Rusia termasuk negara yang keras melarang LGBT, selain itu ada 9 negara menetapkan hukuman mati kelainan prilaku LGBT; Afghanistan, Mauritinia, Iran, Nigeria, Yaman, Arab Saudi, Somalia dan Qatar
Hidayatullah.com | MESKIPUN tidak menggunakan nama LGBT secara khusus, gerakan mendukung agenda LGBT telah lama dimulai dengan sejarah dan perkembangan yang cukup panjang dari waktu ke waktu.
Sekitar abad 18 dan 19 di Eropa, hubungan homoseksual dianggap sebagai tindak pidana serius dan tindakan amoral di masyarakat. Di Inggris, ada undang-undang yang menghukum perilaku homoseksual dan undang-undang ini berubah seiring waktu.
Awalnya, Buggery Act tahun 1533, pada masa pemerintahan Raja Henry VIII menetapkan bahwa pelanggaran homoseksual dapat dihukum mati. Undang-undang tersebut diubah dengan Offenses Against The Person Act 1861 yang mengatur pelanggaran homoseksual dengan hukuman penjara seumur hidup.
Selanjutnya, hukuman ini lebih ringan melalui Pasal 11 Undang-Undang Perubahan Hukum Pidana 1885 yang mengatur hukuman penjara tidak lebih dari dua tahun untuk pelanggaran orang yang melakukan percabulan berat. Terakhir, Sexual Offences Act 1967 mencabut tindak pidana homoseksualitas antara laki-laki yang telah mencapai usia 21 tahun.
Ini jelas menunjukkan bahwa negara-negara Barat pada awalnya tidak menerima dan tidak memberi hukuman pelaku homoseksual dan tindakan terkait LGBT. Namun, lambat laun masyarakat Barat yang tidak menolak tindakan homoseksual mulai menerimanya sebagai bagian dari hak individu.
Pengakuan Pernikahan Sesama Jenis adalah salah satu agenda LGBT. Meski hampir semua agama tidak mengakui pernikahan sesama jenis, sedikit demi sedikit berbagai negara mulai mengenal pernikahan sesama jenis.
Belanda adalah negara pertama yang mengizinkan pernikahan sesama jenis pada tahun 2001. Pada 2014, pernikahan sesama jenis juga diakui di Swedia, Argentina, Belgia, Kanada, Islandia, Norwegia, Afrika Selatan, Spanyol, Portugal, Denmark, Uruguay, Brasil, Prancis, Selandia Baru, Meksiko, dan Israel (meskipun tidak dilakukan di sana). ), bersama dengan 25 negara bagian di Amerika Serikat (AS)-Massachusetts, Iowa, Connecticut, Vermont, New Hampshire, New York, Maine, Maryland, Washington, Minnesota, New Mexico, Rhode Island, Delaware, California, New Jersey, Hawaii , Illinois, New Mexico, Utah, Oklahoma, Virginia, Oregon, Pennsylvania, Wisconsin, Indiana dan Colorado serta Distrik Columbia.
Komunitas LGBT telah sukses besar dengan keputusan pengadilan tentang pernikahan sesama jenis di AS, dan bahkan pemerintahan Presiden Joe Biden telah menunjuk praktisi LGBT sebagai pejabatnya. Dalam kasus yang dikenal sebagai kasus Obergefell v. Hodges, aktivis LGBT John Arthur menikah dengan pasangan sesama jenis James Obergefell di Maryland, AS. Kemudian, John Arthur meninggal.
Obergefell mengajukan aplikasi untuk mendapatkan konfirmasi bahwa dia disebut sebagai pewaris Sertifikat Kematian Arthur. Namun, pendaftar di negara bagian Ohio tidak dapat menyetujuinya karena Kantor Penasihat Hukum negara bagian Ohio mengumumkan rencana untuk melanjutkan larangan pernikahan sesama jenis di Ohio, AS.
Pada tanggal 26 Juni 2015, pengadilan dengan mayoritas 5-4 memutuskan bahwa berdasarkan Amandemen Keempatbelas semua negara bagian di AS diarahkan untuk mengizinkan pernikahan sesama jenis dan mengakui pernikahan sesama jenis yang dilakukan di negara bagian lain.
Homoseksualitas di Rusia
Tujuh senator Rusia mengajukan rancangan undang-undang (RUU) yang berisi larang pernikahan sesama jenis, termasuk gay, secara resmi. RUU ini diklaim sejalan dengan amandemen terbaru konstitusi oleh Presiden Vladimir Putin.
