Hidayatullah.com–Ramadhan tahun ini saya berkesempatan untuk meliput kegiatan da’i di pedalaman Indonesia, tepatnya di desa Alindau, Sulawesi Tengah.
Tak banyak memang orang yang siap ditempatkan untuk berdakwah melawan keterasingan dan keterbatasan sarana prasarana, apalagi masyarakat perkotaan yang sudah dimanjakan dengan beragam fasilitas lengkap oleh pemerintah, minimal dengan lancarnya sinyal internet dan ketersediaan listrik yang memadai.
Tapi tidak untuk dua orang kawan da’i kondang kita asal Palu, yakni Ustad Abdus Shomad, seorang mahasiswa magister pendidikan dan Ustadz Arif Zakman yang mempunyai latar belakang sebagai para medis.
Padatnya jadwal dakwah mereka di perkotaan, tak membuat dua da’i ini lupa untuk menyapa saudara semuslim mereka yang berada di pelosok tanah air.
Baca: Puluhan Warga Suku Toguti Masuk Islam, Butuh Sentuhan Dai
Membutuhkan setidaknya tiga setengah jam perjalanan menuju pemukiman Suku Tajio di desa Alindau, dengan harus menyeberangi sungai sampai tiga kali, melewati hutan dengan jalanan berlumpur dan berpasir, serta tak jarang harus bertemu ular di tepian jalan.
Jalan terjal dakwah tak mengenal keputusanasaan, sebab Suku Tajio ini mayoritas merupakan mualaf, sebelumnya mereka menganut paham dinamisme dan animisme.

Jika bukan karena panggilan Risalah Nabi, tentu para dai ini tidak akan turun tangan. Apalagi kondisi memperihatinkan suku yang sebelumnya nomaden suka berpindah pindah tempat ini, sangat terisolir dan jarang mendapatkan sentuhan dan perhatian dari pemerintah pusat.
Karena minimnya pemahaman Islam mereka, banyak kita temukan pemahaman “aneh” yang berkembang di Suku Tajio, sebagai salah satu contoh, mereka memahami bahwa puasa di bulan Ramadhan hanya dikerjakan tiga kali, yakni awal bulan, tengah bulan, dan akhir bulan.
Baca: Ratusan Warga Suku Anak Dalam Jambi Masuk Islam atas Kesadaran Sendiri
Sejenak mungkin kita berfikir, mana pula pemahaman seperti itu, jelas salah lah itu, eits! Tunggu sejenak, jangan terburu buru untuk menyalahkan pemahaman Suku Tajio ini, sebab mereka masih belum lama memeluk agama Islam, masjid pun hanya baru kerangka dinding dan belum ada atapnya, sehingga masyarakat harus turun gunung menuju masjid desa sejauh 5-6 kilometer dengan berjalan kaki. Kenapa juga harus berjalan kaki?

Kenapa tidak naik motor? Begini kawan, Suku Tajio ini cuma orang hutan yang menyambung hidup dengan mencari kayu rotan, jangankan motor, untuk sesuap nasi dari penghasilan rotan saja mereka harus bersusah payah.
Karena kondisi itulah, selama beberapa waktu dua orang ustadz asal kota tersebut menyapa umat yang seakan ditinggalkan oleh ulama tanah air. Mereka berdua berusaha menghidupkan masjid yang masih jauh disebut layak, dengan modal keikhlasan dan ketulusan niat dakwah ilallah. Mendapatkan respon dan antusiasme yang sangat luar biasa, akhirnya Suku Tajio ini dapat mendapatkan nikmatnya sholat tarawih dengan beratapkan ribuan bintang yang bertebaran di langit, dihembuskan dengan angin alam, meski harus juga diselingi gonggongan anjing disekitar, karena memang itulah kondisi apa adanya.
Baca: “Warga Maluku Berbondong-bondong Masuk Islam karena Cinta”

Jika tidak segera dibangun pondasi masjid beberapa waktu lalu, sebagaimana kesaksian warga, Suku Tajio akan tetap jauh dari agama. Alhamdulillah rencana itu Allah gagalkan dengan dibangunnya secara formalitas masjid yang layak.
Tentunya dua orang ustadz yang berdakwah menyampaikan tauhid kepada Suku Tajio tersebut tak bisa berlama lama menyampaikan risalah Islam di tengah hutan dan pegunungan Alindau, bagaimana pun kewajiban dakwah tersebut bukan dipikul di pundak mereka berdua saja, tapi itu merupakan kewajiban kita seluruh umat Islam di negeri ini. Semoga Allah menjaga hidayah, ibadah dan agama. Wallahu a’lam bish showab.*/Zakarija Hidayatullah