Hidayatullah.com– Organisasi Lintas Agama Indonesia membuat deklarasi bersama menyikapi 50 tahun penjajahan Israel atas Palestina.
“Sejak pendudukan tersebut terjadi pada Juni 1967, kebijakan Israel yang kejam terkait perampasan tanah, pembangunan perumahan ilegal ditambah dengan perlakuan diskriminatif telah membuat warga Palestina dari beragam latar belakang agama yang tinggal di wilayah pendudukan semakin menderita karena kehilangan hak dasar mereka,” kata salah seorang perwakilan dari agama Buddha, Arya Prasetya, di Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jakarta Pusat, Jumat (03/11/2017).
Baca: Mantan Jenderal IDF: Israel Juara Penjajahan Nomor Satu
Oleh sebab itu, katanya, Organisasi Lintas Agama Indonesia mengecam dengan keras penjajahan Israel di wilayah Palestina.
“Dan meminta agar semua bentuk pelanggaran yang terjadi di wilayah pendudukan dihentikan,” katanya.
Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, lanjut Arya, Israel telah merampas tanah milik ribuan warga Palestina dan menempati wilayah milik Palestina secara ilegal. “Dengan mendirikan permukiman ekslusif bagi warga Yahudi Israel,” imbuh Arya.
Dengan itu, katanya, hampir semua komunitas masyarakat Palestina tergusur akibat pembangunan permukiman tersebut.
“Rumah warga Palestina dan mata pencaharian mereka telah hilang. Mereka juga telah dibatasi ruang geraknya dan akses untuk mendapatkan air, tanah, dan kekayaan alam dipersempit,” tandasnya.
Baca: Terkait Deklarasi Belfour, DPR Minta Pemerintah Layangkan Nota Keberatan atas Inggris
Gerakan lintas agama di Indonesia, kata Arya, meminta pemerintah Indonesia untuk berpegang pada kewajibannya menurut hukum internasional.
“Untuk tidak mengakui pendudukan Israel dan juga ikut aktif bekerja sama dengan negara-negara lain di dunia untuk menghentikan pendudukan tersebut,” tegasnya.
Deklarasi tersebut ditandatangani oleh PBNU, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI), Perisada Hindu Dharma Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia.* Ali Muhtadin