatakan kebocoran itu adalah hasil dari “serangan peretasan langsung ke komputer polisi, bahkan ke komputer kamp penahanan.” Zenz mengatakan dokumen-dokumen yang bocor mengungkapkan “penguburan massal orang-orang yang benar-benar tidak bersalah,” dengan tahanan termasuk remaja muda dan wanita tua.
“Arsip-arsip itu bahkan tidak mengatakan bahwa mereka telah melakukan sesuatu. Orang-orang ini hanya memiliki orang tua atau kerabat yang ditahan.”
Perlakuan China terhadap Uighur ‘kejahatan brutal terhadap kemanusiaan’
Direktur Eksekutif Human Rights Watch Kenneth Roth juga mendukung kebenaran dokumen tersebut. Dia mengatakan kepada DW bahwa “ada banyak alasan” untuk percaya bahwa dokumen-dokumen tersebut akurat.
“Itu sesuai dengan banyak, banyak kesaksian yang diterima Human Rights Watch,” kata Kenneth Roth. Dia menyebut pelanggaran terhadap Uighur sebagai “kejahatan brutal terhadap kemanusiaan, hal seperti itu benar-benar tidak ada di tempat lain di dunia saat ini.”
Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock hari Selasa (25/4/2022) mengatakan bahwa laporan-laporan terbaru itu, ”mengejutkan, dan bukti baru pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius di Xinjiang.” Baerbock mendesak “penyelidikan transparan” terhadap laporan dalam dokumen yang bocor, kata sebuah pernyataan dari Kementerian Luar Negeri Jerman di Berlin.
Kunjungan Utusan PBB ke Xinjiang hanya upaya ‘pemutihan’
Bocornya dokumen-dokumen Xinjiang terjadi saat Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet melakukan kunjungan resmi ke Xinjiang. Namun Kenneth Roth mengatakan dia “khawatir” kunjungan itu hanya digunakan untuk tujuan propaganda oleh pemerintah China.
Kenneth Roth mengatakan Bachelet tidak akan memiliki kemampuan untuk “berbicara secara bebas dengan (warga) Uighur” selama kunjungannmya dan mempelajari apa yang sebenarnya terjadi di provinsi tersebut. “Dan dia akan diperlihatkan orang-orang Uighur yang bernyanyi dan menari dan berpura-pura bahagia, yang merupakan garis pemerintah China. Anda tahu, ini benar-benar pemutihan,” ujarnya.
Anak dibawah umur
Anehnya, file tersebut juga berisi foto lebih dari 2.800 tahanan dengan 15 di antaranya adalah anak di bawah umur. “File-file ini, karena diperoleh langsung dengan meretas komputer dan database polisi di Xinjiang, untuk pertama kalinya memberi kami informasi langsung tentang operasi polisi di dalam kamp pendidikan ulang alias kamp cuci-otak.
“Ini termasuk gambar yang diambil selama pelatihan polisi, pelatihan keamanan di kamp ini, pidato yang diberikan oleh Chen Quanguo (Pemimpin Partai Komunis di Xinjiang) dan pejabat lainnya. “Mereka hanya berbicara langsung tentang sikap dan ancaman yang mereka lihat dari orang Ughur, dan bagaimana orang Ughur harus ditangkap, dan bagaimana kamp harus dipertahankan,” kata Zenz dalam video yang memperkenalkan file tersebut.
Dia menambahkan bahwa para pemimpin dunia harus secara langsung menekan kepemimpinan China, termasuk Presidennya, Xi Jinping. Ini karena, Zenz mengklaim, Xi Jinping sendiri dan pemerintah memantau dengan cermat apa yang terjadi di Xinjiang dan bahkan mereka mengetahui detail para tahanan dan fakta bahwa kamp semakin penuh sesak.
Bukti baru benar-benar menunjukkan pendidikan ulang atau yang disebut “pelatihan kejuruan” di Xinjiang tidak ada hubungannya dengan meningkatnya kemiskinan, tidak ada hubungannya dengan membantu orang mendapatkan pekerjaan. Ini hanya tentang cuci-otak brutal, ini tentang menempatkan mereka di tempat-tempat seperti penjara, kamp yang dijaga oleh polisi bersenjata lengkap.
“Kami punya bukti, di gardu jaga mereka menggunakan senapan mesin kelas militer dan senapan sniper di gardu jaga dan sangat jelas bahwa ini adalah kampanye untuk mengubah pola pikir masyarakat, bukan seperti yang dikatakan transformasi melalui pendidikan,” dia berkata.
Ditangkap karena belajar Islam dan menyimpan jilbab
Rayhangul Abliz, seorang etnis Uighur di Australia mengatakan kepada laman ABC bahwa dia telah ikut menelusuri foto-foto mencari orang tuanya, yang tinggal di daerah tetangga, tetapi sia-sia. “Semuanya terlihat seperti ayah atau saudara laki-laki saya, setiap [pasangan] mata terlihat seperti [mereka] bertanya kepada saya … ‘Tolong bantu saya’,” katanya.
Dia mengatakan sangat menyedihkan melihat ratusan dan ratusan wajah, dan perasaan bagi banyak orang Uighur di Australia sangat menyedihkan. Fatimah Abdulghafur, yang ayahnya ditahan di Xinjiang pada 2017 dan meninggal pada tahun berikutnya, mengatakan melihat foto-foto itu “membuat trauma kembali”.
“Itu memasuki kesadaran kita lagi, meskipun itu tidak pernah meninggalkan saya atau kita, orang-orang Uyghur,” katanya dikutip laman ABC.
Pada saat yang sama, dia mengatakan ada semacam kelegaan dalam melihat lebih banyak bukti – langsung dokumen dari kantor polisi China – yang bertentangan dengan narasi yang telah dibuat Partai Komunis China dan membuat banyak meragukan “kekejaman besar” yang sedang berlangsung di China.
Kelompok hak asasi manusia memperkirakan lebih dari satu juta orang dari kelompok etnis Muslim, termasuk Uyghur dan Kazakh, telah ditahan di fasilitas pendidikan ulang – yang disebut China sebagai pusat pelatihan kejuruan – di Xinjiang dalam beberapa tahun terakhir. Ada juga laporan tentang kerja paksa dan sterilisasi paksa, serta tuduhan genosida, yang dibantah China.
Nathan Ruser dari Australian Strategic Policy Institute (ASPI), memuat beberapa foto korban yang dijebloskan ke penjara cuci-otak buatan China. Melalu akun twitternya, ia menggunggah beberapa korban ditangkap dan dijebloskan penjara dengan alasan yang sangat tidak masuk akal.
Adalah Ablikim Sultan, ia ditahan karena 15 tahun sebelumnya, pada April 2002 (ketika dia berusia 14 tahun) dia mempelajari kitab suci Al-Quran. Ada Sidiq Seyit, dipenjara karena pernah belajar Islam selama setahun di tahun 80-an dan karena punya anak lebih dari satu.
Juga Abdulla Sulayman (16 tahun), yang ditangkap dan dipenjarakan karena menyimpan makanan halal, karena bayar zakat dan karena menyimpan jilbab.
Dr Zenz dan timnya dari Victims of Communism Memorial Foundation telah menganalisis dan mengotentikasi dokumen dan menerbitkan penelitian peer-review pada data . Media BBC dan konsorsium jurnalis investigasi juga telah mampu mengotentikasi temuan signifikan dari kebocoran kejahatan rezim China ini.
Dengan demikian, berdasarkan bukti baru, Zenz menilai ada beberapa langkah penting yang perlu dilakukan para pemimpin dunia dalam menyikapi kejahatan keji China ini.*