Hidayatullah.com—Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi menyatakan kegiatan terorisme tetap menjadi ancaman di negara bagian Rakhine dan dapat memberikan ‘efek yang buruk’ bagi wilayah ini.
“Bahaya kegiatan teroris, yang merupakan penyebab awal peristiwa yang menyebabkan krisis kemanusiaan di Rakhine tetap nyata dan hadir hari ini,” katanya dalam sebuah ceramah 43th Singapore Talks di Singapura hari Rabu ini.
“Kalau tantangan keamanan ini tidak ditangani serius, risiko kekerasan antar komunal akan tetap ada. Ini adalah ancaman yang dapat menimbulkan konsekuensi serius, bukan hanya untuk Myanmar tetapi juga untuk negara-negara lain di kawasan kami dan sekitarnya,” imbuh Suu Kyi seperti dikutip dari Reuters, Selasa (21/8/2018).
Dalam perkembangan terkait, Suu Kyi menyatakan periode pengiriman pulang pengungsi etnis Rohingya ke negara itu, hanya bisa diputuskan oleh Bangladesh.
Baca: Suu Kyi Tuduh ‘Teroris’ Sebarkan Informasi Hoax di Rakhine
Menurut dia, terserah kepada Bangladesh untuk memutuskan seberapa cepat proses itu dapat dilakukan selain Suu Kyi menyalahkan Dhaka atas keterlambatan pelaksanaan program deportasi tersebut.
“Sulit bagi kami untuk menetapkan jangka waktu tertentu dengan sendirinya karena kami membutuhkan kerjasama dari Bangladesh untuk melaksanakannya.
“Jadi, Bangladesh harus segera memutuskan bagaimana mereka ingin melaksanakan proses deportasi bersangkutan,” kata Suu Kyi dalam ceramah yang diselenggarakan Institut ISEAS-Yusof Ishak bertajuk ‘Transisi Demokrasi Myanmar: Tantangan dan Masa Depan’.
Maret lalu, gelar San Suu Kyi dalam bidang penegakan hak asasi manusia (HAM) yang diberikan sebuah museum di Amerika Serikat bagi pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, telah dicabut.
Suu Kyi yang sempat mendapatkan Elie Wiesel Award dari Holocaust Memorial Museum di Amerika atas ‘kepemimpinannya dan pengorbannya yang luar biasa dalam melawan tirani di Myanmar’.
Penghargaan ini juga sebagai pengakuan atas berbagai upaya Suu Kyi dalam ‘mewujudkan kebebasan dan martabat rakyat Myanmar’.
Namun penghargaan ini dicabut karena Holocaust Memorial Museum ketika Aung San Suu Kyi ‘diam saja melihat genosida yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap warga minoritas Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine’.
“Ketika militer menyerang Rohingya pada 2016 dan 2017, kami berharap Anda -yang kami anggap peduli dengan HAM- melakukan sesuatu untuk mengutuk dan menghentikan operasi militer yang dilakukan secara brutal serta mengeluarkan pernyataan solidaritas bagi warga Rohingya yang diserang,” demikian isi keputusan Holocaust Memorial Museum untuk Suu Kyi.*