Hidayatullah.com– Wakil Ketua Badan Pengkajian Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) RI Fahira Idris menilai Indonesia tidak membutuhkan jabatan presiden hingga tiga periode.
“Usul agar konstitusi membolehkan presiden menjabat 3 periode itu mengada-ngada dan tidak relevan. Bukan itu yang saat ini Indonesia butuhkan,” ujar Fahira di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, dalam pernyataannya (26/11/2019).
Menurut Fahira, Indonesia membutuhkan penguatan sistem presidensial dan penguatan implementasi otonomi daerah. Jika amandemen merealisasikan keduanya, maka arah dan wajah bangsa ini bisa lebih baik ke depan.
Wacana penambahan periode masa jabatan presiden menjadi boleh tiga periode (15 tahun) menguat seiring dengan usul amandemen UUD 1945 yang sedang digodok MPR.
Selain tidak relevan dan bertolak belakang dengan tujuan reformasi, wacana ini dinilai ingin mengarahkan diskursus amandemen cuma bicara mengenai kekuasaan. Padahal, jelasnya, banyak diskursus lain yang lebih penting dan substansial untuk dibahas dalam amandemen terbatas UUD 1945.
Fahira mengharapkan agar amandemen terbatas UUD 1945 menyentuh hal-hal substansif yang menjadi persoalan bangsa saat ini dan ke depan.
Artinya, amandemen harus dimanfaatkan sebaik sebagai ikhtiar bangsa ini agar langkah bangsa ini ke depan lebih pasti dan mantap.
Oleh karena itu, lanjutnya, kelemahan-kelemahan sistem ketatanegaraan selama ini secara langsung maupun tidak langsung menjadi hambatan pembangunan dan pencapaian kesejahteraan rakyat harus menjadi perhatian diskursus amandemen.
Baca: PKS: Ide 3 Periode Jabatan Presiden Berbahaya Bagi Reformasi
Anggota DPD RI DKI Jakarta itu menilai, saat ini prinsip-prinsip presidensialisme mengalami reduksi, penurunan kualitas dan penerapannya berjalan kurang efektif akibat sistem pemerintahan dan desain institusi parlemen yang tidak mendukung.
Penguatan sistem presidensial katanya akan melahirkan pemimpin kuat, namun semua tindak tanduknya selalu berada dalam koridor pemerintahan demokratis.
Menurutnya, dampak baik dari penguatan sistem presidensial adalah rakyat akan mendapatkan presiden yang juga seorang negarawan. Sebab, sistem ini ‘memaksa’ presiden mempunyai karakter yang kuat, tetapi sekaligus punya kemampuan persuasif dan demokratis.
“Tujuan penguatan sistem presidensial juga agar, siapapun yang menjadi presiden tidak terjebak dalam sebuah koalisi besar yang jika diselami maknanya hanya bagi-bagi kekuasaan. Rangkap jabatan di politik dan di pemerintahan juga tidak akan terjadi jika sistem presidensial kita benar-benar kuat,” ujarnya.
Masih menurutnya, terkait penguatan otonomi daerah untuk mempercepat kesejahteraan rakyat dan memperkokoh NKRI, idealnya juga menjadi perhatian atau substansi dalam wacana amandemen.
Katanya, ke depan Indonesia perlu memformulasikan sistem dan implementasi desentralisasi dan otonomi daerah. Diskursus misalnya soal perumusan ulang format otonomi daerah perlu dibicarakan dalam amandemen sehingga mempunyai dasar jika ke depan Indonesia ingin merumuskan sebuah undang-undang otonomi daerah yang lebih sempurna lagi.
Menurutnya, amandemen harus juga memikirkan apakah otonomi daerah selama sudah benar-benar bermuara kepada tujuannya mempercepat kesejahateraan.
“Diskursus misalnya kekhususan daerah otonom di bidang ekonomi sebagai jalan mempercepat kesejahteaan perlu menjadi perhatian kita bersama sebagai salah satu diskursus amandemen,” ujarnya.*