Sambungan artikel KEDUA
Hidayatullah.com–Tahir Hamut, seorang penyair dan pembuat film Uighur, mengatakan warga Uighur yang memiliki paspor dipanggil ke stasiun polisi lokal pada Mei. Dia khawatir itu akan menyebabkan pemeriksaan tambahan karena dituduh membawa dokumen-dokumen sensitif, termasuk artikel surat kabar tentang serangan separatis Uighur, ketika dia berupaya melakukan perjalanan ke Turki untuk belajar pada pertengahan tahun 1990an. Perjalanan yang dibatalkan itu membuatnya tinggal di kamp kerja paksa selama tiga tahun, katanya.
Dia dan istrinya berbaris di sebuah kantor polisi dengan warga Uighur lain untuk pengambilan sidik jari dan sampel darah mereka. Dia mengatakan dia diminta untuk membaca koran selama dua menit sementara polisi merekam suaranya, dan menoleh secara perlahan di depan kamera.
Kemudian, paspor keluarganya disita. Setelah salah satu temannya ditahan oleh polisi, katanya, dia berasumsi dia juga akan mengalami hal yang sama. Dia mengatakan dia menyuap para pejabat lebih dari $9.000 agar paspor keluarganya kembali, mengarang cerita putrinya memiliki epilepsi yang membutuhkan perawatan di Amerika Serikat. Biro Keamanan Publik Xinjiang, yang bertanggungjawab atas pasukan polisi di wilayah tersebut, tidak menanggapi permintaan untuk berkomentar terkait suap itu.
“Pada hari kami pergi, Saya dipenuhi dengan kecemasan,” katanya. “Saya khawatir apa yang akan terjadi jika kami dihentikan oleh keamanan di bandara Urumqi, atau apa yang terjadi di pos pemeriksaan perbatasan di Beijing.”
Dia dan keluarganya berhasil sampai di Virginia, di mana mereka telah mengajukan permohonan suaka politik.
Baca: Memetakan Kamp Penahanan Xinjiang China bagi Muslim Uighur
Pihak berwenang China menggunakan berbagai formulir untuk mengumpulkan informasi pribadi dari warga Uighur. Salah satu formulir yang diperiksa oleh Journal berisi tentang pertanyaan tentang kebiasaan beribadah para responden dan apakah mereka memiliki kontak di luar negeri. Ada beberapa bagian bagi pihak berwenang untuk menilai “minat orang” dalam skala enam poin dan bagian apakah mereka “aman,” “rata-rata” atau “tidak aman.”
Perusahaan China Communications ServiceLtd., anak perusahaan dari raksasa telekomunikasi pemerintah China Telecom, telah menandatangani kontrak pada tahun ini bernilai lebih dari $38 juta untuk menyediakan pengawasan masjid dan memasang platform data-pengawasan di Xinjiang, menurut dokumen pengadaan pemerintah. Perusahaan itu menolak membahas kontrak tersebut, mengatakan itu mengandung informasi bisnis yang sensitif.
Perusahaan Xiamen Meiya Pico Information Ltd. Bekerja dengan polisi di Urumqi untuk memodifikasi perangkat genggam yang dijualnya untuk menyelidiki kejahatan ekonomi sehingga alat itu dapat memindai smartphone yang memiliki konten-konten yang berhubungan dengan terorisme.
Sebuah deskripsi tentang alat itu yang baru-baru ini dihapus dari situs perusahaan tersebut mengatakan bahwa alat itu dapat membaca file dari hampir 90% smartphone dan memeriksa temuan terhadap database kepolisian anti teror. “Kebanyakan, kalian mencari audio dan video,” kata Zhang Xuefeng, ketua marketing Meiya Pico, dalam sebuah wawancara.
Di dekat kampus Universitas Xinjiang di Urumqi, baru-baru ini polisi yang duduk di sebuah meja kayu, memerintahkan beberapa orang yang sedang lewat untuk menyerahkan telepon genggam mereka.
