Hidayatullah.com | DALAM buku “Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965” (1996) karya Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif, ada fakta-fakta menarik mengenai umat Islam Indonesia dan politik.
Beliau secara khusus mengamati politik umat Islam pada masa Demokrasi Terpimpin. Pada kesempatan kali ini akan penulis bagikan tiga poin penting.
Pertama, umat Islam belum punya hubungan yang kokoh dalam hal politik. Meski sebelumnya mereka pernah bersama dalam wadah Masyumi, namun, pada akhirnya (seperti: PSII dan NU) memisahkan diri akibat alasan tertentu.
Kedua, pembelotan dari Masyumi akibat godaan-godaan politik atau dengan bahasa lain politik umat Islam terpecah belah akibat kepentingan.
Pada bulan Juli 1947 misalnya, unsur SI (PSII) dalam Masyumi melepaskan diri dari Masyumi. Setelah pisah, mereka mau diajak gabung dalam Kabinet Amir Hamzah. Waktu itu yang jadi wakil dalam kabinet bernama Wondoamiseno (Menteri Dalam Negeri), Sjahbudin Latief, (Menteri Muda Penerangan) dll.
Pada Mei 1952, NU menyusul PSII keluar dari Masyumi –sesuai keputusan kongres di Palembang– dan mendirikan partai sendiri. Pada Pemilu 1955 ia berhasil keluar sebagai salah satu partai besar setelah PNI dan Masyumi. Perwakilannya dalam Parlemen sebanyak 45 orang.
Sebab keluarnya NU di antaranya adalah perasaan tidak puas atas dominasi kelompok reformis (modernis) dalam dewan partai yang waktu itu diketuai oleh M. Natsir.
Menurut Syafii Ma’arif, “Godaan terhadap kekuasaan politik ini sebenarnya wajar-wajar saja. Yang disayangkan, pemimpin-pemimpin umat pada waktu itu tidak berusaha keras menciptakan islah politik berdasarkan semangat November di mana NU merupakan satu tulang punggung utamanya.” (39)
Akibatnya, waktu itu umat Islam Indonesia terpecah dalam empat partai: Masyumi, PSII, NU dan Perti (yang sejak awal memang tidak bergabung dengan Masyumi).
Ketiga, pendekatan berbeda antara Masyumi dan NU bersama partai sehaluan lain dalam Liga Muslimin dalam menghadapi Demokrasi Terpimpin.
Kalau Masyumi, menurut Istilah Prof. Syafi’i, menggunakan pendekatan Idealisme Martir. Rezim Soekarno (dalam Demokrasi Terimpin), 100 persen menyimpang sehingga harus dikritisi dan di lawan.
Sementara NU dkk, menggunakan pendekatan realistis dan pragmatis atau adaptatif. Dalil-dalil keagamaan pun diambil misalnya kaidah: “Ma La Yudraku Kulluhu, La Yutraku Ba’dhuhu” (yang tidak bisa didapat secara keseluruhan, maka tidak bisa ditinggalkan sebagian). Dalil-dalil lain pun dibuat untuk mengafirmasi rezim Soekarno. Jadi NU lebih akomodatif, sehingga bisa seirama dengan Demokrasi Terpimpin.
Akibat dari pembelahan ini amat besar bagi umat Islam. Yang pro dengan Soekarno, mereka mendapat akomodasi dan perlindungan. Sementara Masyumi dan para pendukungnya, mendapat represi dan banyak sekali yang dipenjara tanpa proses pengadilan. Umat Islam pun terbelah.
Pemandangan ketika itu sangat miris. Umat Islam yang satu ditekan, sementara yang berada di dalam rezim mendapat keistimewaan. Bahkan NU pun tidak bisa membantu anggotanya Imron Rosjadi yang dari kalangan Sayap Pesantren yang kala itu dipenjara gara-gara tidak setuju dengan Demokrasi Terpimpin.
Itulah beberapa orientasi politik umat Islam Indonesia yang hingga kini belum benar-benar hilang, bahkan sering kali berulang.
PR-nya sekarang adalah bagaimana caranya agar politik umat Islam menjadi kuat atau setidaknya tidak terpolarisasi, tidak asal tergoda jabatan, dan benar-benar bekerja untuk kepentingan umat dan bangsa?
Kalau itu tidak dicarikan solusi, seberapapun banyaknya umat Islam di Indonesia, dalam bidang lautan politik hanya menjadi buih dan hanya mendapat peran pinggiran.*/ Mahmud Budi Setiawan