RUU diajukan Selasa malam. Rancangan aturan itu untuk mengubah Kode Keluarga Rusia dan secara legal melarang pernikahan sesama jenis dan adopsi anak oleh pasangan sesama jenis. Langkah para senator ini hanya berselang dua minggu setelah para pemilih di Rusia setuju dengan amandemen konstitusi yang mencakup ketentuan yang mendefinisikan pernikahan sebagai “persatuan antara pria dan wanita”.
“RUU ini mengakhiri praktik pernikahan antara orang-orang dari jenis kelamin yang sama, termasuk mereka yang mengubah jenis kelamin,” kata co-authorRUU, senator Yelena Mizulina, kepada Interfax, yang dilansir Kamis (16/7/2020).
Namun, teks rancangan undang-undang yang diajukan ke majelis rendah parlemen atau Duma Negara Rusia tidak menyebutkan pelarangan pernikahan atau pun adopsi anak oleh orang-orang transgender.
“RUU ini harus diadopsi karena perubahan dalam kehidupan publik, termasuk tuntutan publik untuk melestarikan nilai-nilai keluarga tradisional dan memperkuat serta melindungi institusi keluarga,” bunyi teks RUU tersebut.

Otoritas terkait Rusia saat ini tidak mendaftarkan secara resmi pernikahan sesama jenis. Namun, Kode Keluarga Rusia mengakui pernikahan seperti itu yang terdaftar di luar negeri asalkan tidak terjadi di antara kerabat dekat atau orang-orang yang sudah terdaftar menikah.
Undang-undang akan melarang memberikan informasi tentang “hubungan seksual non-tradisional” kepada anak di bawah umur dan menetapkan denda yang besar untuk pelanggaran (sekitar $156 untuk individu dan $31.000 untuk perusahaan).
RUU tersebut disahkan dengan 436 suara di Duma yang memiliki 450 kursi. Satu wakil abstain dan tidak ada yang menentang.
Negara-negara yang melawan LGBT
Ada banyak negara yang mendukung LGBT, tapi banyak juga yang mengecam keras dan memberi hukuman para pelaku LGBT. Zimbabwe, Senegal, Mesir, Rusia, Uganda, Nigeria, Iran, Iraq, Arab Saudi, Mauritania, Brunei sangat menentang keras LGBT.
Di Era Presiden Robert Mogabe, Zimbabwe menyatakan perang terhadap kaum yang dianggap tak bermoral ini. Mugabe bahkan melakukan ancaman terhadap LGBT dan tak segan untuk memenggal kepala para lesbian, gay, biseksual, dan transgender.
Sebanyak 97% penduduk Senegal menganggap bahwa LGBT adalah manusia yang bermoral dan berdosa. Mesir diketahui sebagai salah satu negara yang sangat membenci kaum LGBT.
Menurut New York Times, Mesir diketahui telah memenjarakan mereka yang kedapatan LGBT. Sejak tahun 2013 negara ini mendorong pemenjarakan perilaku kelainan sejenis ini.
Meski berediologi Komunis, pemerintah negara Rusia sangat menolak hal berbau LGBT. Aktivitas, komunitas, serta mereka yang LGBT, terancam mendapatkan hukuman bahkan di era Presiden Vladimir Putin disiapkan UU yang akan memidanakan perilaku kelainan ini.
Indonesia dan Malaysia
Khusus di Indonesia, hubungan seksual antara sesama jenis diatur dalam Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 292 KUHP mengatur bahwa orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya dengan dia yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
Menurut Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dan Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa, LGBT (Lesbian, Gay, Transgender, and Transexual) merupakan istilah yang berkembang di masyarakat yang tidak dikenal dalam ilmu psikiatri. Sedangkan orientasi seksual antara lain meliputi heteroseksual, homoseksual dan biseksual. Homoseksual merupakan kecenderungan ketertarikan secara seksual kepada jenis kelamin sama yang meliputi lesbian dan homoseksual.
Sedangkan biseksual adalah kecenderungan ketertarikan secara seksual kepada kedua jenis kelamin. LGBT merupakan topik yang sangat kontroversial, bukan hanya dari sisi akademis, tetapi juga di dalam realitas pragmatis dalam masyarakat.
LGBT acap kali disepelekan dan dianggap sebagai subjek yang tidak penting di dalam khazanah ilmiah, terlebih di komunitas keagamaan yang secara mutlak telah menfatwakan LGBT adalah haram. Alasannya sederhana, LGBT merupakan wujud keganjilan dan upaya melawan takdir Tuhan.