“Anda cukup menancapkan alat ini dan alat ini akan memperlihatkan konten-konten yang ada di telepon itu,” kata salah satu petugas polisi, menunjukkan sebuah alat yang mirip dengan alat yang ada di sistus Meiya Pico. Dia menolak mengatakan konten apa yang sedang mereka periksa.
Baca: Home Stay: ‘Deradikalisasi dan Indoktrinasi’ ala Komunis China pada Keluarga Muslim
Di suatu sore di Korla, salah satu kota terbesar Xinjiang, hanya segelintir orang yang melewati pos keamanan di bazaar setempat, di mana para pedagang menatap lorong gelap yang sepi pembeli.
Li Qiang, seorang etnis Han China pemilik toko anggur, mengatakan pos keamanan, meski diperlukan untuk menjaga keamanan, mulai membuat perdagangan semakin sulit. “Segera setelah anda keluar, mereka memeriksa kartu identitas anda,” katanya.
Otoritas Berwenang Komunis telah membangun jaringan fasilitas penahanan, secara resmi disebut sebagai pusat pendidikan ulang, di seluruh Xinjiang. Pada April, harian pemerintah Xinjiang Daily mengatakan lebih dari 2.000 orang telah dikirim ke sebuah “pusat pelatihan dan pembelajaran” di wilayah selatan kota Hotan.
Sebuah komplek baru berjarak setengah jam berkendara ke selatan Kashgar, kota yang didominasi etnis Uighur di dekat perbatasan dengan Kyrgyzstan. Dikelilingi dengan tembok tinggi berkawat duri, serta dua menara pengawas di kedua sudutnya. Tertulis di tembok itu sebuah sloga: “Semua kelompok etnis harus seperti buah delima, yang dibungkus rapat.”
Para penduduk sekitar menyebutnya sebagai pusat penahanan. Seorang pria yang berdiri di dekat pintu masuk pada suatu malam mengatakan itu adalah sekolah dan menyarankan agar para wartawan pergi.
Bapak Hamut, penyair, mengatakan saudara perempuannya di Kashgar telah dibawa ke tempat penahanan semacam itu setelah dia menghadiri sebuah perayaan Islam, dan seorang lainnya menghilang tidak lama setelah keluarganya berupaya menghubunginya dari AS.
Pemerintah setempat di Kashgar tidak menanggapi permintaan untuk berkomentar terkait itu.
Pengawasan di dalam dan sekitar Kashgar, di mana etnis Han China terhitung kurang dari 7% dari populasi, bahkan lebih ketat daripada di Urumqi. Para pengendara mobil yang memasuki kota diperiksa secara intensif. Sebuah mesin memindai setiap wajah pengendara. Para petugas polisi memeriksa mesin dan bagasi. Sedangkan penumpang diharuskan keluar dan barang mereka harus melewati pemeriksaan mesin X-ray.
Di Aksu, sebuah kota berbedu berjarak lima jam bermobil ke timur dari Kashgar, penjual pisau Jiang Qiankun mengatakan tokonya diharuskan membeli sebuah mesin berharga ribuan dollar yang mengubah nomer kartu identitas, foto, etnis dan alamat menjadi Kode QR yang dilaserkan di pisau yang dijualnya.
“Jika seseorang memiliki pisau, itu harus memiliki informasi kartu identitas mereka,” katanya.
Di hari terakhir para wartawan Journal di Xinjiang, sebuah tak bertanda membuntuti mereka yang berkendara pada jam 5 pagi ke bandara Urumqi. Selama penerbangan China Southern Airline mereka ke Beijing, seorang pramugari tampak mengarahkan kamera tubuh bergaya polisi di sabuknya ke arah para wartawan. Kemudian, ketika para penumpang telah turun, pramugari itu menyangkal telah merekam para wartawan, berdalih hal itu biasa bagi kru perusahaan penerbangan menggunakan kamera sebagai langkah keamanan.
China Southern Airlines mengatakan bahwa kru itu merupakan air marshal, yang ditugaskan menjaga keamanan di atas pesawat.*/Fan Wenxin, Jeremy Page, Kersten Zhang dan Eva Dou dari The Wall Street Jurnal