Hidayatullah.com—Mahkamah Agung Israel memutuskan bahwa peraturann perundangan yang mengecualikan Yahudi ultra-Orthodoks dari wajib militer bertentangan dengan konstitusi. Keputusan itu bisa jadi menaikkan ketegangan antara Yahudi sekuler dan Yahudi relijius.
Dilansir Deutsche Welle, hari Selasa (12/9/2017) MA Israel menganulir sebuah undang-undang tahun 2015 yang mengecualikan para pelajar seminari Yahudi ultra-Orthodoks dari keharusan mengikuti wajib militer. Para hakim, dengan suara 8-1, memutuskan bahwa UU itu diskriminatif dan tidak konstitusional. Pengadilan memberikan waktu satu tahun kepada pemerintah untuk menangani masalah tersebut.
Selama berpuluh tahun Yahudi ultra-Orthodoks mengelak dari wajib militer yang diharuskan bagi setiap pria dan wanita Yahudi Israel yang memasuki usia 18 tahun. Kebanyakan peserta wajib militer di Israel sampai usia 40 tahun akan dipanggil untuk berdinas di kemiliteran secara berkala.
Selama ini Yahudi ultra-Orthodoks menghindari kewajiban itu dengan alasan pelajar-pelajar di yeshiva (seminari Yahudi) harus fokus melestarikan ajaran agama mereka. Mereka juga menentang pria-pria Yahudi ultra-Otthodoks bercampur-baur dengan wanita Yahudi sekuler, yang mungkin akan menggoda mereka menjauhi kitab sucinya.
Upaya-upaya sebelumnya untuk mengharuskan Yahudi ultra-Orthodoks menjalani wajib militer senantiasa menghadapi protes, bahkan perlawanan sengit yang berujung pada kekerasan.
Yahudi ultra-Orthodoks mencakup sekitar 10 persen dari populasi Israel. Namun, dengan tingginya angka kelahiran di kalangan mereka yaitu sekitar 7 anak per wanita, diperkirakan jumlah mereka akan mencakup 29 persen dari populasi pada tahun 2050, menurut laporan pemerintah.
Menteri Dalam Negeri Aryeh Deri, politisi Partai Shas yang beraliran ultra-Orthodoks, menuding MA lepas ikatannya dengan orang-orang, serta warisan dan tradisi Yahudi.
Yair Lapid, politisi sekuler dari Partai Yesh Atid, memuji keputusan MA tersebut. “Ini kenapa kami menggeluti politik. Wajib militer berlaku untuk semua, lowongan pekerjaan untuk semua. Benjamin Netanyahu tidak bisa bersikap plin-plan terus menerus. Wajib militer berlaku untuk semua, tidak hanya untuk para penjilat yang tidak termasuk dari partai koalisinya,” kata Lapid.
Ketika partainya berkoalisi membentuk pemerintahan pimpinan PM Netanyahu, pada tahun 2014 pemerintah Israel berusaha mengurangi pengecualian wajib militer bagi Yahudi ultra-Orthodoks. Namun, pada tahun 2015 ketika partainya Lapid menjadi oposisi dan Netanyahu berkoalisi dengan partai sayap kanan didukung partai-partai Yahudi, pemerintah Israel membatalkan reformasi hukum yang dibuat tahun 2014 itu.*