Tahun 2016, Kelompok 17 negara itu dipimpin oleh Belarus memblokir rencana PBB untuk memasukkan hak-hak masyarakat lesbian, gay dan transgender (LGBT) dalam strategi perkotaan yang sedang disusun oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Kanada yang didukung oleh Uni Eropa, AS dan Meksiko, sebelumnya mendorong adanya pengakuan hak-hak LGBT dan penolakan homofobia.
Agenda kebijakan baru PBB yang disebut “New Urban Agenda” berisi berbagai rekomendasi untuk mengatasi tantangan dari perkembangan pesat perkotaan dunia. PBB melihat pengakuan hal-hak masyarakat LGBT sebagai langkah signifikan.
Menurut laporan kantor berita Reuters, kampanye penolakan hak LGBT dipimpin oleh Belarus dan mendapat dukungan antara lain dari Indonesia, Rusia, Mesir, Katar, Pakistan dan Uni Emirat Arab.
Di Malaysia, tidak ada ketentuan hukum khusus tentang gerakan LGBT. Namun, tindakan seksual homoseksual dan tidak wajar merupakan pelanggaran hukum di Malaysia.
Merujuk pada Hukum Pidana Perdata, Pasal 377B KUHP mengatur bahwa ‘Siapa pun yang melakukan hubungan seks yang tidak wajar secara sukarela dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 tahun termasuk cambuk.’
Di Malaysia, perilaku sesama jenis dikategorikan sebagai kejahatan dalam sistem hukum. Ini adalah yurisdiksi Pengadilan Federal (Perdata) atau Pengadilan Syariah. Untuk kegiatan liwath atau sodomi di tingkat Pemerintah Pusat dikategorikan sebagai kejahatan yang diatur dalam Pasal 377A, 377B dan 377C KUHP.
Secara jelas dinyatakan dalam Pasal 377A bahwa hubungan seksual yang tidak wajar terjadi ketika seseorang melakukan hubungan seksual dengan orang lain dengan memasukkan penisnya ke dalam anus atau ke dalam mulutnya. Hukuman yang diberikan oleh Bagian 377B bagi mereka yang dinyatakan bersalah berdasarkan Bagian 377A adalah penjara hingga 20 tahun dan dapat dihukum dengan cambuk.
Hukuman yang lebih berat diberikan oleh Pasal 377C yaitu penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun, dan dapat dipidana dengan cambuk bagi orang yang melakukan sodomi tanpa persetujuan korban.
Bagi mereka yang tidak setuju dengan undang-undang ini, mereka mengklaim bahwa itu adalah warisan hukum Inggris yang pernah dijajah di mana Inggris sendiri telah menjatuhkan hukuman atas aktivitas sodomi mulai tahun 1967 di Inggris. Tidak hanya itu, mereka juga mengklaim bahwa hukum untuk mencegah sodomi adalah hukum Kristen.
Bagi yang belum tahu, Malaysia adalah negara berdaulat yang tidak terikat oleh amandemen undang-undang yang dibuat oleh para bekas penjajah. Selain itu, Pasal 377 telah mengalami beberapa kali perubahan dan terakhir pada tahun 2017. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah Malaysia peduli dengan UU tersebut.
Termasuk sodomi dan memutuskan untuk mengkategorikannya sebagai kejahatan yang harus diberantas. Selanjutnya, untuk pelanggaran yang melibatkan Muslim, Undang-Undang Pelanggaran Pidana Syariah (Wilayah Federal) 1997 mengatur pelanggaran yang terkait dengan perilaku LGBT.
Di antara tindak pidana syariah di Wilayah Federal yang melibatkan LGBT adalah tindakan sodomi, Musahaqah (melakukan hubungan sesama jenis antara perempuan dan perempuan dan tindakan laki-laki mengenakan pakaian perempuan dan berpura-pura menjadi perempuan di tempat umum untuk tujuan tidak bermoral). Namun, pelanggaran sodomi ini telah dinyatakan inkonstitusional dan ilegal di Selangor.
Misalnya, Pasal 25 Undang-Undang Pelanggaran Pidana Syariah (Wilayah Federal) 1997 (“AKJSWWP”) memberikan hukuman untuk pelanggaran sodomi, Bagian 26 untuk pelanggaran musahaqah, Bagian 28 untuk pria yang berperilaku seperti wanita dan Bagian 29 untuk tindakan tidak senonoh. Pemerintah menangani masalah ini dengan sangat serius dan bekerja keras untuk mengekang fenomena sosial yang berbahaya ini.
Hukuman untuk mendorong amoralitas (Pasal 35), bersekongkol (Pasal 43) dan pendapat yang bertentangan dengan fatwa (Pasal 12) juga diberikan oleh AKJSWWP.
Seperti disebutkan di atas, unjuk rasa meneriakkan agar hak-hak pelacur dan prostitusi dilindungi oleh pemerintah. Tidak hanya itu, mereka juga menuntut agar prostitusi dicabut dari kategori kriminal dengan alasan bahwa prostitusi juga merupakan jenis pekerjaan.
Hal ini membuktikan bahwa penyelenggara telah melenceng jauh dari apa yang ingin diperjuangkan dan sama sekali tidak berkontribusi dalam upaya menegakkan status perempuan itu sendiri Malaysia tidak lari dari upaya untuk mengakui hak-hak kaum LGBT. Dalam upaya untuk meminta pengakuan dan hak yang sama kepada kaum LGBT, Koalisi LSM Hak Asasi Manusia (COMANGO) telah menuntut agar Malaysia menerima rekomendasi mereka dalam Tinjauan Berkala Universal (UPR) 2013 yang diselenggarakan oleh Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss. Secara singkat, tuntutan COMANGO terkait LGBT adalah sebagai berikut:
1. Menuntut Malaysia menerima Hak SOGI (Orientasi Seksual & Identitas Gender). Pengakuan orientasi seksual LGBT sebagai hak asasi manusia yang universal.
2. Rekomendasi untuk mengubah pasal 377A KUHP tentang tindak pidana sodomi. Argumentasi bahwa tindak pidana sodomi adalah sebuah undang-undang sudah tidak relevan lagi dan ketinggalan zaman.
3. Rekomendasi Pencabutan Perda KUHP dan Perubahan KUHP Syariah yang diduga ‘mengganggu hak-hak pribadi’.
Namun, rekomendasi terkait LGBT tidak akan berhenti sampai di situ karena dalam putaran Universal Periodic Review untuk Malaysia dijadwalkan pada Oktober 2022. Diharapkan delegasi Malaysia ke Jenewa, Swiss, terus berupaya untuk menegakkan kesucian Islam di menghadapi rekomendasi yang melibatkan Hak-hak Asasi Manusia.
Berdasarkan referensi dari sumber-sumber di atas, dapat dipahami bahwa gerakan LGBT merupakan gerakan terorganisir yang agendanya semakin diterima oleh masyarakat dunia. Pada awalnya tindakan homoseksual dihukum berat, tetapi lambat laun hukuman itu dikurangi dan akhirnya banyak negara kalah dalam tekanan dan mengakui. Perkawinan sesama jenis akhirnya negara-negara maju (terutama Barat seperti Amerika Serikat) berdasarkan keputusan Mahkamah Agung (Supreme Court).
Hukuman mati LGBT
Sampai saat ini, di 76 negara hubungan sama jenis masih mensanksi dan menjatuhi hukuman kepada para pelaku LGBT. Di tujuh negara, homoseksualitas bahkan diancam dengan sanksi hukuman mati.
Pada 3 April 2019, pemerintah Brunei Darussalam menerapkan porsi undang-undang syariah baru yang telah diperkenalkannya pada 2014 silam. Salah satu klausul dalam hukum itu menuai sorotan dunia akhir-akhir ini: rajam sampai mati bagi pria yang mengaku dan terbukti melakukan hubungan seks dengan sesama jenis.
Brunei Darussalam pertama kali memperkenalkan hukum syariah pada 2014 meskipun ada kecaman yang meluas. Pemberlakuan itu menjadikan Brunei negara yang menerapkan sistem hukum pidana ganda dengan Syariah dan Common Law.
Undang-undang syariah itu juga melarang aktivitas lain, seperti mencuri dengan ancaman hukuman potong tangan hingga aborsi dengan ancaman cambuk publik. Tindakan zinah, sodomi, perkosaan hingga penistaan agama juga dilarang dengan ancaman maksimal hukuman mati.
Selain Brunei, ada 8 negara yang menetapkan hukuman mati terhadap kelainan prilaku LGBT. Misalnya Afghanistan, Mauritinia, Iran, Nigeria, Yaman, Arab Saudi, Somalia dan Qatar.
Kitab undang-undang hukum pidana Afghanistan tidak mengacu pada tindakan homoseksual, tetapi Pasal 130 Konstitusi memungkinkan jalan lain untuk membuat regulasinya dengan mengacu pada hukum syariah, yang melarang aktivitas seksual sesama jenis pada umumnya.
Hukum syariah Afghanistan mengkriminalisasi tindakan seksual sesama jenis –terutama sodomi– dengan hukuman mati sebagai ancaman maksimum. Tidak ada kasus hukuman mati yang diketahui telah dijatuhkan sejak akhir pemerintahan Taliban pada tahun 2001, lapor the Washington Post tahun 2016.*